Senin, 24 Maret 2008

Tokoh Ormas dalam Pilkada

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Tatkala pada Januari 2008 Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Muzadi berbicara tentang bahaya jangka panjang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, maka kita sesungguhnya diingatkan pada persoalan peliknya keterseretan tokoh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ke dalam hingar-bingar Pilkada. Sulit memungkiri kenyataan, bahwa praktik politik yang inherent ke dalam pelaksanaan Pilkada tiba-tiba mengubah posisi Ormas menjadi pemangku kepentingan politik yang tiada taranya. Eksistensi Ormas lalu begitu determinatif bagi pelaksanaan Pilkada langsung di daerah. Ormas keagamaan seperti halnya NU dan Muhammadiyah, bukan saja dipersepsi sebagai institusi dengan jaringan sosial yang bisa dimanfaatkan demi memenangkan Pilkada. Lebih dari itu, para tokoh yang sudah sejak lama mengukir nama besarnya di kedua Ormas itu dengan begitu mudahnya digadang-gadang menjadi kandidat walikota, bupati dan atau gubernur. Tak pelak lagi, kader-kader Ormas lalu meramaikan kancah pertarungan dalam Pilkada. Mengingat tak ada jaminan bahwa kandidat yang bertarung sungguh-sungguh mengedepankan rasionalitas substansial, ruang publik dalam konteks Pilkada serta-merta diwarnai pertarungan bercorak primordialistik.

Realisme politik inilah yang mencetuskan gundah gulana pada diri seorang Hasyim Muzadi. NU, menurut Hasyim Muzadi, mencemaskan ekses Pilkada secara langsung. Secara kasat mata, masing-masing kandidat mendatangi para kiai dan santri untuk memperoleh dukungan. Santri dan kiai kemudian dikristalisasikan. Masalahnya, setelah Pilkada usai, kristalisasi tak kembali mencair. Kata Muzadi, “Bupati sudah dipilih, tapi kiai dan santrinya masih ribut” (Republika, 26 Januari 2008, hlm. 12). Tak bisa tidak, Pilkada langsung menimbulkan polarisasi di masyarakat, sumber konflik horizontal dan membuang-buang uang. Atas dasar ini, NU menyarankan agar Pilkada dihapuskan (Kompas, 26 Januari 2008, hlm. 3).

Penting untuk terlebih dahulu dicatat, bahwa dalam tilikan filosofis mustahil menghapuskan Pilkada. Penghapusan Pilkada sama dan sebangun maknanya dengan menarik mundur proses penciptaan konstruksi politik berlandaskan demokrasi. Pilkada dengan segala kelemahannya justru harus dimengerti sebagai sebuah sekuen dalam bentangan panjang evolusi demokrasi di Tanah Air. Aneka kelemahan yang inherent di dalamnya mutlak untuk dimengerti sebagai tantangan besar yang sejatinya dipecahkan oleh bangsa ini. Perjalanan waktu selama kurang lebih satu dekade sejak berakhirnya kekuasan otoriter Orde Baru Soeharto jangan sampai kemudian ditimpali oleh penghapusan segenap trase dan pencapaian demokrasi dalam format Pilkada. Ini berarti, buruk rupa janganlah cermin dibelah. Sungguh pun demikian, “penghapusan Pilkada” dalam artikulasi Hasyim Muzadi mendesak untuk dielaborasi lebih jauh hakikat masalahnya. Pertanyaan hipotetik yang niscaya dikedepankan ialah, di mana letak kelemahan dan kekurangan Pilkada? Dapatkah segenap kelemahan dan kekurangan itu diberikan sebuah jalan keluar? Inilah serangkaian pertanyaan yang memiliki kaitan makna dengan potret persoalan berikut ini.

Pertama, Pilkada memperluas, memperdalam serta menumbuh suburkan praktik politik uang (money politics) dalam berbagai bentuknya. Terhadap publik konstituen, politik uang menemukan manifestasinya pada pembelian suara menjelang dan atau pada saat pelaksanaan Pilkada. Terhadap partai politik, money politics menemukan manifestasinya ke dalam apa yang disebut “gizi” atau “mahar politik”. Tampilnya seorang kandidat melalui kelembagaan partai, telah mencuatkan transaksi jual-beli dukungan pada level institusi (baca: partai politik). Seorang kandidat harus menyerahkan uang dalam jumlah besar agar partai politik bersedia mengusungnya sebagai kandidat. Maka, Pilkada bergeser menjadi praksis demokrasi yang membuka ruang secara sangat lebar terhadap para pemilik kapital untuk merebut kepemimpinan politik. Terbentuknya sebuah formasi kepemimpinan politik pada tingkat lokal melalui mekanisme demokrasi tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah proses semu. Political pattern ini tak sepenuhnya mampu berfungsi sebagai rekrutmen kepempinan politik dalam maknanya yang genuine.

Kedua, Pilkada mengkristalisasi kecenderungan politisasi agama. Di kantong-kantong NU, sebagaimana disinggung Hasyim Muzadi, politisasi agama berlangsung secara sangat serius. Bahkan, dari politisasi agama itu kemudian bergulir polarisasi masyarakat. Para tokoh agama saling berhadapan secara vis-à-vis satu sama lain, sejalan dengan perbedaan kandidat yang mereka gadang. Tokoh agama pada pelataran ini kehilangan misi profetiknya. Lantaran sedemikian jauh terseret ke dalam kancah pertarungan memperebutkan kuasa politik, tokoh-tokoh agama lalu terbentur persoalan reduksi makna, yaitu hanya berpijak pada kesadaran pikir kalah-menang di atas panggung pertaruhan politik. Dalam konteks ini, agama tanpa kesalehan sosial kian menemukan aksentuasinya.

Ketiga, proses Pilkada yang berjalan hingga dewasa ini membawa serta transmutasi politik secara sangat pelik. Kepemimpinan politik, pada dasarnya, merupakan domain pengabdian bagi seseorang untuk mencapai derajat negarawan. Tragisnya, Pilkada telah menggeser orientasi, sehingga kepemimpinan politik diturunkan derajatnya sekadar sebagai karir. Implikasi serius yang ditimbulkan oleh kenyataan ini berhubungan erat dengan buruknya penghayatan terhadap politik sebagai nilai (values). Apa boleh buat, politik lalu terpenjara ke dalam struktur makna yang begitu miopik. Itulah mengapa, kepemimpinan politik dimengerti sebagai sesuatu yang sama dan sebangun dengan peluang atau kesempatan mengakumulasi kekayaan dalam jumlah besar. Kepemimpinan politik lantas kehilangan dimensi pengorbanan. Padahal, seperti diperlihatkan oleh para founding fathers negeri ini, pengorbanan merupakan elan vital atau sukma yang memberikan daya hidup pada kepemimpinan politik. Pilkada, dengan sendirinya, telah mencetuskan apa yang disebut the poverty of sacrifice pada ranah kepemiminan politik.

Keempat, Pilkada mengutuhkan dirinya sebagai panggung yang mengakomodasi kehadiran para petarung politik. Kita kini dapat mencatat, bahwa politik yang telah kehilangan dimensi transendentalnya mengambil titik tolak dari punahnya pandangan-pandangan obyektif di kalangan pemimpin politik. Dalam maknanya yang transendental, politik adalah values yang mampu melihat problema kenegaraan dan kemasyarakatan dari berbagai dimensinya. Di antara tumpukan dan hamparan berbagai macam problema itu, sang pemimpin politik mampu meneropongnya dari ketinggian. Sehingga, segenap dimensi yang berjalin kelindan dengan tumpukan dan hamparan berbagai masalah dapat ditangkap hakikatnya. Pada titik inilah terjadi obyektivikasi permasalahan. Celakanya, kemampuan melakukan obyektivikasi masalah itu muskil diharapkan datang dari para petarung politik. Kemampuan obyektivikasi masalah hanya mungkin dilakukan oleh para pemimpin politik dalam kategori [meminjam istilah filsuf Plato]philosopher-king atau pemimpin politik nan bijaksana. Para petarung politik adalah seseorang dengan pandangan dunia parsial-partikular. Ia takkan pernah bisa untuk sepenuhnya mampu berdiri tegak sebagai philosopher-king.

Dengan seluruh tilikan ini menjadi jelas duduk perkara pencopotan Ali Maschan Moesa sebagai Ketua Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur. Tokoh ini dianggap telah melanggar kontrak jam’iyah lantaran tampil sebagai kandidat wakil gubernur demi menghadapi pergumulan politik dalam kancah Pilkada langsung di Jawa Timur, mendampingi Soenarjo yang dijagokan Partai Golkar. Tak tanggung-tanggung, pencopotan itu dilakukan oleh Rais Syuriah PWNU Jawa Timur (Seputar Indonesia, 23 Maret 2008, hlm. 8). Seandinya empat persoalan yang dibentangkan di atas tak pernah ada, maka kerja-kerja partai politik dalam Pilkada benar-benar untuk menghadirkan negarawan, dan tak perlu ada pencopotan seperti menimpa Ali Maschan Moesa. Tapi, ini seandainya ….., seandainya dan seandainya.[]

Tidak ada komentar: