Sabtu, 16 Februari 2008

Demokrasi dan Kemajuan Ekonomi

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Kemajuan ekonomi suatu bangsa tak pernah muncul serta-merta. Tak dapat dinafikan, terlampau banyak aspek dan dimensi yang secara simultan berfungsi sebagai variabel penentu terbentuknya kemajuan ekonomi. Ini berarti, ada kerangka logis, bagaimana mencapai kemajuan ekonomi. Yurisdiksi yang terintegrasi secara apik untuk menghadapi sengitnya persaingan antar-bangsa serta praksis ekonomi di tingkat domestik yang bersih dari diskriminasi, merupakan variabel pokok yang dibutuhkan mencetak kemajuan ekonomi. Bertitiktolak dari tersedianya variabel-variabel pokok itulah sebuah negara bahkan mampu melompat menuju fase dinamisasi perekonomian nasional dalam maknanya yang utuh melalui peran modal dan kewirausahaan, mampu mengeleminasi terjadinya pengangguran serta antisipatif menghadapi kemungkinan timbulnya stagflation di masa depan yang dekat. Hanya saja, munculnya aneka ragam variabel itu tak pernah bisa dilepaskan dengan prospek pelaksanaan demokrasi. Secara skematik, demokrasi justru mengondisikan munculnya berbagai variabel kemajuan ekonomi. Sejalan dengan ramainya perdebatan di seputar saling hubungan antara demokrasi dan kemakmuran rakyat, kerangka skematik ini relevan dikemukakan kini.

Selama kurang lebih satu dekade pascakekuasaan rezim Orde Baru Soeharto, Indonesia berada dalam satu titik pendulum untuk menemukan saling hubungan secara harmoni antara demokrasi dan kesejahteraan. Ketika pencarian akan hubungan harmoni antara demokrasi dan kesejahteraan terbentur jalan buntu, mendadak sontak muncul berbagai pandangan minor terhadap makna dan hakikat demokrasi. Beberapa tokoh penting negeri ini lantas berbicara tentang demokrasi sekadar sebagai “alat” untuk meraih kesejahteraan. Jika dengan jalan demokrasi tak jua terwujud kesejahteraan rakyat, maka demokrasi sebaiknya dicampakkan. Pendapat lain berpijak pada tesis bahwa hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan tak lain dan tak bukan hanyalah mitos belaka. Demokrasi dalam konteks ini justru ditegaskan sebagai atmosfer politik yang mengingkari prinsip efisiensi. Demokrasi diteropong sepenuhnya sebagai realisme yang serba rewel, kacau dan bahkan karut-marut.

Apa yang penting digarisbawahi dari berbagai pandangan minor ini ialah salah paham terhadap demokrasi. Kita melihat di sini, betapa demokrasi mengalami reduski makna, sebagai “mesin” terciptanya kesejahteraan rakyat. Akibatnya, dua hal fundamental tercerabut dari segenap pembicaraan tentang demokrasi. Pertama, demokrasi, sampai kapan pun, memiliki keutuhan perspektif. Dalam memberikan guidance terhadap kehidupan kolektif, demokrasi merupakan pandangan dunia (Weltanschauung). Bagi aktor politik dan ekonomi, demokrasi niscaya diyakini manfaatnya, diwacanakan pada tataran verbal sebagai pedagogi dan diejawantahkan ke dalam tindakan-tindakan konkret pada ruang publik maupun privat. Demokrasi, dengan demikian, tak semata berada dalam spektrum imanensi, tapi sekaligus bersifat transendental.

Kedua, praktik demokrasi merupakan fundamen terbentuknya variabel penentu kemajuan ekonomi. Sementara, kemajuan ekonomi memiliki hubungan sebab akibat dengan terciptanya kesejahteraan. Sebagaimana dapat disimak pada Gambar, kesejahteraan rakyat merupakan resultante dari bekerjanya berbagai variabel kemajuan ekonomi. Demokrasi merupakan sukma yang mampu mendorong terjadinya intensitas hubungan sebab akibat, dari variabel kemajuan ekonomi menuju kesejahteraan rakyat. Skema ini tak mungkin didekonstruksikan sebagai hubungan secara langsung dan niscaya antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi hanya bersentuhan langsung dengan aspek dan dimensi kemajuan ekonomi. Persis sebagaimana kemudian mengemuka dalam telaah ekonomi-politik, demokrasi merupakan atmosfer yang sepenuhnya memberi peluang bagi terciptanya hubungan sebab-akibat antara variabel kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Bertakzim pada skema yang dibentangkan pada Gambar, praktik demokrasi, kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sama-sama berada dalam atmosfer demokrasi. Sebagai konsekuensinya, liberalisasi politik dalam cakupan praktik demokrasi harus mampu menghadirkan suatu model pengendalian terhadap berbagai variabel penentu kemajuan ekonomi. Inilah pengendalian yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan akan hadirnya level playing field ke arah tegaknya keadilan ekonomi untuk tujuan luhur terwujudnya kesejahteraan rakyat. Menafikan skema ini maka sama saja maknanya dengan membiarkan terjadinya kebingungan dalam memahami hubungan antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Maka, liberalisasi bukanlah alasan untuk peniadakan politik kesejahteraan. Justru, politik kesejahteraan dibutuhkan untuk mendorong efektivitas berbagai variabel penentu kemajuan ekonomi. Sayangnya, pemerintah gagal memahami hukum besi (iron law) yang melandasi hubungan demokrasi dan kemajian ekonomi itu.

Terhitung sejak 2005, kebijakan dan kinerja pemerintah justru mendistorsi perekonomian nasional (Kompas, 21 Januari 2008, hlm. 5). Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005, kelangkaan minyak tanah di sejumlah daerah pada Oktober hingga Desember 2005, kenaikan harga beras pada Desember 2006, kenaikan harga minyak goreng selama Maret-Mei 2007, kelangkaan minyak tanah di sejumlah daerah pada Juni-Desember 2007 serta kelangkaan kedelai sejak Januari 2008, tak pelak lagi merupakan fakta yang secara telak menegasikan bekerjanya variabel kemajuan ekonomi. Tak cukup hanya itu, kenaikan harga bahan pokok—terutama telur, minyak goreng dan terigu—melambung secara simultan di berbagai tempat, sehingga publik benar-benar terbebani oleh kenaikan harga (Kompas, 22 Januari 2008, hlm.1 dan 15). Apa yang dapat dikatakan dengan fakta-fakta ini adalah gagalnya mewujudkan kesejahteraan rakyat akibat tak berfungsinya variabel-variabel kemajuan ekonomi, bukan karena kegagalan demokrasi secara keseluruhan.

Solusi atas masalah ini memang kembali pada praktik demokrasi. Bagi kalangan parlemen, tak ada pilihan logis selain melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Berbagai tendensi dalam kebijakan pemerintah yang dengan telak menisbikan variabel kemajuan ekonomi harus dihadapi kalangan parlemen sebagai agenda demokrasi. Kalau tidak, praktik demokrasi di Indonesia benar-benar bercorak prosedural. Parlemen dan pemerintah lalu potensial bermain mata untuk sama-sama mengamputasi fungsi berbagai variabel penentu kemajuan ekonomi.[]

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Business News.

Tidak ada komentar: