Kamis, 27 Maret 2008

Banjir di Negeri Lumpuh

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Seandainya negara berada dalam posisi sangat kuat, mungkinkah bencana banjir di Indonesia tak tertanggulangi seperti sekarang ini? Apakah banjir yang terus merendam berbagai kawasan di seantero Nusantara sejak penghujung 2007 merupakan sinyal yang teramat kuat betapa sesungguhnya negara kini berada dalam posisi yang benar-benar lumpuh? Apa yang sejatinya dilakukan demi mengakhiri patologi kelumpuhan negara dalam hal pengatasan banjir? Bagaimana memahami moralitas pejabat negara jika ternyata banjir kian tak tertangani? Mungkinkah hati sanubari pejabat negara tergetar tatkala bencana banjir mencuat sebagai berita besar?

Banjir dan air surut yang terjadi sejak Desember 2007 telah menganggu perekonomian masyarakat Bojonegoro, Tuban dan Lamongan di Jawa Timur. Bukan saja ribuan hektar padi (berusia 40 hari) dan tambak terendam air, lebih dari itu masyarakat kehilangan pekerjaan (Kompas, 23 Maret 2008, hlm. 1, 15). Bencana banjir telah sedemikian rupa merangsak sebagai destroyer, yang meluluhlantakkan perekonomian masyarakat. Sudah dalam keadaan demikian, tak ada penyelesaian yang bersifat terobosan dan sengaja ditawarkan pemerintah lokal sebagai solusi. Apa yang dapat diidentifikasi sebagai dampak banjir di Jawa Timur adalah hancurnya garda produksi padi justru di tengah situasi kian meningkatnya ancaman krisis beras akibat tingginya harga pangan di pasar global. Tak kalah tragisnya dibandingkan Jawa Timur, banjir yang kian meluas di Provinsi Riau sejak medio Maret 2008 menjadikan beberapa titik di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan sebagian kota Pekanbaru terendam. Di Kabupaten Indragiri Hulu, banjir melanda 38 desa yang tersebar di 8 kecamatan dan mengakibatkan terendamnya sekitar 3.300 rumah. Di Kabupaten Kuantan Singingi, banjir melanda 53 desa yang tersebar di 9 kecamatan serta merendam 5.500 rumah. Di Kabupaten Rokan Hulu 2.722 rumah terendam banjir dan di Kabupaten Kampar 523 rumah terendam banjir. Di Kabupaten Indragiri Hulu, banjir juga merusak jaringan transportasi. Jalan di Desa Danau Baru, Kecamatan Rengat Barat dan jalan di Desa Kuantan Tenang, Kecamatan Rakit Kulim, terputus akibat banjir.

Barangkali klise jika dikatakan, bahwa setiap terjadi bencana banjir selalu ada keniscayaan untuk melakukan pengendalian, bahkan pengendalian yang mencakup agenda jangka panjang menghadapi pancaroba. Hanya saja, di negeri yang pemerintahannya lumpuh seperti Indonesia, pengendalian banjir menjadi perkara super pelik. Seruan untuk melakukan pengendalian bencana banjir harus selalu dimulai dari sesuatu yang elementer. Negara dan pemerintah mengulang upaya permulaan demi menemukan teknikalitas pengendalian banjir. Ibarat menulis buku, pengendalian banjir dari waktu ke waktu tak pernah beranjak dari “bab pendahuluan” dan hampir mustahil sampai ke “bab penutup”.

Dalam maknanya yang sederhana, pengendalian terhadap bencana banjir berarti penggunaan segenap metode untuk mereduksi atau mengurangi dampak detrimental banjir. Secara kategoris, apa yang ditengarai sebagai penanggulangan bencana banjir berada dalam spektrum pemahaman akan sebab dan akibat banjir serta regulasi negara yang dibutuhkan demi mempertegas upaya pengendalian banjir. Dengan demikian, pengendalian terhadap kemungkinan timbulnya bencana banjir merupakan teknikalitas pemecahan masalah yang bersifat kalkulatif.

Air dalam kategori run off—berlari di atas permukaan tanah—selama musim penghujan merupakan sebab fundamental terjadinya bencana banjir. Dengan kuantita yang sangat besar, run off tak sepenuhnya dapat dicerap ke dalam tanah. Ketika run off ini kemudian tak tertampung oleh sungai-sungai, maka banjir yang tak terelakkan muncul sejalan dengan ketiadaan atau tak berfungsinya dam. Secara demikian, sebab-sebab fundamental banjir bukanlah sesuatu yang abstrak. Itulah mengapa, pengendalian pada sisi penyebab banjir bergantung pada kemampuan pemerintah dalam hal: (1) Revitalisasi peran sungai agar tak terus-menerus terdegradasikan, (2) Penguatan fungsi dam atau bendungan sebagai garda depan distribusi air, dan (3) Reforestrasi hutan-hutan gundul. Pola pengendalian inilah yang kemudian masuk ke dalam cakupan adaptasi bencana alam.

Pada pelataran lain, dampak serius bencana banjir terpatri ke dalam punahnya binatang dan tumbuhan serta erosi lahan. Inilah kehancuran habitat mahluk hidup yang muncul secara tiba-tiba sebagai nestapa yang tak terperikan dari timbulnya bencana banjir. Musnahnya nilai komersial tanah serta keterputusan jaringan transportasi, listrik dan telekomunikasi merupakan problema sosial dan ekonomi yang muncul secara serta-merta akibat terjangan banjir. Apa yang kemudian diistilahkan sebagai mitigasi bencana alam sesungguhnya mengambil titik tolak dari hancurnya habitat mahluk hidup serta munculnya persoalan baru dalam bidang sosial dan ekonomi setelah datangnya banjir. Lagi-lagi, dampak banjir yang sedemikian rupa itu pun merupakan sesuatu yang kalkulatif sifatnya, bukan gugusan persoalan yang serba abstrak. Seperti halnya penanganan penyebab banjir, penanganan dampak banjir mempersyaratkan adanya teknikalitas. Di sinilah lalu dibutuhkan penguatan negara untuk dapat melihat secara obyektif kausalitas atau sebab-akibat banjir.

Sejak munculnya peradaban di zaman purba, gagasan tentang pengendalian banjir sesungguhnya telah muncul ke permukaan mewarnai kesadaran umat manusia. Upaya seksama pengatasan banjir di masa kini dapat mengambil titik tolak dari khazanah masa lalu. Apalagi, pengendalian banjir dalam khazanah masa lalu terpatri abadi sebagai kearifan tradisional. Hal fundamental yang menarik diperhatikan dari masa lalu adalah pengendalian banjir yang berjalan paralel dengan upaya penguatan negara. Dalam konteks ini, berlaku aksioma bahwa hanya negara dengan segenap instrumentasinya yang mampu menentukan titik temu antara sebab dan akibat banjir. Tanpa adanya upaya penguatan kembali negara, maka banjir kian tak tertanggulangi oleh ketiadaan pertanggungjawaban politik.

Dalam beberapa tahun terakhir, banjir yang datang secara repetitif di Indonesia jutsru kian mendesak untuk direspons dengan politik legislasi. Revitalisasi sungai dan penghutanan kembali lahan-lahan luas yang gundul hanya mungkin dilakukan jika penguatan negara ke arah pengatasan banjir ditopang oleh kejelasan politik legislasi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dituntut memiliki kesamaan visi demi mengelak dari kemungkinan terjadinya banjir yang terus berulang. Apa yang kemudian penting ditetapkan sebagai agenda dalam politik legislasi adalah merumuskan tiga hal. Pertama, pengendalian banjir yang terintegrasi ke dalam rencana menyeluruh pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Kedua, penentuan model mitigasi secara tepat saat harus berhadapan dengan bencana banjir. Ketiga, penetapan berbagai imperatif yang harus dipikul pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks penanganan sebab dan akibat banjir.

Jika penguatan kembali peran negara berhasil digulirkan, maka partisipasi masyarakat dan korporasi ke arah penanggulangan sebab-akibat banjir lebih mudah dilakukan. Tidak seperti sekarang, negara bingung akan peran yang harus dijalankan. Bahkan, tragedi yang bergulir dari banjir ke banjir hanya mempertontonkan sosok Indonesia sebagi sebuah negeri lumpuh tanpa negara, stateless.[]

Tidak ada komentar: