Sabtu, 26 Januari 2008

Dilema Guru Mogok

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Di tengah karut-marut dunia pendidikan, kaum guru berdiri pada titik paling lemah namun sekaligus menentukan. Dari dulu hingga kini, bahkan mungkin hingga ke masa depan, guru merupakan variabel determinan keberhasilan pendidikan. Apakah pendidikan mampu mengubah sosok Indonesia pada aras persaingan antarbangsa di dunia dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi, sebagian terbesarnya ditentukan oleh artikulasi peran kaum guru. Apakah sebagai sebuah bangsa Indonesia mampu mengubah takdirnya dari pecundang menjadi pemenang, amat sangat ditentukan oleh ketepatan peran sosiologis kaum guru. Apa yang kemudian diidentifikasi secara terang benderang sebagai “kualitas pendidikan”, sepenuhnya harus dimengerti sebagai keberhasilan kaum guru. Sebaliknya, kaum guru diposisikan sebagai faktor krusial jika ternyata pendidikan terseret ke dalam titik nadir kehancuran. Baik pada sisi terang maupun sisi gelap pendidikan, guru berada pada outstanding pertanggungjawaban. Masalahnya, guru dalam realitas Indonesia mustahil dimengerti secara linear semata sebagai teacher education yang sepenuhnya steril dari politik kekuasaan. Tragisnya, politik kekuasan tak pernah selesai untuk terus bergolak. Penilaian terhadap tepat tidaknya artikulasi peran guru sebagai agen perubahan sosial, pada akhirnya, tak pernah bisa dilepaskan dari kacamata pandang politik kekuasaan yang dilumuri puspa ragam kepentingan parokial.

Di masa kekuasaan otoriter Orde Baru, misalnya, kaum guru diskenariokan berfungsi sebagai salah satu basis penguatan monoloyalitas politik. Terutama kalangan guru berstatus pengawai negeri sipil (PNS), diharuskan mendukung Golkar. Tak mengherankan jika di masa Orde Baru guru terus-menerus digiring melakukan aksi politik dalam cakupan konstituensi Golkar. Penentangan terhadap monoloyalitas, sama saja maknanya dengan mendedahkan diri mendapatkan penilaian buruk. Pada Pemilu 1977, begitu banyak guru meninggalkan tugas mengajar lantaran harus terlibat serangkaian kampanye Golkar. Diakui atau tidak, muncul legacy berkenaan dengan terciptanya sebuah titik singgung antara guru dan kekuasaan politik di negeri ini, pada kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Dengan demikian, apa lalu yang dapat dimengerti dari mogok kaum guru di masa kini? Tatkala kekuasaan politik di negeri ini terbebaskan dari kungkungan otoritarianisme, bagaimana memaknai aksi mogok kaum guru dalam framework demokrasi?

Sebuah headline di harian Kompas (24 Januari 2008) tampil dengan judul “Guru Mogok, Puluhan Ribu Siswa Terlantar”. Secara substansial, headline ini merupakan narasi berkenaan dengan peristiwa unjuk rasa kaum guru selama dua hari berturut-turut (21-22 Januari 2008) di halaman Gedung DPRD Merangin, Jambi. Inilah unjuk rasa yang dipicu oleh terjadinya pemotongan anggaran pendidikan Kabupaten Merangin. Jika pada 2007 anggaran pendidikan itu mencapai Rp 28 miliar dari total APBD sebesar Rp 412 miliar, maka pada 2008 menjadi Rp 23 miliar dari total APBD sebesar Rp 503 miliar. Sekali pun tak mencakup gaji guru, anggaran pendidikan sebesar Rp 23 miliar itu terlalu kecil (lihat “Pelajaran dari Mogok Guru”, editorial Koran Tempo, 25 Januari 2008, hlm. A2). Ini berarti, anggaran pendidikan yang semula mencapai 6,80%, pada akhirnya anjlok menjadi 4,57%. Atas dasar ini muncul dua dampak negatif. Pertama, kegiatan belajar siswa buta aksara, pelatihan kepala sekolah dan guru, lomba Porseni serta lomba MIPA dihapuskan. Kedua, tunjangan yang kemudian tidak dibayar mencakup uang lauk pauk setiap guru PNS sebesar Rp 10.000 per hari yang diberlakukan sejak 2007 serta kelebihan jam mengajar rata-rata Rp 250.000 – Rp 300.000 per bulan untuk setiap guru yang telah berjalan selama kurang lebih tiga tahun.

Boleh dikata, unjuk rasa di halaman Gedung DPRD Kabupaten Merangin itu sekaligus ekspresi kemarahan kaum guru terhadap otoritas politik penentu anggaran pendidikan. Ternyata, dua hari unjuk rasa berjalan, tak ada respons proporsional baik dari DPRD maupun dari Pemkab Merangin. Maka, 6.200 guru se-Kabupaten Merangin lalu merangsak dengan aksi yang lebih serius manakala ditilik dari perspektif etis, yakni mogok mengajar secara kolektif. Para guru juga menggembok sekolah tempat mereka mengajar. Tak cukup sampai di situ, para guru menyerahkan sekitar 400 kunci gembok kepada DPRD. Pada titik inilah serta-merta eksistensi pendidikan berada dalam ancaman serius. Tak kurang dari 62.900 siswa menjadi tumbal pengorbanan tergelarnya aksi mogok itu. Panorama yang sama sekali tak menghibur ini digambarkan dengan kalimat “siswa resah, persiapan Ujian Nasional dan les tambahan terganggu” (Kompas, 24 Januari 2008, hlm. 1 dan 15).

Pembacaan secara seksama terhadap gelombang aksi mogok kaum guru di Kabupaten Merangin sesungguhnya bermuara pada kesimpulan “perjuangan luhur yang disertai oleh munculnya problema etis”. Inilah dilema mogok kerja kaum guru itu. Pada satu pihak, kebebasan sipil (civil liberties) memosisikan mogok kerja memiliki keabsahan untuk dipergunakan sebagai teknikalitas demi mendesakkan terjadinya akomodasi terhadap sebuah aspirasi. Terlebih ketika pelaksanaan aspirasi terkendala rigiditas struktur akibat bersimaharajalelanya kekuasaan kaum medioker, maka mogok kerja kian menemukan relevansinya. Namun di lain pihak, guru merupakan profesi dalam kaitan makna dengan pencerdasan anak-anak bangsa, kini maupun di masa depan. Ketika mogok kerja tampil sebagai opsi bercorak monolitik demi mendesakkan aspirasi, maka seketika itu pula siswa terpojokkan sebagai pihak yang harus menanggung beban kerugian. Bagaimana pun, guru merupakan aktor sentral pada keseluruhan relasi kuasa dalam dunia pendidikan. Mogok kerja kaum guru hanya mengondisikan dunia pendidikan berada dalam sebuah vakum yang tak perlu. Tanpa bisa dielakkan, mogok kerja kaum guru kontraproduktif manakala disimak ke dalam konteks penyelamatan siswa sebagai subyek didik. Maka, pertanyaan etisnya, apakah kaum guru mempertimbangkan eksistensi siswa tatkala mengambil opsi mogok kerja sebagai menifestasi protes terhadap kuasa politik yang pongah?

Dengan mengusung spirit heroisme, editorial surat-surat kabar nasional menarasikan pembelaan terhadap mogok kerja kaum guru. Editorial Koran Tempo (25 Januari 2008) membentangkan kalimat seperti ini: “Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan para guru lantaran aksi mogok itu bertujuan mulia. Mereka menuntut kenaikan anggaran pendidikan demi memajukan pengajaran di sana.” Editorial Koran Tempo juga menulis seperti ini: “Pemerintah daerah Merangin mungkin sulit menyusun APBD karena banyak keperluan lain yang mesti dianggarkan. Misalnya perhelatan pemilihan kepala daerah yang akan digelar pertengahan tahun ini. Tapi seharusnya dana pendidikan tidak dikorbankan. Apalagi konstitusi telah menggariskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, juga anggaran daerah. Ditegaskan pula dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, persentase itu tidak termasuk anggaran untuk menggaji para guru.” Hampir senada dengan itu editorial Kompas (25 Januari 2008) mengusung narasi kalimat: “Unjuk rasa yang kemudian mogok kerja merupakan cetusan rasa prihatin terhadap masa depan negeri ini”. Tanpa tedeng aling-aling editorial dua surat kabar ini berbicara tentang “perjuangan” kaum guru yang tanpa pretensi pamrih.

Sulit dinafikan, bahwa buruknya fasilitas pendidikan di Kabupaten Merangin tipikal buruknya pendidikan daerah pemekaran. Merangin semula bagian dari Kabupaten Sarolangun Bangko (Sarko). Kini, Merangin menghadapi masalah rendahnya kesejahteraan penduduk. Perikehidupan tenaga kependidikan berada dalam titik nadir keterpurukan. Tak mengherankan jika rendahnya pendapatan mendorong kaum guru nyambi sebagai tukang ojek dan atau penyadap karet (Kompas, 26 Januari 2008, hlm. 1 dan 15). Hanya saja, realitas ini tak berarti membenarkan kita menutup mata terhadap impak negatif mogok kerja kaum guru. Jika artikulasi aspirasi berubah menjadi mogok kerja, maka perjuangan kaum guru terperosok ke wilayah esensi, bukan eksistensi. Ini merupakan format protes yang sama sekali tak elegan. Terlebih lagi jika ternyata kaum guru masih menghadapi problema rendahnya kompetensi, mogok kerja lalu tak mungkin dimengerti sebagai jalan yang mulia. Sebab, apa lalu bedanya kaum guru dengan politikus busuk?[]

Tidak ada komentar: