Minggu, 20 Januari 2008


Kaum Marjinal Era Demokrasi

Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Kaum marjinal terus-menerus diperhadapkan dengan bahaya keganasan negara. Tragisnya lagi, tendensi barbarian yang melekat pada perilaku aparat pemerintah tumbuh secara vegetatif sebagai basis timbulnya keganasan negara terhadap kaum marginal. Kapan saja dan di mana saja, kaum marjinal berada dalam “kutukan abadi”, yakni dengan sangat telak diposisikan sebagai musuh laten negara. Sebagai konsekuensinya, negara merasa absah meluluhlantakkan eksistensi kaum marjinal hingga ke akar-akarnya. Dari waktu ke waktu, begitulah nestapa kaum marjinal di berbagai penjuru Tanah Air. Maka, dengan nada getir harus dikatakan, kaum marginal tersudutkan ke pojok-pojok sejarah sosial dan ekonomi bangsa ini. Tak mengherankan jika segenap artikulasi tentang pembelaan negara terhadap masyarakat tak lain dan tak bukan hanyalah omong kosong belaka. Terutama, omong kosong itu sangat terasakan manakala ditilik dari perpektif massa politik kaum marjinal. Namun dari sini pula menyeruak pertanyaan penting dan mendasar: Bagaimana nasib kaum marjinal pada era demokrasi dewasa ini?

Selama kurun waktu Orde Baru, muncul kesimpulan yang tak kepalang tanggung. Bahwa, kaum marjinal di Indonesia hadir sebagai masalah dan sekaligus dampak dari pelaksanaan pembangunan. Apa yang menarik disimak dalam konteks ini adalah posisi kaum marjinal itu sendiri dalam atmosfer sosial-politik otoritarian. Kaum marjinal merupakan salah satu nokhtah pada orbit kekuasaan otoriter Orde Baru. Sebagai “masalah”, kaum marjinal memiliki keterbatasan sepak terjang untuk sepenuhnya mampu masuk ke dalam proses super-kompleks pembangunan sosial dan ekonomi. Keterbatasan pada banyak aspek—seperti modal, pendidikan dan keterampilan—benar-benar mendedahkan kaum marjinal sebagai masalah dalam pembangunan. Sebagai “dampak”, kaum marjinal hadir oleh kristalisasi besarnya pamrih para pengelola negara dalam praksis pembangunan. Itulah mengapa, pembangunan hadir sebagai kelanjutan logis dari dominasi dan hegemoni rezim politik yang tengah berkuasa. Namun, telaah secara lebih canggih terhadap masalah ini di kemudian hari justru menyingkapkan kesimpulan mencegangkan, bahwa sesungguhnya kaum marjinal merupakan dampak yang tak terelakkan dari pelaksanaan pembangunan (lihat Prisma, No. 3, Tahun XIV, 1985).

Tatkala rezim Orde Baru runtuh pada Mei 1998, mendadak sontak muncul harapan besar agar penistaan negara terhadap kaum marjinal benar-benar memasuki fase epilog. Mencuat impian sejak saat itu, kaum marjinal bukan lagi sekumpulan manusia yang diperlakukan sebagai musuh negara. Maka, runtuhnya Orde Baru disertai obsesi pembersihan negara dari cara pandang yang keliru. Orde Reformasi, dengan demikian, diimpikan mampu membangun jembatan penghubung antara negara dan kaum marjinal. Inilah sebuah fase historis yang disertai oleh visi baru kemanusiaan dalam tata kelola negara. Namun, realisme yang lantas bergulir justru memperlihatkan terjadinya distorsi antara cita dan fakta. Besarnya kehendak untuk membebaskan negara dari spiral kekerasan melawan kaum marjinal ternyata tak terbuktikan dalam kenyataan. Kaum marjinal tersuruk di berbagai penjuru negeri lantaran terus-menerus diperhadapkan pada problema kekerasan negara. Di kota-kota besar, misalnya, episode penggusuran kaum marjinal tak mengenal titik jedah. Itulah mengapa, Orde Reformasi tak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan Orde Baru.

Serangkaian penggusuran yang terus berlangsung pada zaman Orde Reformasi mengambil tipologi yang sama dengan penggusuran kaum marjinal di masa Orde Baru. Penggusuran pedagang kaki lima di sebuah sudut pada kawasan perkotaan, misalnya, tetap tak disertai alternatif solusi masalah pengangguran. Di satu sisi, usaha kaki lima kian kukuh berfungsi sebagai bamper pengaman ledakan pengangguran, bahkan tatkala negara kian rapuh saat diharapkan mampu memperluas lapangan kerja. Di lain sisi, rezim kekuasaan era Orde Reformasi tak habis-habisnya menjalankan aksi juggernaut demi mempertegas posisi kaum marjinal sebagai masyarakat periferal menurut takaran ekonomi maupun politik. Celakanya, seperti pada era Orde Baru, pemerintahan kota di masa Orde Reformasi tak memiliki alternatif jalan keluar bagaimana menampung sumber daya manusia yang sebelumnya terserap sebagai penggerak dinamika usaha kaki lima. Apa yang kemudian penting dikatakan adalah ini: Pemerintahan kota tak pernah mencanangkan agenda formalisasi sektor informal dalam konteks usaha kaki lima.

Ketika pada Jumat pagi, 18 Januari 2008, lima bolduser, tiga backhoe, dan 850 petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dikerahkan oleh Pemerintahan Kota Jakarta Selatan untuk menggusur ratusan kios bunga dan ikan hias di Jalan Barito (Republika, 19 Januari 2008, hlm. 1 dan 11), maka sekali lagi terpampang kenyataan betapa sulitnya membedakan Orde Reformasi dan Orde Baru. Negara tetap tak beringsut dari watak alamiahnya yang barbar untuk hanya menjadikan kaum marjinal sebagai musuh. Republika lantas menulis kesaksian seperti ini: “Satu per satu pedagang yang mencoba menghadang, dipukuli dengan pentungan. Alat-alat berat pun terus menggaruk ke 107 kios yang ada. Para pedagang hanya bisa meratap melihat kiosnya rata dengan tanah”. Berlandaskan beberapa alasan, porsi terbesar pemberitaan media massa lalu berpihak pada pedagangan kaki lima.

Pertama, penggusuran di Jalan Barito serta-merta meniadakan salah satu sudut Ibu Kota yang menyimpan memorabilia. Bukan saja lantaran kawasan Barito pernah diangkat ke dalam setting cerita novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (ibid), lebih dari itu komoditas yang diperdagangkan pada kawasan ini telah sejak lama dikenal publik manca negara. Kawasan yang kesohor sebagai Taman Ayodia itu juga merupakan tempat belanja ikan hias dan penak-perniknya bagi kalangan pejabat, pengusaha dan diplomat-diplomat asing (Kompas, 19 Januari 2008, hlm. 15). Tergusurnya kawasan ini bermakna hilangnya sebuah memorabilia Jakarta yang berdimensi kultural. Kedua, pemerintahan kota gagal menawarkan solusi cerdas pasca-penggusuran Jalan Barito. Kios-kios pengganti yang disediakan pemerintahan kota—berukuran 2 meter X 2 meter—di kawasan Radio Dalam secara teknis justru tak memadai untuk keperluan display akuarium-akuarium ikan hias (ibid). Apa yang bisa dikatakan dengan kenyataan ini terkait erat dengan punahnya kewirausahaan masyarakat oleh tercetusnya spirit pragmatisme pemerintahan kota. Persis seperti kemudian ditulis harian Kompas (19 Januari 2008, hlm. 25), “….kios-kios baru di kawasan radio Dalam, Jaksel, baru 25 persen yang sudah dilengkapi pintu gulung (rolling door). Lubang-lubang sakelar listrik juga baru mulai dipasang. Jumlah kios 104 dan masing-masing berukuran 2 meter X 2 meter.”

Penafsiran terhadap pesan yang tersembul dalam pemberitaan media massa adalah keniscayaan untuk melakukan pemaknaan akan hakikat demokrasi dalam aras hubungan antara negara dan kaum marjinal. Sejatinya, penggusuran di Jalan Barito dijadikan cermin mengubah tabiat aparat negara agar lebih peduli akan nasib kaum marjinal. Kalau tidak, terus-menerus tata kelola negara hanya melahirkan resultante sumbang berupa ketakbermaknaan demokrasi. Karut-marut demokrasi, pada akhirnya, kian tak dapat dilepaskan dari tata kelola negara. Seperti tak disadari, negara mendedahkan dirinya sebagai musuh demokrasi.·

Tidak ada komentar: