Rabu, 19 Maret 2008

Politik yang Post-Positivistik


Anwari WMK
anwari_wmk@analisis-berita.com

Kamis, 13 Maret 2008. Surat-surat kabar nasional menurunkan headline dengan tema serupa, yaitu permasalahan di seputar proses dan hasil seleksi calon Gubernur Bank Indonesia (BI) di Komisi XI (Keuangan dan Perbankan) DPR-RI. Secara substansial, resultante dari seleksi ini merupakan sesuatu yang aneh bin ajaib. Bagaimana tidak? Pemerintah dan DPR terperangkap ke dalam jalan buntu (deadlock) demi menjalin kesepakatan politik menetapkan seorang figur untuk kemudian menduduki kursi Gubernur BI. Dari dua calon yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata semuanya—Agus D.W. Martowardojo dan Raden Pardede—terpental dari fit and proper test DPR. Apa boleh buat, keduanya dinyatakan tak lolos seleksi. Jika dalam voting Agus D.W. Martowardojo meraih 21 suara, maka Raden Pardede sama sekali tak mendapatkan dukungan suara. Sementara, penolakan terhadap dua kandidat Gubernur BI itu mencapai 29 suara. Voting itu sendiri diikuti oleh 50 orang dari jumlah total anggota Komisi XI yang mencapai 51 orang. Peristiwa yang tak ada presedennya ini serta-merta menyentak jagat pemberitaan media massa.

Kompas lalu menurunkan headline bertajuk: “DPR Tolak Agus dan Pardede”. Koran Tempo tampil dengan headline “Dewan Tolak Kedua Calon”, Media Indonesia dengan headline “Komisi XI Tolak Agus dan Pardede”, Republika dengan judul “DPR Tolak Agus dan Raden” dan Seputar Indonesia dengan kepala berita “DPR Tolak Calon Gubernur BI”. Pendek cerita, tak ada yang lebih penting bagi surat-surat kabar nasional pada edisi 13 Maret 2008, selain mengedepankan headline berkenaan dengan kedigdayaan DPR menolak semua calon Gubernur BI yang diajukan presiden. Pertanyaannya kemudian, apa ini merupakan sesuatu yang positif bagi demokrasi? Adakah peristiwa ini memiliki kaitan makna dengan tendensi munculnya apa yang disebut “politik post-positivistik”? Dengan ucapan dan teknikalitas kata-kata, penolakan DPR sesungguhnya ditimpali oleh ketidakjelasan rasionalitas. Apa yang kemudian penting digarisbawahi adalah ini. Penolakan DPR terhadap dua calon Gubernur BI tak hanya bertitik-tolak dari pertimbangan kompetensi, tetapi juga berdasarkan pertimbangan politik. Apa makna argumen ini?

Sulit dibantah, DPR mengedepankan subyektifitasnya saat tengah melakukan fit and proper test. Agar tak tampak sebagai sesuatu yang janggal, seleksi kandidat Gubernur BI dibahasakan sebagai sebuah proses politik yang niscaya. Sebagaimana juga berlaku sebagai aksioma dalam proses seleksi calon pejabat publik yang lain (Hakim Agung, Anggota KPU, Hakim Konstitusi, Ketua KPK, Anggota Komnas HAM, Panglima TNI dan Kepala Polri), fit and proper test benar-benar berkembang menjadi ritual politik di parlemen. Tetapi apa yang disebut sebagai “proses politik” dalam konteks seleksi Gubernur BI tak memiliki kejelasan parameter. Justru, apa yang disebut “proses politik” cenderung melingkar-lingkar semata sebagai gumpalan spekulasi. Maka, apa yang kemudian ditengarai sebagai “akseptabilitas” bagi setiap calon Gubernur BI sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan “kedekatan politik” dan “kepentingan politik jangka pendek”. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa muncul desas-desus sogok dan politik uang di DPR menjelang pelaksanaan fit and proper test Agus dan Pardede. Bahkan, fit and proper test pun diplesetkan menjadi fee and property (lihat tajuk “Uji Kelayakan di DPR”, Kompas, 13 Maret 2008, hlm. 6).

Terhitung sejak era pasca-Orde Baru, fit and proper test telah sedemikian rupa menelusup masuk ke dalam leksikologi politik di Indonesia. Fit and proper test merupakan terminologi berkenaan dengan adanya nisbah antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru. Makna substantif dari penyelenggaraan fit and proper test ialah talent scouting atau pencarian bakat-bakat mumpuni di antara anak-anak bangsa—untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Dengan demikian, fit and proper test berada dalam setting reformasi politik demi mengedepankan kehadiran pejabat publik yang bersih dari hipokritas. Dahsyatnya lagi, fit and proper test diimplementasikan melalui pola kerja yang berjalan di kelembagaan DPR.

Masalahnya, realisme yang lantas mencuat ke permukaan adalah ambigu. Pada satu sisi, DPR pasca-Orde Baru mendapatkan mandat dan kewenangan legal melakukan fit and proper test terhadap siapa pun yang bakal menduduki jabatan publik tingkat tinggi. Pada lain sisi, DPR menghasilkan sesuatu yang mengecewakan publik. Figur-figur yang dinyatakan lolos fit and proper test, ternyata, tak seperti yang diidealisasikan sebagai tokoh berintegritas dan sekaligus mumpuni. Irawady Joenoes yang tersandung kasus suap, misalnya, merupakan salah seorang anggota Komisi Yudisial yang lolos dari fit and proper test. Dari sini lantas tak terelakkan munculnya pertanyaan bernada kritikal. Bagaimana mungkin DPR meloloskan figur korup semacam itu? Ada apa sesungguhnya dengan uji kepatutan dan kelayakan DPR?

Pertama, terlampau obsesifnya DPR melakukan fit and proper test berada dalam spektrum pencarian format relasi kuasa secara ekuivalen, eksekutif-legislatif. Pada zaman Orde Baru, kekuasaan legislatif sekadar hadir sebagai stempel karet bagi kekuasaan eksekutif. Realisme inilah yang mengondisikan parlemen pada era Orde Baru kosong dari ketegasan kritisisme terhadap kekuasaan eksekutif. Padahal, kekuasaan eksekutif itu sendiri begitu pongahnya manakala harus berhadapan dengan tuntutan-tuntutan aspiratif publik. Tatkala Orde Baru tumbang, tuntutan ke arah penguatan posisi kekuasaan legislatif mengemuka sedemikian dahsyatnya. Tanpa bisa dielakkan, meletup keinginan ke arah terjadinya pergeseran pendulum kekuasaan. Executive heavy diupayakan agar tak terus-menerus mewarnai perpolitikan Indonesia. Sayangnya, pergeseran pendulum itu tak melahirkan tata kelola politik yang holistik, tetapi justru mencetuskan ekstremitas yang lain. Jika di masa Orde Baru muncul executive heavy, pada era pasca-Orde Baru justru mencuat legislative heavy. Dengan dilandasi kehendak untuk melakukan balas dendam (lihat editorial “DPR sebagai Lembaga Seleksi”, Media Indonesia, 12 Maret 2008, hlm. 1), pendulum hanya mampu bergerak dari satu ekstremitas ke ekstremitas lain. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa fit and proper test diskenariokan agar parlemen berada dalam posisi lebih tinggi dibandingkan pemerintah.

Kedua, DPR diperhadapkan dengan problema kelemahan metodologi saat harus melakukan seleksi pejabat publik. DPR hanya mampu fokus pada aspek-aspek empirik-positivistik dari kandidat pejabat publik yang tengah mengikuti proses fit and proper test. Sudah dalam keadaan demikian, basis argumentasi yang diusung dalam format kalimat tanya merupakan argumentasi yang bercorak semantik, yaitu pokrol bambu dan akrobat kata-kata. Hampir tidak ada argumentasi yang bersifat logis, apalagi literer. Dengan segala permintaan maaf harus dikatakan, fit and proper test tak disertai oleh besarnya kapasitas untuk bertanya pada tataran analisis wacana (discourse analysis), hermeneutik dan semiotika. DPR lalu bekerja secara terbatas menyingkap esensi, namun gagal menyelami eksistensi kandidat pejabat publik. Jangan heran jika kandidat pejabat publik dalam proses fit and proper test leluasa tampil innocent. Padahal, sang kandidat sesungguhnya korup.

Pada titik ini, ada kebutuhan agar DPR mulai memperhatikan hakikat politik post-positivistik. Realitas tak mungkin hanya dilihat secara apa adanya. Realitas membutuhkan penafsiran secara sangat cerdas untuk dapat dimengerti segenap hakikatnya. Maka, tanpa bisa dielakkan, harus ada kerendahan hati menerapkan metode analisis wacana, hermeneutik dan semiotika dalam proses fit and proper test. Penolakan secara total terhadap seluruh kandidat Gubernur BI sejatinya disertai oleh terbitnya risalah yang dikonstruksi secara komprehensif dan di dalamnya mengandung aspek moral intelektual. Namun sejauh ini, risalah penolakan semacam itu tak pernah ada, akibat tidak jelasnya pemahaman anggota dewan yang terhormat terhadap politik post-positivistik.[]

Tidak ada komentar: