Sabtu, 16 Februari 2008

Demokrasi dan Kemajuan Ekonomi

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Kemajuan ekonomi suatu bangsa tak pernah muncul serta-merta. Tak dapat dinafikan, terlampau banyak aspek dan dimensi yang secara simultan berfungsi sebagai variabel penentu terbentuknya kemajuan ekonomi. Ini berarti, ada kerangka logis, bagaimana mencapai kemajuan ekonomi. Yurisdiksi yang terintegrasi secara apik untuk menghadapi sengitnya persaingan antar-bangsa serta praksis ekonomi di tingkat domestik yang bersih dari diskriminasi, merupakan variabel pokok yang dibutuhkan mencetak kemajuan ekonomi. Bertitiktolak dari tersedianya variabel-variabel pokok itulah sebuah negara bahkan mampu melompat menuju fase dinamisasi perekonomian nasional dalam maknanya yang utuh melalui peran modal dan kewirausahaan, mampu mengeleminasi terjadinya pengangguran serta antisipatif menghadapi kemungkinan timbulnya stagflation di masa depan yang dekat. Hanya saja, munculnya aneka ragam variabel itu tak pernah bisa dilepaskan dengan prospek pelaksanaan demokrasi. Secara skematik, demokrasi justru mengondisikan munculnya berbagai variabel kemajuan ekonomi. Sejalan dengan ramainya perdebatan di seputar saling hubungan antara demokrasi dan kemakmuran rakyat, kerangka skematik ini relevan dikemukakan kini.

Selama kurang lebih satu dekade pascakekuasaan rezim Orde Baru Soeharto, Indonesia berada dalam satu titik pendulum untuk menemukan saling hubungan secara harmoni antara demokrasi dan kesejahteraan. Ketika pencarian akan hubungan harmoni antara demokrasi dan kesejahteraan terbentur jalan buntu, mendadak sontak muncul berbagai pandangan minor terhadap makna dan hakikat demokrasi. Beberapa tokoh penting negeri ini lantas berbicara tentang demokrasi sekadar sebagai “alat” untuk meraih kesejahteraan. Jika dengan jalan demokrasi tak jua terwujud kesejahteraan rakyat, maka demokrasi sebaiknya dicampakkan. Pendapat lain berpijak pada tesis bahwa hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan tak lain dan tak bukan hanyalah mitos belaka. Demokrasi dalam konteks ini justru ditegaskan sebagai atmosfer politik yang mengingkari prinsip efisiensi. Demokrasi diteropong sepenuhnya sebagai realisme yang serba rewel, kacau dan bahkan karut-marut.

Apa yang penting digarisbawahi dari berbagai pandangan minor ini ialah salah paham terhadap demokrasi. Kita melihat di sini, betapa demokrasi mengalami reduski makna, sebagai “mesin” terciptanya kesejahteraan rakyat. Akibatnya, dua hal fundamental tercerabut dari segenap pembicaraan tentang demokrasi. Pertama, demokrasi, sampai kapan pun, memiliki keutuhan perspektif. Dalam memberikan guidance terhadap kehidupan kolektif, demokrasi merupakan pandangan dunia (Weltanschauung). Bagi aktor politik dan ekonomi, demokrasi niscaya diyakini manfaatnya, diwacanakan pada tataran verbal sebagai pedagogi dan diejawantahkan ke dalam tindakan-tindakan konkret pada ruang publik maupun privat. Demokrasi, dengan demikian, tak semata berada dalam spektrum imanensi, tapi sekaligus bersifat transendental.

Kedua, praktik demokrasi merupakan fundamen terbentuknya variabel penentu kemajuan ekonomi. Sementara, kemajuan ekonomi memiliki hubungan sebab akibat dengan terciptanya kesejahteraan. Sebagaimana dapat disimak pada Gambar, kesejahteraan rakyat merupakan resultante dari bekerjanya berbagai variabel kemajuan ekonomi. Demokrasi merupakan sukma yang mampu mendorong terjadinya intensitas hubungan sebab akibat, dari variabel kemajuan ekonomi menuju kesejahteraan rakyat. Skema ini tak mungkin didekonstruksikan sebagai hubungan secara langsung dan niscaya antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi hanya bersentuhan langsung dengan aspek dan dimensi kemajuan ekonomi. Persis sebagaimana kemudian mengemuka dalam telaah ekonomi-politik, demokrasi merupakan atmosfer yang sepenuhnya memberi peluang bagi terciptanya hubungan sebab-akibat antara variabel kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Bertakzim pada skema yang dibentangkan pada Gambar, praktik demokrasi, kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sama-sama berada dalam atmosfer demokrasi. Sebagai konsekuensinya, liberalisasi politik dalam cakupan praktik demokrasi harus mampu menghadirkan suatu model pengendalian terhadap berbagai variabel penentu kemajuan ekonomi. Inilah pengendalian yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan akan hadirnya level playing field ke arah tegaknya keadilan ekonomi untuk tujuan luhur terwujudnya kesejahteraan rakyat. Menafikan skema ini maka sama saja maknanya dengan membiarkan terjadinya kebingungan dalam memahami hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Maka, liberalisasi bukanlah alasan untuk peniadakan politik kesejahteraan. Justru, politik kesejahteraan dibutuhkan untuk mendorong efektivitas berbagai variabel penentu kemajuan ekonomi. Sayangnya, pemerintah gagal memahami hukum besi (iron law) yang melandasi hubungan demokrasi dan kemajian ekonomi itu.

Terhitung sejak 2005, kebijakan dan kinerja pemerintah justru mendistorsi perekonomian nasional (Kompas, 21 Januari 2008, hlm. 5). Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005, kelangkaan minyak tanah di sejumlah daerah pada Oktober hingga Desember 2005, kenaikan harga beras pada Desember 2006, kenaikan harga minyak goreng selama Maret-Mei 2007, kelangkaan minyak tanah di sejumlah daerah pada Juni-Desember 2007 serta kelangkaan kedelai sejak Januari 2008, tak pelak lagi merupakan fakta yang secara telak menegasikan bekerjanya variabel kemajuan ekonomi. Tak cukup hanya itu, kenaikan harga bahan pokok—terutama telur, minyak goreng dan terigu—melambung secara simultan di berbagai tempat, sehingga publik benar-benar terbebani oleh kenaikan harga (Kompas, 22 Januari 2008, hlm.1 dan 15). Apa yang dapat dikatakan dengan fakta-fakta ini adalah gagalnya mewujudkan kesejahteraan rakyat akibat tak berfungsinya variabel-variabel kemajuan ekonomi, bukan karena kegagalan demokrasi secara keseluruhan.

Solusi atas masalah ini memang kembali pada praktik demokrasi. Bagi kalangan parlemen, tak ada pilihan logis selain melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Berbagai tendensi dalam kebijakan pemerintah yang dengan telak menisbikan variabel kemajuan ekonomi harus dihadapi kalangan parlemen sebagai agenda demokrasi. Kalau tidak, praktik demokrasi di Indonesia benar-benar bercorak prosedural. Parlemen dan pemerintah lalu potensial bermain mata untuk sama-sama mengamputasi fungsi berbagai variabel penentu kemajuan ekonomi.[]

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Business News.

Politik Penuntasan BLBI

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Secara intrinsik, apa yang disebut “skandal BLBI” ialah kewajiban para pengusaha dalam statusnya sebagai obligor mengembalikan uang kepada negara dalam jumlah fantantis. Ini merupakan rentetan logis dari penyelamatan negara berhadapan dengan timbulnya rush secara besar-besaran terhadap perbankan nasional pada pertengahan tahun 1997. Penyelamatan oleh negara itu sendiri berada dalam kerangka lender of the last resort Bank Indonesia sebagai bank sentral, demi menyanggah agar perbankan tak terhempas keruntuhan. Sementara, krisis moneter dan penutupan 16 bank—sesuai ketentuan Letter of Intent Dana Moneter Internasional (IMF)—merupakan sebab paling fundamental terjadinya rush. Hanya saja, uang yang kemudian mutlak dikembalikan kepada negara berada dalam kisaran Rp 702,5 triliun. Rinciannya, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 144,5 triliun, Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebanyak Rp 425,5 triliun, Program Penjaminan berjumlah Rp 73,8 triliun, Dana Talangan Rp 4,9 triliun dan Dana Rekening 502 sebesar Rp 53,8 triliun. Ketidakberesan pengembalian uang negara inilah yang mencuat sebagai problema ekonomi politik selama kurang lebih satu dekade berjalan. Dari sini pula benar-benar bergulir persoalan dengan bandrol “skandal BLBI”. Bukan cuma BLBI sebenarnya cakupan skandal yang menghebohkan itu. Tetapi, untuk lebih mudahnya, disebut “skandal BLBI”. Dan seakan menjadi takdir buruk bagi bangsa ini, perguliran skandal BLBI mempertaruhkan posisi rezim yang tengah berkuasa.

Tanpa bisa dielakkan, pada akhirnya terbentang benang merah persoalan. Bermula sejak era kekuasaan Presiden Soeharto, geneologi masalah BLBI mencuat ke permukaan sejalan dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pada 1998. Secara kategoris, BPPN bekerja untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset pengusaha yang diambil alih pemerintah. Pada era Presiden BJ Habibie, terbentuk apa yang disebut Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), melalui munculnya tiga model penyelesian. Pertama, diterbitkan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang ditanda tangani oleh, antara lain, obligor Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad dengan nilai total Rp 89,9 trliun. Kedua, diterbitkan Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) yang ditanda tangani oleh, antara lain, obligor Usman Admadjaja (Rp 12,5 triliun), Kaharuddin Ongko (Rp 8,3 triliun), Ho Kiarto dan Ho Kianto (Rp 297,6 miliar). Ketiga, diterbitkan Akta Pengakuan Utang (APU).

Pada era kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, semakin kentara persoalan “kebijakan penyelesaian obligor BLBI”. Pada kurun waktu ini dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 sebagai pedoman kebijakan bagi pelaksanaan tugas BPPN. Di samping itu, lahir UU No. 25/2000 tentang Propenas yang di dalamnya termaktub pemberian insentif bagi obligor kooperatif dan pinalti bagi obligor nonkooperatif. APU ditandatangani oleh 30 obligor dengan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) sebesar Rp 15,2 triliun. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri terbit Kepres No. 8/2002 yang memberi jaminan kepastian hukum bagi obligor melalui terbitnya Surat Keterangan Lunas (SKL). Obligor penerima SKL dalam konteks ini mencakup, antara lain, Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad. SKL juga diberikan kepada 17 PKPS APU. Dari semua cerita ini tingkat pengembalian JKPS dalam konteks MSAA mencapai Rp 89,9 triliun, MRNIA Rp 23,8 triliun dan APU Rp 15,2 triliun. Dalam kerangka recovery rate, tingkat pengembalian PKPS mencapai Rp 27,1 triliun, MRNIA Rp 2,3 triliun dan APU Rp 5,5 triliun. Sekadar catatan, untuk JKPS saja yang mencapai Rp 128,9 triliun, nilai utang yang tak kembali mencapai Rp 94 triliun dan recovery rate sebesar Rp 34,9 triliun.

Apa yang kemudian penting digarisbawahi lebih lanjut adalah gemuruh skandal BLBI di pemerintahan, parlemen dan di kalangan pengamat ekonomi. Selama kurang lebih satu dekade berjalan, media massa tak pernah sepi dari pemberitaan di seputar tanggung jawab kalangan obligor ke arah penyelesaian kewajiban pengembalian uang kepada negara. Namun seperti juga tak dapat dielakkan, rezim kekuasaan terus-menerus digugat agar sepenuhnya mampu memaksa obligor menuntaskan kewajiban. Begitu seriusnya persoalan ini, obligor dan rezim-rezim kekuasaan pada akhirnya berdiri pada titik episentrum tunggal untuk sama-sama menuai sorotan kritis publik. Bahkan, pembacaan secara seksama terhadap pemberitaan media massa berujung pada kesimpulan yang mengerikan. Bahwa, obligor dan rezim yang tengah berkuasa dikesankan terjerembab ke dalam perselingkuhan untuk secara bersama merengkuh keuntungan. Bukan saja kemudian pergunjingan hadir sebagai sesuatu yang tak terelakkan, lebih dari itu politik penuntasan BLBI tercitrakan ke ruang publik sebagai tawar-menawar kepentingan.

Pada 12 Februari 2008 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar sidang paripurna interpelasi BLBI. Sepuluh pertanyaan DPR kepada Presiden mendasari sidang interpelasi itu. Presiden dalam konteks ini kehadirannya diwakili oleh Menko Perekonomian Boediono, Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Mensesneg Hatta Radjasa, Menkumham Andi Matalatta, Kapolri Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dari sidang interpelasi ini pula lantas tersingkap jati diri obligor yang masuk dalam kategori nonkooperatif. Dalam kerangka MRNIA, obligor nonkooperatif mencakup S. Hartono (Bank Modern) serta Ho Kiarto dan Ho Kianto (Bank Hakindo). Sedangkan dalam kerangka APU, obligor nonkooperatif mencakup Santoso Sumali (Bank Metropolitan), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin P/Joseph Januardy (Bank Namura-Maduna), Santoso Sumali (Bank Bahari), Trijono Gondokusumo (Bank PSP), Henky Wijaya (Bank Tata), I Made Sudiarta/I Gde Dermawan (Bank Umum Aken) serta David Nusa Wijaya/Tarunodjojo (Bank Servitia).

Sayangnya, fakta ini tak direspons DPR secara cerdas untuk mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan masih ada obligor dalam kategori nonkooperatif. Sidang interpelasi DPR malah ricuh oleh persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak cukup hanya menciptakan hujan interupsi, banyak anggota DPR yang mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke meja pimpinan sidang. Anggota DPR dari F-PKS, Suryama M. Sastra, malah mempelopori walk out sebagai tanda protes terhadap ketidak hadiran Presiden RI. Kata Suryama, Presiden terkesan dengan sengaja mengabaikan kesejajaran kedudukan konstitusional antara pemerintah dan DPR. Maka, kita menyaksikan kericuhan sidang BLBI yang terpampang di layar televisi benar-benar sebagai pukulan balik kalangan parlemen. Aneh bin ajaib, kalangan parlemen memperlihatkan diri sebagai pihak yang tercederai eksistesinya oleh ketidakhadiran presiden. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa DPR tampak lebih mementingkan teknikalitas ketimbang substansi.

Penuntasan skandal BLBI, sampai kapan pun, dideterminasi oleh sikap pemerintah. Tragisnya, pemerintah mengedepankan prinsip out of court settlement menurut skema PKPS, MSAA, MRNIA dan APU. Skema inilah yang lantas mengondisikan skandal BLBI bermetamorfosis menjadi tawar-menawar. Apa yang ditengarai sebagai “politik penuntasan BLBI” merupakan situasi yang memungkinkan rezim-rezim kekuasaan mendapatkan keuntungan dari bekerjanya prinsip out of court settlement. Penyelesaian skandal BLBI, apa boleh buat, pada akhirnya jauh dari kewajaran. Lima obligor dalam skema MSAA, misalnya, hanya membayar 17,3% hingga 55,7% dari total kewajiban yang harus ditunaikan. Obligor yang berutang Rp 52 triliun, ternyata hanya mengembalikan Rp 19 triliun. Obligor lain yang berutang Rp 28 triliun, hanya mengembalikan Rp 4,9 triliun (lihat editorial Republika, 13 Februari 2008). DPR yang diliputi aura korupsi menangkap semua kenyataan ini sebagai persoalan yang berpeluang untuk dipelintir. Maka, sidang BLBI 12 Februari 2008 benar-benar menyerupai ketoprak humor. Editorial Media Indonesia (13 Februari 2008) lalu menyimpulkan semua ini sebagai “malapetaka interpelasi”.[]

Artikel ini pernah dipublikasikan di Business News.

Pangan untuk Rakyat

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Sulit mengingkari kenyataan, bahwa Indonesia terjerembab ke dalam masalah rumit kenaikan harga pangan. Terhitung sejak akhir 2007 dan terus bergulir hingga permulaan 2008, kenaikan harga pangan di berbagai penjuru Nusantara mengkristal sebagai ancaman paling serius ke arah runtuhnya daya beli masyarakat. Secara karikatural dapatlah disebutkan, bahwa telur, minyak goreng dan terigu tampil sebagai komoditas yang terpilin ke dalam persoalan rumit lonjakan harga. Komoditas lain berada dalam fluktuasi kenaikan yang lebih rendah gradasinya dibandingkan tiga komoditas itu. Sungguh pun demikian, secara agregat, kenaikan berbagai komoditas pangan membebani masyarakat. Tak dapat dibantah pada akhirnya, bahwa inilah realisme buruk yang menghantam secara telak purchasing power parity rakyat Indonesia. Akibatnya sungguh tragis. Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan yang kian mahal, masyarakat terpaksa menggadaikan harta benda.

Apa yang dapat dikatakan pada akhirnya adalah ini. Jika kenaikan harga pangan tak tertangani secara seksama, dampak paling mencolok yang dengan segera dapat dirasakan resonansinya ialah delegitimasi kekuasaan rezim yang tengah berkuasa. Bahkan, delegitimasi dimaksud sangat mungkin menyerupai perguliran bola salju, kian membesar dan terus membesar. Seperti mengulang berlakunya hukum besi dalam sejarah, krisis pangan pada akhirnya bergerak secara liar menjadi kekuatan perusak yang meluluhlantakkan eksistensi bangsa secara keseluruhan. Sayangnya, stabilisasi harga pangan menurut rancang bangun pemerintah tidak fokus pada penanganan produksi pertanian. Apa boleh buat, stabilisasi harga pangan diupayakan melalui penanganan instrumen fiskal.

Dalam makna generiknya, memang, kenaikan harga tak mungkin disimplifikasi semata sebagai kegagalan pemerintah. Atmosfer politik yang terbentuk oleh jalinan kuasa berlandaskan demokrasi mendekonstruksi kedigdayaan komando yang semula berjalin kelindan dengan otoritas pemerintah. Prinsip demokrasi justru meniscayakan dicerabutnya berbagai format sistem komando. Sejalan dengan tegaknya prinsip demokrasi, ekonomi merupakan domain yang sama sekali tak steril dari tercerabutnya sistem komando. Dengan demikian, kenaikan harga harus dimengerti sebagai konsekuensi logis atas perkembangan pasar yang bergerak bebas sejalan dengan tarian tango demokrasi. Hanya saja, aksioma ini menjadi tak relevan jika ternyata kenaikan harga memiliki titik singgung secara sangat kuat dengan komoditas pangan. Secara substansial, komoditas pangan berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat. Maka, sedemokratis apa pun pemerintahan, tak bisa tidak, ia harus campur tangan mengatasi persoalan kenaikan harga komoditas pangan. Stabilisasi harga komoditas pangan yang bercorak regulatif justru merupakan moral obligation bagi pemerintahan demokratis.

Imperatif ini dapat dielaborasi lebih lanjut melalui pejelasan berikut. Prestasi pemerintahan dideterminasi oleh tinggi rendahnya inflasi. Pemerintahan, di mana pun dan dalam sistem politik apa pun, berhadapan dengan ujian berat inflasi. Tingginya angka inflasi merupakan sinyal berkenaan dengan kegagalan pemerintah mengawal tata kelola ekonomi masyarakat. Inflasi tinggi merupakan potret paling gamblang kegagalan pemerintah. Sementara pada tataran empirik, inflasi berpengaruh buruk terhadap perekonomian masyarakat bawah. Itulah mengapa, pembicaraan tentang inflasi tak pernah bisa dilepaskan dari kapasitas nasional untuk mampu berswasembada pangan. Maka, kenaikan harga pangan tak mungkin dibiarkan terus bergulir mengikuti orkestrasi pasar bebas. Penyelamatan eksistensi masyarakat bawah jauh lebih penting dibandingkan dengan capaian efisiensi ekonomi menurut logika pasar bebas. Demokrasi politik dalam konteks ini justru harus diartikulasikan menuju terbentuknya kekuatan kontrol terhadap pasar bebas. Tujuannya, mencegah pasar bebas agar tak semena-mena menentukan struktur harga komoditas pangan. Persoalannya kemudian, apakah truisme ini mendapatkan perhatian secara seksama dari pemerintahan yang tengah berkuasa kini?

Pertanyaan ini memiliki kaitan makna secara sangat jelas dengan watak pasar bebas. Apa yang dalam perspektif sosiologis dikategorikan sebagai “masyarakat bawah”, tidaklah penting benar bagi pasar bebas. Sejauh masyarakat bawah itu bukanlah individu-individu produktif, maka sejauh itu pula mereka teraleinasi dari cakupan efisiensi pasar bebas. Spontanitas dan adaptabilitas yang inherent ke dalam pasar bebas bukanlah medan perlindungan bagi masyarakat bawah dari keniscayaan tingginya kapasitas produksi dalam atmosfer kompetitif. Realisme pasar bebas yang sedemikian rupa itu mengingatkan kita pada penjelasan yang termaktub ke dalam pemikiran pemenang Hadiah Nobel ekonomi pada 1974, Friedrich August von Hayek (1899-1992). Dalam bukunya bertajuk Individualism and Economic Order (Chicago: The Chicago University Press, 1992[1948]), Hayek berbicara tentang hakikat pasar bebas yang tak pernah bisa dilepaskan dari apa yang disebut competitive order. Bagi mereka yang lemah, pasar bebas benar-benar bekerja layaknya sebuah killing field.

Jika pemerintah yang tengah berkuasa lantas bertekuk lutut pada segenap prasyarat dan realisme pasar bebas, maka serta-merta pemerintah kehilangan empati terhadap nestapa dan penderitaan rakyat. Di samping itu, kebertekuk-lututan pada pasar bebas justru kian menjauhkan pemerintah dari kemampuan memenuhi imperatif tegaknya pilar keadilan untuk semua. Lagi-lagi pertanyaannya, di mana letak keberpihakan pemerintah Indonesia kini, kepada masyarakat bawah atau kepada pasar bebas?

Alih-alih memperlihatkan tanggung jawab, pemerintah malah melontarkan apologia tatkala berbicara tentang gentingnya masalah pangan di negeri ini. Dalam pengarahannya pada rapat pimpinan TNI di Cilangkap, Jakarta, 24 Januari 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah menegaskan, bahwa krisis pangan di Indonesia, yang dapat mengancam perekonomian, adalah gejala dunia, bukan khas Indonesia. Dengan jumlah penduduk 6,3 miliar jiwa, dunia kini dan mendatang akan menghadapi masalah ketahanan pangan. Pernyataan ini merupakan gambaran eksplisit tak adanya kemauan sungguh-sungguh dari pihak pemerintah untuk menemukan jalan keluar terbaik penyelesaian masalah pangan melalui optimalisasi kapasitas terpasang produksi pertanian di dalam negeri.

Diperhadapkan pada kenyataan besarnya persentase impor pangan Indonesia, pernyataan presiden ini vatalistik sifatnya. Pernyataan ini bukanlah trigger demi menemukan jalan keluar terbaik agar bangsa ini mampu melakukan upaya-upaya terobosan keluar dari kemelut pangan. Data HKTI menyebutkan, Indonesia memiliki ketergantungan yang besar pada pangan impor. Dari total kebutuhan pangan nasional, outsanding impor pangan itu mencapai 90% untuk susu, 70% untuk kedelai, 50% untuk garam, 30% untuk gula, 25% untuk daging sapi, 15% untuk kacang tanah dan 10% untuk jagung. Sesuatu yang kemudian niscaya dilakukan adalah memutus ketergantungan terhadap pangan impor. Sehingga dengan demikian, pernyataan presiden itu dapat diinterpretasikan sebagai pencarian kambing hitam atas terjadinya kemelut pangan di tingkat domestik. Kalau pun dunia kini tengah diperhadapkan pada problema besar krisis pangan, tak ada dasar-dasar moralitas untuk menjadikan kenyataan tersebut sebagai permakluman untuk melepaskan tanggung jawab penuntasan kemelut pangan di dalam negeri. Bahkan, sejatinya, pemenuhan pangan rakyat tak perlu dicari-cari kaitannya dengan gelombang krisis pangan di tingkat global. Berpijak pada kondisi obyektif alam Indonesia yang subur, kinilah saatnya memperkuat basis produksi pangan di dalam negeri melalui revitalisasi pertanian.

Pemenuhan pangan rakyat, pada akhirnya, mempersyaratkan adanya kepemimpinan nasional yang clear and distinct. Bahkan, bagi seorang pemimpin nasional, pemenuhan pangan rakyat mutlak dimengerti sebagai agenda kebangsaan.[]

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Business News.

Bahaya Jangka Panjang Pilkada

Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Menjelang perayaan Hari Lahir ke-82 Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Muzadi bersama beberapa orang tokoh teras NU datang menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Januari 2008. Pada pokoknya, kedatangan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NU itu untuk menyampaikan undangan agar presiden memberi sambutan dalam perayaan hari lahir NU pada 3 Februari 2008 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Sampai di sini, tak ada dentuman persoalan berarti. Sang presiden bersedia memenuhi undangan itu. Tetapi, usai berjumpa presiden, Hasyim Muzadi melontarkan pernyataan menggelegar dan resonansinya menggeletarkan jagat politik nasional. Bahwa, NU mencemaskan ekses pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung (Republika, 26 Januari 2008, hlm. 12). Pilkada langsung menimbulkan polarisasi di masyarakat, sumber konflik horizontal dan membuang-buang uang. Atas dasar ini NU, menurut Hasyim Muzadi, menyarankan agar Pilkada dihapuskan (Kompas, 26 Januari 2008, hlm. 3). Dari sini pula lantas bergulir pertanyaan kritikal. Substansi apa sesungguhnya yang termaktub di balik pernyataan Hasyim Muzadi itu?

Penting untuk terlebih dahulu dicatat, bahwa dalam tilikan filosofis sesungguhnya mustahil menghapuskan Pilkada. Penghapusan Pilkada sama dan sebangun maknanya dengan menarik mundur proses penciptaan konstruksi politik berlandaskan demokrasi. Pilkada dengan segala kelemahannya kini justru harus dimengerti sebagai sebuah sekuen dalam bentangan panjang evolusi demokrasi di Tanah Air. Aneka kelemahan yang inherent di dalamnya mutlak untuk dimengerti sebagai tantangan besar yang sejatinya dipecahkan oleh bangsa ini. Perjalanan waktu selama kurang lebih satu dekade sejak berakhirnya kekuasan otoriter Orde Baru Soeharto jangan sampai kemudian ditimpali oleh penghapusan segenap trase dan pencapaian demokrasi dalam format Pilkada. Ini berarti, buruk muka janganlah cermin dibelah. Sungguh pun demikian, “penghapusan Pilkada” dalam artikulasi Hasyim Muzadi itu mendesak untuk dielaborasi lebih jauh hakikat masalahnya. Pertanyaan hipotetik yang niscaya dikedepankan ialah, di mana letak kelemahan dan kekurangan Pilkada? Dapatkan segenap kelemahan dan kekurangan itu diberikan sebuah jalan keluar? Bertitik tolak dari pertanyaan-pertanyaan ini, maka tak berlebihan jika kita pada akhirnya berbicara tentang bahaya jangka panjang Pilkada oleh munculnya empat persoalan berikut ini.

Pertama, Pilkada memperluas, memperdalam serta menumbuh suburkan praktik politik uang (money politics) dalam berbagai bentuknya. Terhadap publik konstituen, politik uang menemukan manifestasinya pada pembelian suara menjelang dan atau pada saat pelaksanaan Pilkada. Terhadap partai politik, money politics menemukan manifestasinya ke dalam apa yang disebut “gizi” atau “mahar politik”. Tampilnya seorang kandidat melalui kelembagaan partai, telah mencuatkan transaksi jual-beli dukungan pada level institusi (baca: partai politik). Seorang kandidat harus menyerahkan uang dalam jumlah besar agar partai politik bersedia mengusungnya sebagai kandidat. Maka, Pilkada bergeser menjadi praksis demokrasi yang membuka ruang secara sangat lebar terhadap para pemilik uang, merebut kepemimpinan politik. Terbentuknya sebuah formasi kepemimpinan politik pada tingkat lokal melalui mekanisme Pilkada tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah proses semu. Political pattern ini tak sepenuhnya mampu berfungsi sebagai rekrutmen kepempinan politik dalam maknanya yang genuine.

Kedua, Pilkada mengkristalisasi kecenderungan politisasi agama. Di kantong-kantong NU—sebagaimana disinggung Hasyim Muzadi—politisasi agama berlangsung secara sangat serius. Bahkan, dari politisasi agama itu kemudian bergulir polarisasi masyarakat. Para tokoh agama saling berhadapan secara vis-à-vis satu sama lain, sejalan dengan perbedaan kandidat yang mereka gadang. Tokoh agama pada pelataran ini kehilangan misi profetiknya. Lantaran sedemikian jauh terseret ke dalam kancah pertarungan memperebutkan kuasa politik, tokoh-tokoh agama lalu terbentur persoalan reduksi makna, yaitu hanya berpijak pada kesadaran pikir kalah-menang di atas panggung pertaruhan politik. Dalam konteks ini, agama tanpa kesalehan sosial kian menemukan aksentuasinya. Hasyim Muzadi melukiskan problema itu dengan narasi kalimat: “Masing-masing kandidat mendatangi para kiai dan santri untuk memperoleh dukungan. Kemudian mereka dikristalisasikan, namun setelah Pilkada selesai tidak kembali mencair. Bupati sudah dipilih, tapi kiai dan santrinya masih ribut” (Republika, 26 Januari 2008, hlm. 12).

Ketiga, proses Pilkada yang berjalan hingga dewasa ini membawa serta transmutasi politik secara sangat pelik. Kepemimpinan politik, pada dasarnya, merupakan domain pengabdian bagi seseorang untuk mencapai derajat negarawan. Tragisnya, Pilkada telah menggeser orientasi, sehingga kepemimpinan politik diturunkan derajatnya sekadar sebagai karir. Implikasi serius yang ditimbulkan oleh kenyataan ini berhubungan erat dengan buruknya penghayatan terhadap politik sebagai nilai (values). Apa boleh buat, politik lalu terpenjara ke dalam struktur makna yang begitu miopik. Itulah mengapa, kepemimpinan politik dimengerti sebagai sesuatu yang sama dan sebangun dengan peluang atau kesempatan mengakumulasi kekayaan dalam jumlah besar. Kepemimpinan politik lantas kehilangan dimensi pengorbanan. Padahal, seperti diperlihatkan oleh para founding fathers negeri ini, pengorbanan merupakan elan vital atau sukma yang memberikan daya hidup pada kepemimpinan politik. Pilkada, dengan sendirinya, telah mencetuskan apa yang disebut the poverty of sacrifice pada ranah kepemiminan politik.

Keempat, Pilkada mengutuhkan dirinya sebagai panggung yang mengakomodasi kehadiran para petarung politik. Kita kini dapat mencatat, bahwa politik yang telah kehilangan dimensi transendentalnya mengambil titik tolak dari punahnya pandangan-pandangan obyektif di kalangan pemimpin politik. Dalam maknanya yang transendental, politik adalah values yang mampu melihat problema kenegaraan dan kemasyarakatan dari berbagai dimensinya. Di antara tumpukan dan hamparan berbagai macam problema itu, sang pemimpin politik mampu meneropongnya dari ketinggian. Sehingga, segenap dimensi yang berjalin kelindan dengan tumpukan dan hamparan berbagai masalah dapat ditangkap hakikatnya. Pada titik inilah terjadi obyektivikasi permasalahan. Celakanya, kemampuan melakukan obyektivikasi masalah itu muskil diharapkan datang dari para petarung politik. Kemampuan obyektivikasi masalah hanya mungkin dilakukan oleh para pemimpin politik dalam kategori—meminjam istilah filsuf Plato—philosopher-king atau pemimpin politik nan bijaksana. Para petarung politik adalah seseorang dengan pandangan dunia parsial-partikular. Ia takkan pernah bisa untuk sepenuhnya mampu berdiri tegak sebagai philosopher-king.

Persenyawaan empat hal inilah yang kemudian menggulirkan banyak persoalan dalam Pilkada. Maka, pernyataan KH Hasyim Muzadi sejatinya dimengerti ke dalam pernak-pernik persoalan sebagaimana dikemukakan di atas. Hanya saja, usulan penghapusan Pilkada tak mungkin diterima secara taken for granted sebagai terapi persoalan. Jauh lebih elegan jika empat bentangan persoalan di atas diberikan respons secara proporsional sebagai tantangan yang niscaya diselesaikan bangsa ini. Bahkan, model penyelesaian yang ditawarkan sepenuhnya merupakan substansiasi atau pemaknaan secara fundamental terhadap praktik demokrasi dalam kerangka Pilkada. Dari sini, dibutuhkan sukma baru pada segenap prosedur dan mekanisme Pilkada.

Apa yang kemudian penting ditegaskan lebih lanjut adalah melihat Pilkada tak semata menurut cara pandang positivistik-linear. Pilkada justru harus dimengerti sebagai political reengineering berlandaskan nilai-nilai demokrasi untuk mengakhiri kecenderungan paganistik dalam politik serta untuk keperluan deprimordialisasi dalam proses mobilisasi dukungan massa. Hanya dengan ikhtiar ini politik benar-benar bekerja sebagai panggilan dan kepemimpinan politik ditinggikan derajatnya sebagai pewadahan bagi kehadiran para negarawan. Sejauh ikhtiar ini diabaikan, maka sejauh itu pula kita menghadapi bahaya jangka panjang Pilkada. Begitulah[]