Kamis, 27 Maret 2008

Otoritas Kepemimpinan Politik

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Dalam rapat dengar pendapat umum ahli-ahli politik dengan Pansus RUU Pilpres di DPR-RI (26 Maret 2008), muncul wacana akademis, bahwa pasangan calon presiden pada 2009 sejatinya dilengkapi oleh daftar nama-nama tokoh atau figur yang nantinya duduk sebagai anggota kabinet. Inilah kabinet bayangan (shadow cabinet) yang melengkapi kehadiran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di tengah kancah kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2009, keberadaan kabinet bayangan itu diinformasikan secara gamblang. Tesis pokok yang melandasi wacana ini ialah keniscayaan, bahwa sudah saatnya bagi Indonesia berpijak pada konsep kenegaraan spesifik, tanpa perlu menjadi epigon terhadap tradisi dan atau praktik demokrasi di negara-negara lain. Atas dasar ini pula, kabinet bayangan masuk ke dalam struktur tim kampanye pasangan calon presiden 2009 (lihat “Capres Diminta Susun Kabinet”, Seputar Indonesia, 27 Maret 2008, hlm. 3). Dari sini, ada keterbukaan informasi yang memosisikan publik konstituen tak membeli kucing dalam karung. Kampanye Pilpres 2009 betul-betul memiliki ciri super spesifik: Diwarnai oleh munculnya selebaran kabinet bayangan.

Namun pertanyaannya kemudian, seberapa relevan sesungguhnya kabinet bayangan usulan para pakar politik itu manakala dikait-hubungkan dengan keperluan yang sangat mendasar tegaknya otoritas kepemimpinan politik pasca-Pilpres 2009? Terus terang, pertanyaan ini memiliki titik singgung secara sangat kuat dengan keberadaan rezim pemilu bebas hasil Pilpres 2004. Pasangan calon presiden yang memenangkan pertarungan Pilpres 2004, ternyata bukanlah figur dengan otoritas kepemimpinan politik yang mumpuni. Di berbagai forum kajian, sosok kepemimpinan nasional pasca-Pilpres 2004 justru terlampau sering disindir secara nyinyir sebagai kepandiran di atas singgasana kekuasaan. Semacam kepandiran kepemimpinan dalam cerita klasik Don Quixote karya penulis Spanyol Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616). Mengapa begitu?

Pertama, kehadiran rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 justru menggiring pemerintahan tersudut ke dalam kebuntuan peran untuk sekadar memberikan harapan kepada rakyat (lihat “Semangat Gagal Dibangun”, Kompas, 27 Maret 2008, hlm. 15). Sangat bisa dimengerti jika kemudian rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 gagal membendung gelombang kenaikan harga bahan pokok serta hanya mampu mendesakkan kebijakan konversi energi yang kosong dari upaya social marketing secara cerdas—karena itu menyengsarakan masyarakat. Sudah dalam keadaan demikian, rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 tak habis-habisnya menjadikan statistik sebaga apologia saat harus berbicara tentang fakta kemiskinan. Dengan gegap gempita, rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 menolak kenyataan betapa sesungguhnya telah terjadi peningkatan jumlah kaum miskin di negeri ini.

Kedua, rezim pemilu bebas yang tengah berkuasa kini menjadi cermin buram dalam menakar kebermaknaan saling hubungan antara kepemimpinan nasional dan pemahaman terhadap masalah-masalah fundamental kenegaraan. Pada satu sisi, muncul ketidakjelasan Weltanschauung rezim pemilu bebas menghadapi rangsakan korporasi nasional dan asing yang meluluhlantakkan kedaulatan bangsa dalam bidang ekonomi. Ini merupakan konsekuensi logis dari ketidakjelasan pemahaman terhadap masalah-masalah fundamental kenegaraan. Pada lain sisi, ketidakjelasan pemahaman akan masalah-masalah fundamental kenegaraan justru memosisikan kepemimpinan nasional berada di tengah sorotan kritis ketidakmampuan mewujudkan kemandirian bangsa. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa pembicaraan tentang pertarungan politik 2009 diseret masuk ke dalam problema kejelasan konsepsi para capres terhadap berbagai aspek dan dimensi kenegaraan (lihat “Capres Perlu Kuasai Masalah Kenegaraan” Kompas, 27 Maret 2008, hlm. 3).

Ketiga, dinamika kekuasaan yang bergulir di bawah orkestrasi rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 justru mencetuskan gelombang titik balik dalam konteks kesadaran berbangsa dan bernegara. Keterpurukan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi merupakan realisme yang muncul sebagai akibat lemahnya kepemimpinan nasional. Padahal, kepemimpinan nasional dimaksud lahir sebagai resultante pemilihan presiden secara langsung yang untuk pertama kalinya mewarnai sejarah perpolitikan bangsa ini. Tanpa bisa dielakkan, inilah situasi krusial yang justru mempertegas tuntutan akan pentingnya peningkatan mutu kontrak sosial (social contract) antara negara dan masyarakat (lihat “Calon Pemimpin dan Rakyat Perlu Buat Perjanjian Politik” Republika, 27 Maret 2008, hlm. 3).

Dengan menilik tiga persoalan itu, maka tak terhindarkan munculnya kesimpulan betapa sesungguhnya tidaklah sederhana persoalan capres dan cawapres 2009. Munculnya imperatif “kabinet bayangan”, seperti dikumandangkan para pakar politik itu, tak serta-merta memampukan bangsa ini menemukan pemimpin nasional tanpa berlepotan masalah seperti dibentangkan di atas. Maka, pertanyaan kritikalnya kemudian: Apakah kabinet bayangan usulan para pakar politik itu merupakan cure bagi cause persoalan yang teramat rumit, persis sebagaimana dijelaskan di atas? Benarkah kabinet bayangan itu merupakan preskripsi yang secara faktual memang dibutuhkan bangsa ini? Ataukah itu hanyalah kegenitan gaya baru dalam arena pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2009?

Dari dulu hingga kini, bangsa ini terjerembab ke dalam problema subyektif kepemimpinan nasional dan terpasung ke dalam masalah obyektif kepemimpinan nasional. Problema subyektif dalam kepemimpinan nasional bersangkut paut dengan hilangnya spirit pengorbanan, terlampau kuatnya pengaruh pandangan dunia feodalistik, dan peran kepemimpinan nasional semata dimaknai secara terbatas sebagai karir dalam dunia politik. Inilah problema persepsi diri kepemimpinan nasional. Secara demikian, kepemimpinan nasional tak pernah sepi dari rekayasa terciptanya privelise untuk kepemimpinan nasional itu sendiri. Nepotisme, kolusi dan korupsi, dengan sendirinya menemukan persemaian subur dari adanya pola yang berjalan dalam kepemimpinan nasional.

Masalah obyektif kepemimpinan nasional berjalin kelindan dengan relasi kuasa antara kepemimpinan nasional dengan kaum elite yang berdiri di luar garis demarkasi kekuasaan. Jika kepemimpinan nasional berada di tengah pusaran kekuasaan politik sebagai kekuatan pengendali pemerintahan, kaum elite berdiri sebagai kekuatan kritis untuk mengoreksi cacat dan cela pemerintahan. Puspa ragam masalah yang muncul di sini ialah oposisi dengan kebencian, pertarungan bercorak primordialistik dan upaya delegitimasi kekuasaan tanpa kejelasan konsepsi. Sebagai akibatnya, suara oposisi yang mencuat mewarnai relasi kuasa politik ini tak ada kaitan makna dengan kesejahteraan umum. Kritik para elite politik terhadap rezim yang tengah berkuasa tak sepenuhnya berlandaskan pada keikhlasan otentik serta juga bias dari kebenaran obyektif. Motif di balik kritik kaum elite itu tak lain dan tak bukan hanyalah pencitraan demi merebut simpati publik. Kritik, dengan demikian, didistorsi oleh terlampau kuatnya pamrih, hasrat dan libido kekuasaan.

Perlunya menimang kembali otoritas politik dimaksudkan untuk memecahkan jalan buntu lemahnya kepemimpinan nasional. Apa yang baru saja dijelaskan adalah sebab pokok sakitnya bangsa ini bersumber dari disorientasi pada totalitas pergumulan dalam kepemimpinan nasional. Sejatinya, kepemimpinan nasional pasca-Pilpres 2009 memiliki ciri dalam hal: (1) Ketegasan mendiferensiasi ruang publik dan ruang privat, serta (2) Kemampuan menciptakan persenyawaan antara dimensi sakral dan profan demi mengelak dari patologi pragmatisme politik. Maka, kabinet bayangan seperti diusulkan para pakar politik itu necessary but not sufficient, penting tapi sama sekali tak memadai. Kepemimpinan nasional membutuhkan lebih dari sekadar itu. Tak Cuma itu.[]

Tidak ada komentar: