Rabu, 19 Maret 2008

Kultur Korupsi Pejabat Negara

Anwari WMK
anwari_wmk@analisis-berita.com

Jaksa Agung Hendarman Supandji menyulut “ledakan besar” (big bang) tatkala mencopot dua pejabat penting dari kedudukannya di Kejaksaan Agung RI. Pertama, Kemas Yahya Rahman yang dicopot dari jabatannya sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), dan kedua, M. Salim yang dipecat dari posisinya sebagai Direktur Penyidikan di Kejaksaan Agung. Tak tanggung-tanggung, pemecatan dua pejabat teras itu disambut gegap gempita kalangan media massa. Pada edisi 18 Maret 2008, di halaman depan Republika termaktub berita utama bertajuk “Kemas dan Salim Dicopot”. Halaman depan Kompas tampil dengan berita utama “Kemas Yahya dan Salim Dicopot”, Seputar Indonesia dengan judul “Jaksa Agung Copot Jampidsus”, Koran Tempo dengan berita “Kemas Yahya Dicopot”, serta Jurnal Nasional dengan berita “Kemas dan Salim Dicopot”. Sementara dengan judul yang agak jenaka, Indo Pos tampil dengan berita utama “Bos Jaksa BLBI Dicopot”. Namun, sunguhpun terkesan sebagai big bang, sebuah pertanyaan bergulir: mungkinkah pencopotan ini benar-benar memiliki resonansi hingga ke masa depan demi terciptanya sistem peradilan yang bersih di Indonesia? Ataukah, lagi-lagi, keputusan ini hanyalah sebuah torehan sesaat yang bakal berlalu bersama angin?

Cerita ini tak lepas dari rententan peristiwa yang muncul sejak penghujung Februari 2008. Pada 29 Februari 2008, Kemas Yahya Rahman memberikan penjelasan ke hadapan publik. Bahwa, Kejaksaan Agung menghentikan pengusutan Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan konglomerat Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim. Penghentian pengusutan BLBI ini menyita perhatian publik lantaran tak disertai kejelasan argumentasi. Dalam pernyataannya, Kemas Yahya Rahman bahkan cenderung untuk hanya mengeksplisitkan dirinya sebagai pembela Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim. Kata Kemas Yahya Rahman pada 29 Februari 2008, “Tidak ada rekayasa. Kewajiban obligor sudah dilaksanakan sesuai ketentuan.” Dari sinilah, argumentasi serba sumir berkenaan dengan pembebasan dua obligor itu pada akhirnya memancing timbulnya pandangan kritis media massa. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun terdorong untuk memasang kuda-kuda demi menggebrak dengan hak angket.

Di tengah besarnya sorotan publik yang sedemikian rupa, muncul peristiwa yang tak kalah menggelegarnya. Pada 2 Maret 2008, jaksa BLBI Urip Tri Gunawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia disangka menerima suap sebesar US$ 660 ribu dari orang dekat Sjamsul Nursalim. Seperti kemudian terungkap berdasarkan informasi KPK, orang dekat Sjamsul Nursalim dimaksud adalah Artalyta Suryani, seorang pelobi kelas atas. Publik, sekali lagi, dibuat tersentak oleh kenyataan ini. Semakin tersebar desas-desus, bahwa penghentian pengusutan skandal BLBI tak berpijak pada kebenaran obyektif. Kemas Yahya Rahman lantas menjadi fokus sorotan publik dan media massa, mengingat Urip Tri Gunawan merupakan satu dari 35 jaksa “terbaik” yang berada di bawah komando Kemas Yahya Rahman. Pertanyaan dengan narasi “mungkinkah Kemas Yahya Rahman terlibat kasus penyuapan oleh Artalyta Suryani” lalu menjadi tak terelakkan kemunculannya. Sebagai akibatnya, pada 10 Maret 2008 Kemas Yahya Rahman diperiksa selama 10 jam. Dalam konteks ini, Kemas membantah pernah datang ke pulau milik Artalyta. Pada 12 Maret 2008, Kemas Yahya Rahman diperiksa KPK. Dan pada 17 Maret 2008, ia dicopot dari jabatannya.

Hal mendasar apa sesungguhnya yang penting digarisbawahi dari semua cerita ini? Mungkinkah sebuah momentum baru telah hadir mewarnai eksistensi Kejaksaan Agung untuk kemudian benar-benar berfungsi sebagai benteng keadilan di negeri ini?

Tajuk Republika edisi 18 Maret 2008 tampil dengan judul “Momentum Kejaksaan”. Tajuk ini menghablurkan harapan, bahwa sudah saatnya bagi Kejaksaan Agung kini bersih dari mafia peradilan. Sejatinya, pencopotan Kemas Yahya Rahman, dan juga M. Salim, diberlakukan sebagai prolog untuk menyikat habis jaksa-jaksa nakal yang bersarang bak penyamun di gedung bundar Kejaksaan Agung. Itulah mengapa, kalimat pembuka tajuk Republika menyerupai analisis semiotika terhadap tetesan air mata Jaksa Agung Hendarman Supandji. Proposisi awal tajuk itu bahkan sebuah kalimat dengan narasi: “Siapa bisa membaca air mata?” Narasi kalimat ini memiliki kaitan makna dengan kenyataan bahwa jaksa andalan yang menangani skandal BLBI tertangkap tangan menerima suap. Jaksa Agung menangis di hadapan wartawan, sambil mengucapkan kata-kata: “Saya sedih, marah, kecewa”.

Pencopotan Kemas Yahya Rahman, menurut tajuk Republika, adalah bukti bahwa Jaksa Agung tak sekadar meluapkan perasaan saat meneteskan air mata. Dari sejak terjadinya tetesan air mata hingga berujung pada pencopotan Kemas Yahya Rahman, sebuah momentum perubahan telah bergulir dan sekaligus mencetuskan harapan-harapan besar. Republika, dalam tajuknya itu, lalu menulis seperti berikut: “Inilah saatnya ia mendapat dukungan amat luas untuk membentuk kejaksaan yang benar-benar baru, yang terbebas dari jaring-jaring korup di masa lalu.” Bahkan, tajuk Republika dengan begitu yakinnya berbicara tentang implikasi positif ke depan dari adanya pencopotan Kemas Yahya Rahman. Tulis Republika lagi, “Kejaksaan yang bersih adalah kunci penting gerbang pemberantasan kejahatan, termasuk korupsi di masa depan”.

Namun demikian, apa yang dibentangkan tajuk Republika adalah harapan yang terlampau berlebihan. Benar Jaksa Agung telah mencopot bawahannya demi menjawab kegalauan terhadap pengusutan skandal BLBI yang lantas diwarnai suap terhadap jaksa pengusutnya. Masalahnya, pencopotan ini hanyalah bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat esensial, tidak eksistensial. Pencopotan ini hanya memiliki kaitan makna dengan upaya saksama menjaga citra dan krebilitas Kejaksaan Agung (lihat berita bertajuk “Jaga Kredibilitas, JAM-Pidsus Diganti”, Media Indonesia, 18 Maret 2008, hlm. 1). Sehingga dengan demikian, pencopotan ini tak menjanjikan bergulirnya tranformasi kultural dalam tata kelola kekuasaan yudikatif untuk kemudian benar-benar bersih dari bias dan penyimpangan.

Dengan hanya dimaksudkan menjaga kredibilitas Kejaksaan Agung, pencopotan Kemas Yahya Rahman dan M. Salim berada dalam spektrum persoalan ketidakcocokan secara personal dua pejabat Kejaksaan Agung dengan pencitraan yang dibutuhkan di ruang publik. Sejalan dengan imperatif yang muncul selama musim semi demokrasi kini, Jaksa Agung tak mungkin lagi mengadopsi pola yang berjalan seperti di masa lalu, yakni melindungi anak buah yang berbuat salah (lihat tajuk “Apresiasi untuk Hendarman”, Seputar Indonesia, 18 Maret 2008, hlm. 6). Dibandingkan dengan besarnya kebutuhan untuk menjaga citra di ruang publik, pembelaan terhadap bawahan yang berbuat salah kini menjadi sesuatu yang sama sekali tak relevan, bahkan terkesan sangat ganjil. Ini berarti, ketegasan Hendarman Supandji mencopot bawahannya memang patut diacungi jempol. Tetapi, kenyataan ini tak mungkin secara serta-merta direspons dengan kesimpulan bahwa telah hadir mementum baru.

Apa yang penting dikatakan lebih lanjut adalah seperti berikut. Korupsi yang disemaikan secara sangat subur oleh para pejabat negara, sesungguhnya kini telah sampai pada fase yang sangat sistemik. Perilaku korup dengan berbagai ramifikasinya, seperti suap, sogok, pemerasan dan sebagainya, telah sedemikian rupa menelusup masuk menjadi sukma dalam pengelolaan negara pada berbagai lini. Korupsi benar-benar bermetamorfosis menjadi kebudayaan. Sehingga, transformasi kultural menuju eradikasi korupsi mutlak disertai oleh perubahan pandangan dunia (Weltanschauung). Para pejabat negara harus mulai mencerap nilai-nilai baru, bahwa mengurus negara tak boleh sedikit pun mengambil keuntungan dari negara. Jika pandangan dunia semacam ini gagal diwujudkan, maka selamanya pejabat negara hidup dalam kultur korupsi. Dan pencopotan seperti terjadi di Kejaksaan Agung, tak lebih dan tak kurang hanyalah pencitraan.[]

Tidak ada komentar: