Minggu, 25 Oktober 2009

Pencitraan di Depan Menteri

Oleh Anwari WMK

Bagaimana pun, personalitas politik Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah bisa dilepaskan dari pencitraan (image building). Bagi Yudhoyono, pencitraan telah sedemikian rupa mengkristal menjadi sebuah metode untuk memperlihatkan eksistensi dirinya di ruang publik. Seakan, ia tak punya cara lain untuk mempertontonkan siapa dirinya, selain melalui pencitraan. Sekali pun hanya di depan jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang ia pimpin, pencitraan itu terus berlangsung, tanpa titik jedah. Itu terbukti dari suasana yang terbangun selama berlangsungnya sidang paripurna KIB II yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada 23 Oktober 2009. Sekilas pintas, dalam sidang kabinet paripurna itu Yudhoyono berupaya memberikan aksentuasi agar para menteri yang baru diangkat memasang target lebih ambisius demi kemajuan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Hanya saja, segenap aksentuasi itu tak lain dan tak bukan adalah pencitraan.

Sebagai sebuah peristiwa politik, sidang kabinet paripurna itu menyerupai klimaks sebuah sinetron. Bagaimana tidak? Pada 17 hingga 19 Oktober 2009, Yudhoyono menyelenggarakan “audisi calon menteri” di kediamannya, di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Pada 20 Oktober 2009, Yudhoyono dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi presiden RI untuk periode 2009-2014. Esok harinya pada 21 Oktober 2009, Yudhoyono mengumumkan nama-nama menteri dan pejabat setingkat menteri yang tercakup ke dalam susunan KIB II. Pada 22 Oktober 2009, Yudhoyono melantik menteri dan pejabat setingkat menteri KIB II. Dan pada 23 Oktober 2009, seluruh figur yang dilantik sehari sebelumnya menjadi peserta sidang kabinet paripurna untuk pertama kalinya. Dari serangkaian peristiwa itu, sosok Yudhoyono mewarnai headline dan breaking news media massa nasional. Dari sejak tanggal 17 hingga 23 Oktober sosok Yudhoyono telah menjadi fokus pemberitaan media massa. Apa yang bisa dikatakan dari semua itu jika bukan pencitraan?

Narasi Pencitraan

Dengan mengambil tempat di Gedung Sekretariat Negara, sidang kabinet paripurna itu dilakukan secara terbuka untuk diliput media massa. Semuanya berjalan by designed. Di sini Yudhoyono melontarkan pesan kepada dua tingkatan audiens. Para menteri dan pejabat setingkat menteri yang hadir dalam sidang kabinet paripurna itu adalah audiens yang secara langsung bertatap muka dengan Yudhoyono. Sementara, publik di luar garis demarkasi Gedung Sekretariat Negara dan tersebar di seantero Nusantara adalah audiens berikutnya yang lebih bercorak imajiner. Sungguh pun memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas di hadapan para menteri, Yudhoyono sesungguhnya hendak berbicara tentang kehebatan dirinya kepada publik luas di seluruh Indonesia. Sangat mungkin sesungguhnya jika sidang kabinet paripurna itu dilakukan secara tertutup. Tapi, demi pencitraan, opsi ini tidak ia ambil.

Dari sini kemudian tercipta narasi pencitraan. Selama kurang lebih satu setengah jam, Yudhoyono mempertontonkan kepada publik bahwa ia tengah memperkenalkan kepada para menteri realitas dan spektrum pemerintahan yang ia pimpin. Simak baik-baik, bagaimana para menteri begitu antusias mencatat segenap hal ihwal yang diucapkan Yudhoyono dalam sidang kabinet paripurna itu. Sayangnya, narasi pencitraan Yudhoyono tak memiliki kandungan makna yang secara fundamental dapat dijadikan landasan pijak untuk mereformulasi hubungan masyarakat dan pemerintah. Sementara, hubungan masyarakat dan pemerintahan itu merupakan relasi antara mangsa dan pemangsa. Narasi pencitraan Yudhoyono tak membuka harapan menuju berakhirnya orientasi pemerintahan sebagai predator terhadap masyarakat.

Ketika Yudhoyono menyinggung tentang kode etik berperilaku kalangan menteri, sesuatu yang ditekankan ialah tak diperkenankannya meteri saling menyerang dan mendiskreditkan satu sama lain. Pembicaraan di kabinet pada umumnya, kata Yudhoyono, berklasifikasi rahasia dan terbatas. Pertentangan atau perbedaan pendapat dalam kabinet tidak boleh ditampilkan kepada publik. Yudhoyono juga berbicara tentang prosedur permitaan izin kepada presiden jika seorang menteri hendak melaksanakan berbagai kegiatan di luar negeri. Narasi pencitraan yang semacam ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang aneh bin ajaib. Secara substansial, Yudhoyono hanyalah berbicara tentang kaidah-kaidah yang mendasari hubungan dirinya sebagai presiden dengan para menteri. Apa urgensi pembicaraan semacam ini dengan masyarakat luas? Bukankah ini urusan internal KIB II dan semuanya bersangkut paut dengan prosedur dan mekanisme kerja kabinet? Mengapa pembicaraan tentang hal ini tak dilakukan tertutup saja, tanpa liputan pers? Bukankah semua itu urusan Anda sendiri Tuan Presiden dengan para menteri yang Anda pimpin?

Pada titik inilah kita menyaksikan secara terang-benderang, betapa ambisi untuk melakukan pencitraan merupakan satu hal dan narasi dalam proses pencitraan merupakan hal lain. Di sini kita menemukan sesuatu yang perlu diucapkan presiden di hadapan para menteri tetapi sama sekali tidak perlu diucapkan presiden di hadapan publik. Sejauh presiden tak mampu menghentikan gerak sentrifugal pemerintahan sebagai predator terhadap masyarakat, maka sejauh itu pula pembeberan tentang kode etik perilaku para menteri tidaklah bermakna apa-apa bagi masyarakat.

Janji Pemerintahan

Dalam sidang kabinet paripurna itu, rangkaian lain dari pencitraan tercermin pada munculnya pembicaraan tentang target pemerintahan. Dalam konteks ini, Yudhoyono berbicara tentang ancangan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% atau lebih pada akhir periode KIB II tahun 2014. Yudhoyono juga berbicara tentang program reduksi angka kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja demi mengurangi pengangguran. Semunya dibahasakan dengan kalimat “harus berjalan efektif”. Bersamaan dengan itu, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi diprioritaskan. Yudhoyono juga memberikan penekanan akan arti penting pembangunan inklusif dan berkeadilan antarsektor dan antardaerah. Pada titik persoalan itu, good governance, sekali lagi, dikedepankan sebagai prinsip yang dipandang relevan. Dengan demikian berarti, tak terelakkan kelanjutan reformasi birokrasi. Jika pada sektor pendidikan mendesak diberlakukan reformasi pendidikan tahap kedua, dalam bidang kesehatan sudah tiba saatnya melaksanakan reformasi tahap pertama.

Yudhoyono pun memandang penting berbicara tentang tagline atau semboyan pemerintahan yang dinarasikan ke dalam Bahasa Inggris. Yudhoyono lalu sibuk menjelaskan arti tiga tagline ke hadapan para menteri. Tagline pertama adalah ”Change and Continuity”. Sebagian program KIB I periode 2004-2009 perlu dilanjutkan sejauh masih relevan. Namun juga dibutuhkan perubahan dan perbaikan jika program KIB I tak mencapai sasaran. Tagline kedua adalah ”De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement”. Dalam konteks ini Yudhoyono berbicara tentang ”kemacetan” dalam berbagai bidang, seperti tata ruang dan perizinan. Jalan keluar mesti dicari sebagai bagian dari upaya menguraikan hambatan. Percepatan diarahkan untuk meringkas proses yang bertele-tele. Tagline ketiga adalah ”Unity, Together We Can”. Di sini Yudhoyono berbicara tentang sinergi antar-menteri dalam KIB II.

Sebagai tindakan komunikasi, semua itu merupakan pengucapan presiden di hadapan para menteri. Hanya saja, sasaran sesungguhnya dari tindakan komunikasi itu adalah khalayak luas. Masalahnya pada level substansi, dalam komunikasi itu hanya terkandung janji pemerintahan. Aneh bin ajaib, melalui sidang kabinet paripurna itu Yudhoyono kembali melakukan aksi kampanye. Agaknya, Yudhoyono tak yakin kalau dirinya menjabat presiden. Yudhoyono masih sibuk meletupkan pencitraan. Bahkan, pencitraan di hadapan menteri.[]

Jakarta, 25 Oktober 2009.

Rabu, 21 Oktober 2009

Absurditas Politik di Cikeas

Oleh Anwari WMK

Jika peristiwa politik di Cikeas pada 17-19 Oktober 2009 kembali disimak 50 tahun lagi dari sejak kini, hal fundamental apa yang dapat ditangkap? Katakanlah pada 2059 seorang kandidat doktor ilmu politik tengah menulis disertasi tentang pembentukan kabinet era demokrasi pasca-Orde Baru. Apa yang bakal dia tulis tatkala sampai pada pembahasan peristiwa politik di Cikeas pada tanggal 17 hingga 19 Oktober 2009? Mungkinkah bakal lahir kesimpulan, bahwa peristiwa Cikeas sungguh-sungguh merupakan suatu kecerdasan pada kancah perpolitikan nasional dalam konteks pembentukan formasi kabinet pemerintahan? Ataukah, peristiwa Cikeas malah disimpulkan sebagai absurditas khas perpolitikan Indonesia yang menghamba pada politik pencitraan, terutama setelah berlalunya kuasa otoriter Orde Baru?

Tentu, kini, pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pengandaian. Tetapi justru, dengan pertanyaan-pertanyaan sengak inilah kita mendeteksi dari sejak sekarang, seberapa signifikan sebenarnya peristiwa politik yang berlangsung di Cikeas.

Sebagaimana diketahui, selama tiga hari menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2009, Presiden (terpilih) Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden (terpilih) Boediono memanggil kandidat menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, untuk masa bakti 2009-2014. Tak tanggung-tanggung, silih berganti para calon menteri bertandang menuju kediaman Susilo Bambang Yudhoyono, di Puri Indah Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Wartawan media cetak dan elektronik pun tumpah ruah di Cikeas. Tanpa bisa dibendung, dramaturgi politik lantas tercipta dan menerobos masuk ruang publik (public sphere) melalui breaking news media-media elektronik. Tak kalah serunya, media cetak nasional pun memberitakannya sebagai headline. Tetapi sensibilitas yang bisa dirasakan dari sejak saat itu juga ialah tidak menariknya peristiwa politik Cikeas karena dua alasan.

Kabanggaan Menjadi Menteri

Pertama, peristiwa politik Cikeas hanyalah mempertontonkan kenyataan yang tak perlu, yaitu kebanggaan menggenggam jabatan menteri. Uraian berikut merupakan penjelasan betapa political event di Cikeas itu memang merupakan sesuatu yang absurd.

Pada satu pihak, media massa berbicara tentang peristiwa Cikeas sebagai ajang bagi presiden terpilih dan wakil presiden terpilih menguji 34 calon menteri. Para calon menteri juga diminta menandatangani “Kontrak Kinerja” dan “Pakta Integritas”. Kotrak Kinerja mencakup: (1) Kesanggupan bekerja dan dievaluasi terus-menerus untuk diteruskan atau diberhentikan sebagai menteri, (2) Menyelesaikan target kerja 100 hari, (3) Menyelesaikan target kerja satu tahun, (4) Menyelesaikan target kerja lima tahun. Ada pun Pakta Integritas, mencakup: (1) Kesanggupan kerja dengan standar perilaku , (2) Melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, (3) Melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik, (4) Siap diberhentikan jika tidak menjalankan standar perilaku.

Pada lain pihak, informasi yang kemudian dilansir media massa cetak edisi 18 Oktober 2009 menggambarkan situasi para calon menteri yang tengah diuji dengan narasi kalimat pemberitaan yang spesifik. Bahwa, ketika dilakukan pemanggilan terhadap masing-masing kandidat menteri, Presiden Yudhoyono mengawalinya dengan wawancara serta menguraikan tugas dan tanggung jawab para calon menteri sesuai dengan bidangnya. Setelah itu, sang presiden menanyakan kesanggupan para calon menteri untuk menjalankan tugas-tugasnya. Selanjutnya, para calon menteri diminta menandatangani Kontrak Kinerja dan memaraf Pakta Integritas di atas kertas bermeterai. Para kandidat menteri kemudian memberikan penjelasan kepada pers di halaman pendapa rumah Presiden Yudhoyono. Apa yang dapat dimengerti dari narasi pemberitaan ini?

Datang dan perginya calon menteri di Cikeas itu disudahi dengan senyum mengembang para kandidat menteri. Pembacaan secara semiotik terhadap semua ini membawa kita pada konklusi: masih menggumpal kebanggaan menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Padahal, perkembangan politik sejak era pasca-Orde Baru telah sedemikian rupa mengikis sendi-sendi kekuasaan otoriter. Dari kenyataan ini lantas bergulir proses desakralisasi secara total kekuasaan politik yang menemukan ujungnya pada hilangnya makna jabatan menteri. Tak seperti di zaman Orde Baru, jabatan menteri telah kehilangan makna superlatifnya pada era reformasi. Era kepresidenen Abdurrahman Wahid malah ditengarai sebagai “era gonta-ganti menteri”. Itulah mengapa, opini publik diwarnai pencuatan aspirasi agar para menteri dalam kabinet terdiri dari kaum profesional dengan keahlian dan kompetensi yang dapat dibanggakan untuk penanganan suatu bidang.

Apa boleh buat, audisi calon menteri di Cikeas mempertontonkan keanehan dari apa yang dimengerti publik tentang seorang menteri. Dalam editorial bertajuk “Reality Show Seleksi Menteri”, Media Indonesia edisi 19 Oktober 2009 lalu menampilkan narasi seperti ini: “Banyaknya kandidat menteri itu menunjukkan betapa kekuasaan menjadi magnet yang menggoda. Kekuasaan diburu dengan berbagai cara oleh mereka yang belum mendapatkannya. Sebaliknya kekuasaan dipertahankan dengan berbagai cara pula oleh mereka yang telah mendekapnya.” Editorial Media Indonesia juga menyuguhkan narasi seperti ini: “Ritual seleksi calon menteri dibuat tahap demi tahap yang menegangkan. Para menteri yang masih menjabat harap-harap cemas dan aktivis partai dibikin deg-degan. Puncaknya ketika para kontestan dipanggil satu per satu menghadap Presiden.”

Inilah praksis politik yang sepenuhnya bernuansa psikologis. Inilah sebuah upaya yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik betapa masih pentingnya jabatan menteri. Sementara kontras dengan itu, publik sendiri sudah tak memandang penting jabatan menteri. Lebih tak penting lagi jika ternyata sang menteri miskin kontribusi terhadap upaya besar memajukan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Secara kategoris, perspektif publik yang sedemikian kritis terhadap jabatan menteri itu mengemuka dalam serangkaian talk-news di berbagai stasiun radio di Jakarta.

Evolusi Panggung Politik

Kedua, peristiwa politik Cikeas hanyalah proses evolusi untuk menjadikan rumah kediaman Yudhoyono kini berfungsi menjadi episentrum terbentuknya elite pada puncak perpolitikan nasional. Ini jelas memiliki makna simbolik untuk jangka panjang. Ditilik berdasarkan perspektif antropologis, kediaman Yudhoyono di Cikeas kini diskenariokan sedemikian rupa menjadi sebuah lungguh bagi trah baru kekuasaan politik negeri ini, di luar cakupan trah Soekarno di sekitar kediaman Megawati Soekarnoputri di kawasan jalan Teuku Umar (Menteng, Jakarta Pusat), trah Soeharto di sekitar kawasan jalan Cendana (Menteng, Jakarta Pusat) atau pun trah Abdurrahman Wahid di sekitar Ciganjur (Jagakarsa, Jakarta Selatan).

Memang, setelah kurun waktu 2014, Yudhoyono tak mungkin lagi mencalonkan diri sebagai presiden. Sebab, Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung klausul yang melarang siapapun menduduki jabatan Presiden RI lebih dari dua periode. Pasal tersebut tegas menyebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Maka, mustahil Yudhoyono—seberapa pun tinggi popularitasnya—maju menjadi presiden untuk ketiga kalinya.

Sungguh pun demikian, salah satu putra Yudhoyono—Edhi Baskoro Yudhoyono—kini menampakkan tanda-tanda menjadi penguasa politik di masa depan. Edhi Baskoro kini anggota DPR dari Partai Demokrat. Bila Yudhoyono sekarang sukses menskenariokan kediamannya di Cikeas menjadi sebuah panggung politik pada level nasional, maka ia telah memberi jalan yang mudah bagi sang putra—atau sanak famili yang lain—untuk juga menjadi presiden di masa depan. Dengan imajinasi mampu memenangkan pertarungan seperti telah dimenangkan Yudhoyono, sang putra bisa dengan saksama menggunakan kediaman Yudhoyono kini agar sepenuhnya berfungsi sebagai lungguh untuk menyampaikan woro-woro politik di masa depan demi memuluskan pertarungan memperebutkan kepemimpinan nasional.

Itulah mengapa, audisi calon menteri di kediaman Yudhoyono di Cikeas, tak lebih dan tak kurang hanyalah absurditas yang berjalan mengikuti logika politik pencitraan. Audisi itu kosong dari pembaruan politik dalam maknanya yang fundamental. Jangan heran jika audisi itu bukanlah garansi demi menemukan figur-figur menteri yang bekerja untuk bangsa dan negara. Sang menteri malah bekerja untuk dirinya sendiri. Begitulah!

Jakarta, 20 Oktober 2009

Kamis, 15 Oktober 2009

Negativitas Menjadi Oposisi

Oleh Anwari WMK

Menjadi oposisi merupakan obsesi yang salah, kehendak yang janggal dan cita-cita yang keliru. Begitulah perspektif yang berkecamuk dalam benak tokoh-tokoh politik Indonesia kontemporer. Karena itu pula, dalam percaturan kekuasaan, partai-partai politik diarahkan sedemikian rupa untuk tak memandang penting outstanding sebagai oposisi. Sebagian besar partai politik lalu tergiring masuk ke dalam bangunan koalisi di bawah orkestrasi Partai Demokrat. Bahkan, inilah koalisi super jumbo yang sepenuhnya diarahkan untuk memberikan basis dukungan politik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, selama kurun waktu 2009-2014. Namun, tak adanya kehendak menjadi oposisi itulah yang kemudian mewarnai pemberitaan media massa. Nada penyesalan sungguh-sungguh mewarnai pemberitaan media massa.

Dalam editorialnya pada edisi 15 Oktober 2009 (hlm. 6) berjudul “Bangga Menjadi Oposisi”, harian Seputar Indonesia melihat perpolitikan Indonesia tengah berada di jalan sesat, lantaran menampik kehadiran oposisi. Editorial Seputar Indonesia lalu mengusung narasi kalimat seperti ini: “Kelompok oposisi yang berkewajiban mengkritik kebijakan penguasa agar tidak melenceng adalah bagian dari apa yang disebut checks and balances. Semua orang sepakat kekuasaan harus dikontrol dan diawasi terus-menerus, kalau tidak kekuasaan itu pasti korup. Kalau penguasanya korup, negara bangkrut dan rakyat sengsara. Kalau sudah demikian, yang salah bukan hanya penguasanya, tapi juga masyarakatnya: kenapa mereka tidak ada yang mau jadi oposisi?”

Panorama Oposisi

Dalam editorial tersebut, pembacaan secara kritis terhadap arti penting oposisi dikait-hubungkan dengan kemungkinan buruk yang mewarnai jagat kekuasaan politik pasca-Pemilu 2009. Tanpa oposisi, kekuasaan seorang presiden dibiarkan terpilin menjadi obesitas dalam hal menggelembungkan basis dukungan partai-partai politik. Sementara kontras dengan itu, kekuasaan menjadi kian bercorak patrimonial. Sebagai konsekuensinya, rakyat terus-menerus termarjinalkan dari totalitas kekuasaan politik. Semua ini tak lepas dari obsesi untuk menghadirkan stabilitas permanen pemerintahan yang kuat, selama lima tahun ke depan. Dengan koalisi besar berarti, dukungan parlemen terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sangat kuat. Sebagian besar partai politik mengukuhkan soliditas pemerintahan Yudhoyono. Apa boleh buat, tak ada persemaian subur ke arah tumbuhnya kekuatan oposisi.

Tentu saja, negativitas terhadap oposisi tak hanya mencuat di jagat politik setelah tuntasnya Pemilu 2009. Negativitas terhadap kehadiran partai oposisi bukanlah gejala baru. Tatkala perpolitikan nasional masuk ke dalam fase reformasi sejak akhir dekade 1990-an, ada kebutuhan terhadap hadirnya partai oposisi. Melalui keberadaan partai oposisi, pertarungan politik diwarnai oleh munculnya gagasan-gagasan brilian yang bersifat alternatif dan sekaligus bermakna terobosan ke arah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Intelektual sekaliber Nurcholish Madjid pun lalu berbicara secara repetitif agar bangsa ini belajar membentuk partai oposisi. Partai oposisi, kata Nurcholish Madjid, memiliki kemuliaan yang setara dengan partai penguasa. Bahkan Nurcholish Madjid menganalogikan tak adanya oposisi dalam praktik demokrasi dengan “ban mobil yang kempes”. Tanpa oposisi, perjalanan demokrasi niscaya terseok-seok.

Sayangnya, himbauan profetik Nurcholish Madjid itu berlalu bersama angin. Terhitung sejak Pemilu 1999, belum jua hadir partai oposisi dalam maknanya yang utuh. Memang, pada pasca-Pemilu 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengibarkan bendera oposisi dan mengklaim dirinya sebagai pelopor kehadiran partai oposisi di Indonesia. Pada tataran praksis, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini mencitrakan dirinya sebagai partai oposisi dalam hubungannya dengan kabinet pemerintahan. Itulah mengapa, portofolio kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) selama kurun waktu 2004-2009 tak melibatkan kader-kader PDI-P. Sungguh pun begitu, tak ada narasi besar yang sungguh-sungguh produktif dihasilkan partai ini dalam kedudukannya sebagai oposisi. Rasionalitas yang mendasari pilihan oposisi hanyalah rivalitas personal Megawati Soekarnoputri versus Susilo Bambang Yudhoyono. Oposisi PDI-P lalu merupakan kelanjutan logis dari pertarungan lama Megawati Soekarnoputri melawan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sangat bisa dimengerti pada akhrinya, mengapa PDI-P yang mengklaim oposisi itu gagal menawarkan sistem perekonomian alternatif—yang secara diametral seharusnya berbeda dengan opsi sistem ekonomi rezim Yudhoyono. Neoliberalisme yang sedemikian rupa merangsak perekonomian nasional selama era rezim Yudhoyono, ternyata hanya direspons PDI-P sebatas menggelorakan ekonomi kerakyatan. Bagaimana model tata kelola ekonomi kerakyatan dalam perspektif PDI-P, ternyata tak pernah jelas hakikat maupun logikanya. Tanpa bisa dielakkan, selama kurun waktu 2004-2009 muncul panorama oposisi. Tetapi, inilah oposisi yang tak pernah jelas landasan filosofinya, dan lantaran itu pula tak pernah jelas cetak-biru sistem perekonomian yang ditawarkan.

Geneologi Negativitas

Perkembangan politik setelah berakhirnya Pemilu 2009 menyingkapkan kenyataan tragis. Bahwa sesungguhnya, di Indonesia, belum pernah ada partai oposisi dalam maknanya yang genuine. Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufik Kiemas justru menganulir berbagai klaim selama lima tahun sejak 2004 tentang kedudukan PDI-P sebagai partai oposisi. Dalam suatu kesempatan, Taufik Kiemas berbicara di hadapan pers bahwa sistem politik Indonesia tak mengenal oposisi. Pada kesempatan lain, Taufik Kiemas menyinggung tentang kemungkinan kader-kader PDI-P masuk ke dalam jajaran KIB jilid dua.

Dengan menyebut tak adanya oposisi dalam maknanya yang genuine, maka tugas pokok kita pada akhirnya menelusuri geneologi negativitas terhadap oposisi. Dan ternyata, negativitas itu timbul karena adanya tiga sebab. Pertama, ranah politik di Indonesia terus-menerus berada dalam satu sentakan untuk tak memungkinkan menerima kehadiran kekuatan oposisi. Dari dulu hingga kini, ranah politik di Indonesia diwarnai kesadaran palsu (false consciousness) di seputar nikmatnya duduk di atas singgasana kekuasaan eksekutif. Pengawasan badan legislatif pada berbagai tingkatan, misalnya, didasari oleh psiko-politik yang memandang dengan perasaan iri eksistensi kekuasaan eksekutif. Bangunan argumentasi yang bernuansa kritis di parlemen dilandaskan pada perasaan underdog kekuasaan legislatif berhadapan dengan kekuasaan eksekutif. Selama psiko-politik ini tak dapat dibongkar, maka selama itu pula tak ada prakondisi ke arah terbentuknya kekuatan oposisi.

Kedua, ranah personal aktor-aktor politik di Tanah Air steril dari pemahaman tentang kemuliaan partai oposisi. Ini karena, aktor-aktor politik telah sejak lama kehilangan spirit pengorbanan, terbelenggu mental menerabas, serta terjebak ke dalam rawa-rawa pragmatisme. Semua ini merupakan akibat dari kuatnya tendensi untuk mencari kenikmatan personal dalam politik. Bukan saja politik di Indonesia lalu bercorak libidal, lebih dari itu kaum politikus berada dalam perburuan abadi untuk mendapatkan sebanyak mungkin comfort zone di belantara kekuasaan. Kristalisasi atas semua ini adalah narsisme aktor-aktor politik yang tiada taranya di ruang publik. Maka, absurd jika kemudian mengharapkan adanya asketisisme dalam politik. Dari kemulian, politik telah bergeser jauh menjadi kebinatangan.

Ketiga, perpolitikan nasional tak memiliki kejelasan filosofi, baik pada tataran konsepsi maupun pada level aksi. Kenyataan ini merupakan akibat tak terperikan dari hilangnya sensibilitas terhadap dimensi makrokosmos kehidupan umat manusia. Bukan saja kemudian kaum politikus membangun kesadaran teologis yang compang-camping, tak kalah pentingnya juga mereka terpenjara ke dalam pandangan dunia partikularistik. Sebagai konsekuensinya, kaum politikus tak memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk menyimak puspa ragam persoalan bangsa secara obyektif. Lebih tak mungkin lagi memahami problema kebangsaan secara holistik.

Jelas pada akhirnya, negativitas menjadi oposisi bertitik tolak dari sebab yang tak sederhana serta mencetuskan akibat yang rumit.

Jakarta, 15 Oktober 2009

Rabu, 14 Oktober 2009

Tamatnya Kedaulatan Kata-kata

Oleh Anwari WMK

Kedaulatan kata-kata (the sovereignty of words) dalam jagat narasi kebangsaan, pada akhirnya memasuki fase kepunahan. Setelah sejak Orde Baru ruang publik di Indonesia dibombardir oleh kuasa kata otoriter, pada akhirnya ruang publik diharu-biru oleh tamatnya kedaulatan kata-kata. Fakta tentang hal itu sepenuhnya tercermin pada hilangnya ayat tembakau dalam Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Inilah undang-udang yang keabsahannya telah ditetapkan Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah melalui Rapat Paripurna tanggal 14 September 2009. Pada 28 September 2009, dokumen undang-undang tersebut dikirimkan ke Sekretariat Negara dengan disertai surat pengantar Ketua DPR periode 2004-2009. Dengan dikirim ke Sekretariat Negara berarti, undang-undang tersebut memasuki proses selanjutnya untuk diumumkan pada Lembaran Negara. Namun, heboh yang lantas mencuat ke permukaan berjalin kelindan dengan hilangnya Ayat (2) pada Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Maka, dengan sangat gamblang dipertontonkan, bahwa kata-kata telah kehilangan kedaulatannya.

Apa yang dimaksud dengan “kedaulatan kata-kata” di sini bermula dari lahirnya konsensus politik di parlemen. Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, konsensus politik itu kemudian dituangkan menjadi narasi yang “utuh” ke dalam sebuah undang-udang. Sementara, konsensus itu sendiri merupakan kelanjutan logis dari kehendak dan aspirasi rakyat yang dikelola oleh para politikus melalui kelembagaan parlemen. Secara demikian berarti, setiap kata yang termaktub ke dalam undang-undang tak lagi bersifat equivokal. Kata demi kata dalam undang-undang telah tertransformasi menjadi univokal. Itulah mengapa, pada setiap undang-undang terdapat lampiran yang menjelaskan maksud setiap bab, pasal dan ayat. Lantaran telah berdimensi univokal, setiap kata dalam undang-undang memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan. Maka, tak mungkin kata-kata itu diubah setelah disepakati melalui Rapat Paripurna. Dan lebih tidak mungkin lagi jika dihilangkan sama sekali. Anehnya, itulah yang terjadi pada ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan.

Substansi yang Hilang

Ayat (2) yang hilang dari Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan itu mengandung substansi sebagai berikut. “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, produk cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.” Bagaimana memahami hilangnya ayat tembakau ini? Tangan siapakah yang usil sehingga menghilangkan ayat tembakau dan sekaligus menggusur kedaulatan kata-kata?

Berkenaan dengan hilangnya ayat tembakau itu, harian Kompas edisi 14 Oktober 2009 (hlm. 6) sampai merasa perlu menurunkan sebuah editorial dengan judul menggelegar: “Skandal Politik Tembakau”. Editorial ini menggarisbawahi munculnya apa yang disebut “kudeta redaksional” melalui hilangnya Ayat (2) pada Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Dalam editorialnya Kompas lalu membentangkan perspektif kritis seperti ini: “Kita memandang hilangnya “ayat tembakau” dalam UU Kesehatan bukanlah semata-mata masalah teknis. Kita sependapat dengan pengamat kesehatan Kartono Mohammad bahwa hilangnya “ayat tembakau” harus diusut tuntas oleh Badan Kehormatan DPR, termasuk kemudian ditangani kepolisian. Hilangnya “ayat tembakau” memunculkan kecurigaan adanya intervensi pihak luar, yang keberatan dengan pencantuman ayat soal tembakau dalam UU Kesehatan”.

Dengan editorialnya itu Kompas berbicara secara asertif kepada publik luas, bahwa hilangnya ayat tembakau bukanlah kesalahan yang bersifat aksidental, tetapi justru kesalahan yang bersifat substansial. Hilangnya ayat tembakau itu bukan sekadar akibat dari salah ketik, dan bukan pula kekeliruan di seputar copy dan paste pada program pengolah kata di komputer. Itulah mengapa, pada bagian lain editorialnya Kompas menulis seperti ini: “Perilaku gerilya politik seperti menyelundupkan ayat—menghilangkan atau menambahkan ayat di luar kesepakatan DPR dan pemerintah—adalah sebuah kejahatan politik yang tidak bisa ditoleransi”. Makna yang dengan serta-merta bisa ditangkap dari narasi editorial ini ialah munculnya kekuatan besar di balik hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Dan sebagaimana kemudian dilansir oleh sejumlah radio penyiaran di Jakarta melalui berita dan wawancara selama Rabu pagi 14 Oktober 2009, kekuatan besar dimaksud tak lain dan tak bukan adalah industri rokok dan para kompradornya.

Namun hal yang kemudian penting dicatat adalah ini. Peristiwa hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan jelas takkan berada dalam pelukan abadi pemberitaan media massa. Sejalan dengan begitu beragamnya isu yang terus bergulir, peristiwa hilangnya ayat tembakau bakal berlalu bersama angin. Sungguh pun begitu, peristiwa tersebut merefleksinya beratnya problema konstitusionalisme di negeri ini. Hal yang bisa kita simpulkan ialah proses terciptanya sebuah undang-udang melalui kelembagaan DPR dengan mudahnya diporak-porandakan oleh kepentingan bercokol (vested interest). Sudah dalam keadaan demikian, kaum vested interest telah sejak lama mendeterminasi keberadaan DPR serta mempengaruhi agenda legislasi parlemen.

Dari kenyataan buruk ini maka bahaya besar dalam jangka panjang terkait erat dengan keberlanjutan eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Editorial Kompas lalu mengusung narasi kalimat yang sepenuhnya berisikan peringatan menghadapi bahaya besar di masa depan. Tulis editorial Kompas: “Cara kasar seperti itu, jika dibiarkan, bakal mengancam eksistensi negara hukum dan sistem demokrasi deliberatif yang sedang mau kita bangun. Hilangnya atau ditambahkannya sebuah ayat—di luar kesepakatan politik DPR dan pemerintah—jelas akan mempengaruhi nasib seluruh bangsa ini, termasuk pemerintah, DPR dan seluruh rakyat.” Pesan paling penting dari narasi kalimat editorial ini ialah mengakhiri seluruh kecenderungan punahnya kedaulatan kata-kata.

Parlemen yang Profan

Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa memberikan kesaksian, bahwa ayat yang hilang setelah persetujaun Rapat Paripurna DPR pernah terjadi pada dokumen Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkeretaapian dan RUU Tata Ruang. Dengan demikian berarti, hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan bukanlah absurditas politik yang terjadi untuk pertama kalinya. Artinya, ada preseden buruk menjelang atau sebelum hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Dari pengalaman buruk ini Hatta Radjasa lalu menarik sebuah konklusi. Bahwa hilangnya ayat dalam RUU yang sudah disetujui Rapat Paripurna DPR merupakan persoalan yang sangat mendasar. Itulah mengapa, perlu ada shock therapy untuk mencegahnya agar tak menjadi habitus hingga ke masa depan. Terlebih lagi, satu ayat dalam sebuah undang-undang dihasilkan melalui proses legislasi selama berbulan-bulan.

Tak bisa tidak, pada akhirnya, sorotan harus diarahkan ke parlemen. Sebab, parlemen merupakan institusi politik yang amat profan. Jika di masa Orde Baru berfungsi sebagai stempel karet kekuasaan otoriter, pada era Orde Reformasi parlemen jusrtu berubah menjadi mesin yang terus-menerus mereproduksi berbagai skandal korupsi. Jajak pendapat publik lalu menunjukkan, bahwa bersama kejaksaan dan kepolisian parlemen merupakan lembaga negara terkorup di Indonesia. Bukan saja kemudian banalitas politik tumbuh subur di parlemen, lebih dari itu profanitas merasuk ke dalam totalitas eksistensial parlemen.

Dengan profanitas berarti, para politikus di parlemen sama sekali tak merasa bersalah sekali pun tak habis-habisnya menista rakyat. Pengusuran ayat dalam RUU yang sudah final jelas “hanyalah” hal kecil bagi parlemen. Tak mengherankan jika Sekjen DPR Nining Indra Saleh mengangap biasa-biasa saja raibnya satu ayat dalam Undang-Undang Kesehatan (Media Indonesia, 14 Oktober 2009, hlm. 1). Tak berlebihan jika kemudian disimpulan, parlemen Indonesia di masa kini merupakan kekuatan besar yang berada di balik tamatnya kedaulatan kata-kata. Maka, terhadap parlemen, waspadalah..... waspadalah, ... waspadalah ....!

Jakarta, 14 Oktober 2009

Sabtu, 10 Oktober 2009

Pandangan Dunia Pemimpin Politik

Oleh Anwari WMK

Di Oslo, Norwegia, Komite Nobel memilih Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama sebagai tokoh penerima hadiah Nobel Perdamaian 2009. Mendadak sontak, dunia terkejut, tetapi kemudian menyambut dan memberikan aplaus. Obama dinilai pantas menerima Nobel Perdamaian. Ia telah melakukan upaya spektakuler demi memperkuat diplomasi internasional serta merentangkan kerja sama global dan mengusung visi tentang dunia yang damai. Komite Nobel juga menggarisbawahi visi penting Obama tentang dunia tanpa senjata nuklir. Dalam kedudukannya sebagai Presiden AS, visi Obama telah menstimuli perlucutan senjata nuklir. Konsekuensi dari semua itu, Obama menciptakan iklim politik internasional baru, sehingga pendekatan multilateral kembali mendapat panggung, bahkan melalui pengedepanan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi internasional.

Pertanyaan yang kemudian menarik dimunculkan, adakah makna filosofis di balik penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Barack Obama? Bagaimana memahami hubungan antara Nobel Perdamaian 2009 dengan sosok dan personalitas politik Obama?

Pandangan Dunia

Pembacaan secara semiotik menunjukkan, Nobel Perdamaian untuk Obama merupakan pertanda akan adanya pengakuan terhadap kemenangan sebuah pandangan dunia (Weltanschauung) seorang pemimpin politik. Sudah mafhum diketahui banyak orang, personalitas politik Obama tak lepas dari posisi dirinya dalam rentang panjang sejarah perpolitikan AS. Dalam konstelasi global abad XXI, dunia sesungguhnya tengah menyaksikan hadirnya senjakala AS sebagai sebuah negara adidaya. Tak mengherankan jika Obama mewarisi kepemimpinan politik AS yang compang-camping. Bahkan, inagurasi yang menobatkan dirinya sebagai pemimpinan AS pada Januari 2009 digelayuti “awan hitam” krisis perekonomian global. Sementara tragisnya, krisis perekonomian global itu episentrumnya di AS dan memperlihatan dentuman hebat pada September 2008 melalui rontoknya bank-bank investasi berskala besar.

Tetapi dahsyatnya, Obama bukan saja tercatat sebagai keturunan Afro-Amerika pertama yang berhasil menduduki kursi kepresiden AS. Lebih dari itu, ia mengambil suatu penyikapan yang hampir utopis saat menyentuh persoalan-persoalan diplomasi dan hubungan antar-bangsa di dunia. Politik luar negeri AS yang semula unilateral, ia belokkan menjadi multilateral. Di atas panggung politik dunia, Obama lalu tampil dengan mengusung spirit Kantian yang sepenuhnya mengibarkan cita-cita perpetual peace. Jika selama beberapa tahun sebelumnya politik luar negeri AS berpijak pada paradigma realpolitik yang mengagungkan struggle for power, Obama justru menempuh haluan lain. Ia memandang penting humanitarianism dan world government yang menjunjung tinggi moralitas. Dengan kata lain, Obama pemimpin politik AS yang menampik opsi politik machiavellis saat harus merancang bangun hubungan antar-bangsa di dunia.

Ketika pada 22 Januari 2009 Obama mengangkat mantan Senator George Mitchell sebagai Utusan Khusus Presiden AS untuk Timur Tengah, maka semakin terang benderang Weltanschauung Obama yang bercorak Kantian. George Mitchell adalah tokoh yang memiliki kemampuan untuk melihat secara obyektif konflik dan kekerasan yang tak berujung pangkal di Timur Tengah. Terutama dalam konteks pertarungan abadi Israel-Palestina, George Mitchell merupakan figur yang mampu melihat keburukan adalah keburukan dan kebaikan adalah kebaikan. Dengan penunjukan George Mitchell itu sekaligus Obama hendak memperlihatkan kepada dunia bahwa Israel dan Palestina tak boleh terus mengobarkan kekerasan berdarah-darah. Enough is enough. Itulah mengapa, Obama mengecam upaya Israel membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Weltanschauung Obama juga tercermin pada penutupan penjara Guantanamo serta melarang penyikasaan terhadap tahanan dari kalangan yang sejauh ini dituduh teroris. Pada April 2009 Obama pun menyampaikan pesan rekonsilisasi pada dunia Muslim di depan para pemimpin Yahudi, Kristen dan Islam. Inti dari pesan rekonsiliasi itu ialah tekad dan kepastian, bahwa AS takkan pernah berperan melawan Islam. Ketika pada 4 Juni 2009 berbicara tentang cetak-biru dalam hubungan baru AS-Islam, Obama berupaya memperbaiki citra AS di dunia Muslim. Dalam pernyataannya yang bersukmakan perdamaian, Obama bahkan mengutip Taurat, Bibel dan Al Qur’an.

Bukan Pemimpin Salon

Dengan pandangan dunia yang telah diperlihatkan itu, Obama bukanlah pemimpin salon dalam bidang politik. Setiap ucapan yang ia lontarkan dan setiap opsi yang ia ambil bukanlah gincu atau lipstik untuk tujuan sempit meraup popularitas di dalam negeri. Diakui atau tidak, visi politiknya tentang Timur Tengah menohok keberadaan negara Israel. Pada derajat tertentu, Obama menempuh jalan yang berseberangan dengan lobi-lobi Yahudi Amerika, yang dikenal tangguh dan berpengaruh luas. Sebagai kekuatan invisible dalam kancah perpolitikan Amerika, lobi-lobi Yahudi bisa dengan mudah menjungkalkan kekuasaan seorang presiden. Agaknya, Obama tak gentar menghadapi tantangan ini. Visi besarnya yang humanitarianistik mengalahkan ketakutannya terhadap dahsyatnya tantangan yang mungkin digebrakkan oleh lobi-lobi Yahudi Amerika.

Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa Obama bukanlah pemimpin salon di bidang politik dan lantaran itu layak mendapatkan Nobel Perdamaian?

Pada awal April 2009, Obama bertemu Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Presiden China Hu Jintao, dan Ratu Elizabeth II dari Inggris. Pertemuan itu merupakan simbolisme dari kuat dan kukuhnya kehendak Obama mewujudkan kerangka kerja multilateralisme dalam merajut hubungan internasional dan untuk keperluan pengaturan perekonomian global. Jika sekadar pemimpin salon, Obama takkan melakukan upaya-upaya ini. Mengapa? Di dalam negeri AS sesunguhnya menguat pandangan yang bercorak merkantilistik. Di tengah dahsyatnya serbuan produk-produk murah dari Republik Rakyat China, para pelaku ekonomi AS berada dalam suatu titik inklinasi untuk dengan serta-merta berpijak pada paradigma merkantilistik. Dengan mengatasnamakan nasionalisme ekonomi, timbul kecenderungan di kalangan pelaku ekonomi AS untuk menggunakan senjata proteksionisme dan atau isolasionisme. Obama, ternyata, tak berpihak pada cara pandang ini. Ia justru berupaya berdiri di garda depan terwujudnya multilateralisme yang pada gilirannya memberikan dampak positif terhadap perekonomian dunia.

Ketika pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Pittsburg, 24-25 September 2009, tampil sebagai aktor penentu terjadinya peralihan peran G-8 menjadi G-20, sekali lagi Obama membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemimpin salon. Ia mendorong secara sangat kuat agar forum informal G-20 resmi berkedudukan menggantikan G-8. Dengan demikian berarti, terbentuk forum informal yang cakupan anggotanya terdiri atas negara-negara dengan kemampuan kumulatif hingga 90% dalam hal menciptakan Produk Domestik Bruto (PDB) global. Hal mendasar yang termaktub ke dalam visi Obama tentang G-20 ialah pembukaan koridor secara sangat luas agar diskusi tentang berbagai permasalahan pelik di dunia tak lagi dilakukan secara eksklusif oleh segelintir negara yang tergabung ke dalam G-8. Diskusi dan upaya menemukan solusi terhadap masalah-masalah pelik dunia oleh Obama diskenariokan agar melibatkan lebih banyak negara. Pada titik ini, benar-benar terpantul visi world government pada diri seorang Obama.

Maka, sudah seharusnya jika momentum penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Obama menginspirasi pemimpin-pemimpin politik di dunia untuk memiliki kejelasan Weltanschauung dan jangan lagi bertakzim pada pencitraan untuk sekadar menjadi pemimpin salon.

Jakarta, 10 Oktober 2009

Rabu, 07 Oktober 2009

Kendaraan Politik Bagi Rakyat

Oleh Anwari WMK

Tatkala hendak memperebutkan kursi kekuasaan, mendadak sontak para aktor politik berbicara tentang rakyat. Mereka beradu akting di ruang publik dengan mengusung citra diri sebagai pejuang sejati mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan itu, rakyat lalu dijunjung setinggi langit. Personalitas seorang politikus tiba-tiba diwarnai aura kepedulian tanpa batas dalam hal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tetapi jelas, semuanya hanyalah aksi di atas panggung. Semuanya hanyalah lipstik dan polesan. Tak lebih dan tak kurang.

Apa yang bisa kita catat selama ini ialah timbulnya paradoks dalam perpolitikan nasional. Pada satu sisi, politik merupakan panggilan kebangsaan, dan karena itu tak pernah bergeser menjadi profesi. Dengan terjun ke dunia politik, seseorang sesungguhnya berada dalam satu titik kesadaran untuk menghibahkan diri sepenuhnya memenuhi panggilan kebangsaan. Maka, para politikus adalah pejuang yang mengusung misi besar memajukan dan memakmurkan bangsa. Tapi pada lain sisi, politik di Indonesia menjadi ladang berburu pekerjaan. Tata kelola politik dilumuri pamrih materi. Tak mengherankan pada akhirnya, politikus di negeri ini menjadi monster pemburu rente yang korup. Dengan sendirinya, politikus di Indonesia merupakan figur yang antoganistik.

Pemimpin Partai

Hingga perpolitikan nasional menerobos masuk ke dalam kurun waktu pasca-Orde Baru, sandiwara pembelaan terhadap rakyat tampak menonjol pada saat Pemilu Legislatif maupun tatkala berlangsung Pemilu Presiden. Politikus yang ambisius duduk di parlemen atau yang begitu obsesif meraih jabatan presiden, menebar janji untuk sepenuhnya membahagiakan rakyat. Kampanye Pemilu lantas menjadi sebuah siklus yang riuh redah oleh corong penyebaran janji. Sebagai imbalannya, sang politikus meminta dukungan suara dari rakyat, melalui pencontrengan di bilik-bilik suara.

Kini, sebuah cerita baru bergulir. Sandiwara pembelaan terhadap rakyat pun mewarnai perebutan kursi ketua umum sebuah partai politik. Contohnya, perebutan jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya (Golkar). Dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Pekanbaru, Riau (5-8 Oktober 2009), empat orang politikus tampil sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra dan Yuddy Chrisnandi. Mereka sama-sama berbicara tentang rakyat serta melontarkan resep politik bagaimana menyekahterakan rakyat. Begitu artikulatifnya pembicaraan tentang rakyat dalam Munas ke-8 itu, tak berlebihan jika dikatakan inilah sensasi baru dalam jagat perpolitikan nasional.

Memang, Munas atau Muktamar partai-partai selain Golkar telah pula membicarakan nasib rakyat. Tetapi, hanya dalam Munas ke-8 Golkar pembicaraan tentang rakyat membahana dari kandidat ketua umum. Derajat pembicaraan tentang rakyat dalam konteks Munas ke-8 Partai Golkar sama artikulatifnya dengan pembicaraan tentang rakyat selama masa kampanye Pemilu. Padahal, para kandidat Ketua Umum Partai Golkar itu tak sedang berhadapan dengan rakyat secara vis-à-vis—seperti pada musim Pemilu.

Rakyat dalam Perspektif

Hanya saja, pembicaraan tentang rakyat dalam konteks ini berada dalam perspektif yang sumir. Pembacaan secara saksama terhadap konstatasi yang dilontarkan empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar secara keseluruhan justru tanpa kejelasan esoterisme. Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “rakyat” dalam berondongan kata-kata empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar, tak lebih hanyalah retorika. Kata “rakyat” dalam pelataran ini masih terpaku pada pengertian yang dangkal. Tak ada kedalaman konsepsi yang mendasari segenap pembicaraan tentang rakyat.

Dalam Kompas edisi 5 Oktober 2009, Yuddy Chrisnandi berbicara tentang rakyat sehubungan dengan penurunan suara Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2009. Nomenklatur “rakyat” terpatri ke dalam narasi kalimat Yuddy seperti ini: ”Suara Partai Golkar turun disebabkan faktor kepemimpinan yang tidak solid dan merakyat, mengabaikan kekuatan lain, serta merasa puas pada capaian sebelumnya. Pemimpin seharusnya mampu menggerakkan seluruh jajaran turun ke bawah serta menjaga persatuan sehingga terbangun soliditas. Pemilu lalu semua berjalan sendiri. Reposisi politik Partai Golkar juga tidak jelas, partai pemerintah atau oposisi yang senantiasa mendukung cita-cita rakyat. Kader yang membela rakyat malah diperingatkan. Akibatnya, Golkar dilupakan rakyat.”

Dalam konteks ideologi, Yuddy juga berbicara tentang rakyat dengan narasi kalimat seperti ini: Golkar itu nasionalis religius kerakyatan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengukuhkan sebagai partai religius. Komitmen Golkar melindungi NKRI dari pertentangan ideologi, separatisme, atau SARA dengan membingkai kebhinnekaan. Pembangunan nasional harus ditujukan untuk rakyat. Tujuan ini mulai melemah. Golkar juga bukan partai agama yang berpihak hanya pada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau satu golongan. Karena itu, harus berjuang semaksimal mungkin agar semua peraturan diterima secara adil oleh seluruh rakyat.”

Hutomo Mandala Putra juga menggunakan nomenklatur “rakyat” demi mengklarifikasi mengapa akhirnya ia maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Kata Hutomo Mandala Putra, ”Saya membawa visi-misi lebih jelas tentang karya-kekaryaan dan ekonomi rakyat. Golkar selama ini hanya dimanfaatkan elite politiknya. Ke depan, Golkar harus lebih membantu rakyat mewujudkan cita-citanya. Golkar juga harus lebih tegas menjaga kedaulatan bangsa. Saat Orde Lama, kita bertambah Papua. Orde Baru, bertambah Timtim. Tapi, saat Reformasi kehilangan Timtim, Sipadan, Ligitan.”

Saat menyinggung kemestian-kemestian baru yang niscaya dilakukan Golkar, Hutomo Mandala Putra berbicara tentang rakyat dengan konstruk kalimat seperti ini: “Golkar harus mewujudkan cita-cita rakyat secepatnya, tidak perlu menunggu Pemilu. Sudah saatnya kita berkarya sekarang ini. Karena itu, sejak awal saya tidak ingin terlibat praktik ”dagang sapi” atau pragmatisme. Saya harus mengedepankan program-program yang harus dilaksanakan Golkar di daerah-daerah jika ingin menang di 2014.”

Dalam wawancara dengan harian Seputar Indonesia (6 Oktober 2009), Hutomo Mandala Putra berbicara tentang konsep Trikarya untuk keperluan membesarkan Golkar. Salah satu poin dalam konsep Trikarya itu berbunyi: “Partai Golkar harus dijadikan kendaraan politik rakyat untuk mewujudkan harapannya”. Dua poin yang lain adalah: (1) Keharusan bagi Golkar menjadi partai independen, mandiri dan dinamis, serta (2) Partai Golkar mewujudkan wajib belajar 12 tahun secara gratis untuk sekolah negeri dan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas.

Sungguh pun demikian, pembicaraan tentang rakyat tak menukik pada kedalaman filosofi. Di sini, pembicaraan tentang rakyat bernuansa banalitas. Itu karena, masih bertahan relasi subyek-obyek di dunia politik. Para aktor politik tak habis-habisnya memosisikan diri sebagai subyek. Sementara rakyat, disudutkan sebagai obyek. Itulah mengapa, pembicaraaan tentang rakyat terjebak ke dalam logika formal, bukan resultante dari dialektika lahir batin bersama rakyat itu sendiri. Maka, pembicaraan tentang fungsi partai politik sebagai kendaraan politik bagi rakyat jelas masih sebatas utopia. “Kendaraan politik bagi rakyat” hanyalah isu temporer menghadapi Munas. Maka, dengan cepat isu ini bakal berlalu bersama angin.

Jakarta, 7 Oktober 2009