Minggu, 25 Oktober 2009

Pencitraan di Depan Menteri

Oleh Anwari WMK

Bagaimana pun, personalitas politik Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah bisa dilepaskan dari pencitraan (image building). Bagi Yudhoyono, pencitraan telah sedemikian rupa mengkristal menjadi sebuah metode untuk memperlihatkan eksistensi dirinya di ruang publik. Seakan, ia tak punya cara lain untuk mempertontonkan siapa dirinya, selain melalui pencitraan. Sekali pun hanya di depan jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang ia pimpin, pencitraan itu terus berlangsung, tanpa titik jedah. Itu terbukti dari suasana yang terbangun selama berlangsungnya sidang paripurna KIB II yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada 23 Oktober 2009. Sekilas pintas, dalam sidang kabinet paripurna itu Yudhoyono berupaya memberikan aksentuasi agar para menteri yang baru diangkat memasang target lebih ambisius demi kemajuan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Hanya saja, segenap aksentuasi itu tak lain dan tak bukan adalah pencitraan.

Sebagai sebuah peristiwa politik, sidang kabinet paripurna itu menyerupai klimaks sebuah sinetron. Bagaimana tidak? Pada 17 hingga 19 Oktober 2009, Yudhoyono menyelenggarakan “audisi calon menteri” di kediamannya, di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Pada 20 Oktober 2009, Yudhoyono dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi presiden RI untuk periode 2009-2014. Esok harinya pada 21 Oktober 2009, Yudhoyono mengumumkan nama-nama menteri dan pejabat setingkat menteri yang tercakup ke dalam susunan KIB II. Pada 22 Oktober 2009, Yudhoyono melantik menteri dan pejabat setingkat menteri KIB II. Dan pada 23 Oktober 2009, seluruh figur yang dilantik sehari sebelumnya menjadi peserta sidang kabinet paripurna untuk pertama kalinya. Dari serangkaian peristiwa itu, sosok Yudhoyono mewarnai headline dan breaking news media massa nasional. Dari sejak tanggal 17 hingga 23 Oktober sosok Yudhoyono telah menjadi fokus pemberitaan media massa. Apa yang bisa dikatakan dari semua itu jika bukan pencitraan?

Narasi Pencitraan

Dengan mengambil tempat di Gedung Sekretariat Negara, sidang kabinet paripurna itu dilakukan secara terbuka untuk diliput media massa. Semuanya berjalan by designed. Di sini Yudhoyono melontarkan pesan kepada dua tingkatan audiens. Para menteri dan pejabat setingkat menteri yang hadir dalam sidang kabinet paripurna itu adalah audiens yang secara langsung bertatap muka dengan Yudhoyono. Sementara, publik di luar garis demarkasi Gedung Sekretariat Negara dan tersebar di seantero Nusantara adalah audiens berikutnya yang lebih bercorak imajiner. Sungguh pun memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas di hadapan para menteri, Yudhoyono sesungguhnya hendak berbicara tentang kehebatan dirinya kepada publik luas di seluruh Indonesia. Sangat mungkin sesungguhnya jika sidang kabinet paripurna itu dilakukan secara tertutup. Tapi, demi pencitraan, opsi ini tidak ia ambil.

Dari sini kemudian tercipta narasi pencitraan. Selama kurang lebih satu setengah jam, Yudhoyono mempertontonkan kepada publik bahwa ia tengah memperkenalkan kepada para menteri realitas dan spektrum pemerintahan yang ia pimpin. Simak baik-baik, bagaimana para menteri begitu antusias mencatat segenap hal ihwal yang diucapkan Yudhoyono dalam sidang kabinet paripurna itu. Sayangnya, narasi pencitraan Yudhoyono tak memiliki kandungan makna yang secara fundamental dapat dijadikan landasan pijak untuk mereformulasi hubungan masyarakat dan pemerintah. Sementara, hubungan masyarakat dan pemerintahan itu merupakan relasi antara mangsa dan pemangsa. Narasi pencitraan Yudhoyono tak membuka harapan menuju berakhirnya orientasi pemerintahan sebagai predator terhadap masyarakat.

Ketika Yudhoyono menyinggung tentang kode etik berperilaku kalangan menteri, sesuatu yang ditekankan ialah tak diperkenankannya meteri saling menyerang dan mendiskreditkan satu sama lain. Pembicaraan di kabinet pada umumnya, kata Yudhoyono, berklasifikasi rahasia dan terbatas. Pertentangan atau perbedaan pendapat dalam kabinet tidak boleh ditampilkan kepada publik. Yudhoyono juga berbicara tentang prosedur permitaan izin kepada presiden jika seorang menteri hendak melaksanakan berbagai kegiatan di luar negeri. Narasi pencitraan yang semacam ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang aneh bin ajaib. Secara substansial, Yudhoyono hanyalah berbicara tentang kaidah-kaidah yang mendasari hubungan dirinya sebagai presiden dengan para menteri. Apa urgensi pembicaraan semacam ini dengan masyarakat luas? Bukankah ini urusan internal KIB II dan semuanya bersangkut paut dengan prosedur dan mekanisme kerja kabinet? Mengapa pembicaraan tentang hal ini tak dilakukan tertutup saja, tanpa liputan pers? Bukankah semua itu urusan Anda sendiri Tuan Presiden dengan para menteri yang Anda pimpin?

Pada titik inilah kita menyaksikan secara terang-benderang, betapa ambisi untuk melakukan pencitraan merupakan satu hal dan narasi dalam proses pencitraan merupakan hal lain. Di sini kita menemukan sesuatu yang perlu diucapkan presiden di hadapan para menteri tetapi sama sekali tidak perlu diucapkan presiden di hadapan publik. Sejauh presiden tak mampu menghentikan gerak sentrifugal pemerintahan sebagai predator terhadap masyarakat, maka sejauh itu pula pembeberan tentang kode etik perilaku para menteri tidaklah bermakna apa-apa bagi masyarakat.

Janji Pemerintahan

Dalam sidang kabinet paripurna itu, rangkaian lain dari pencitraan tercermin pada munculnya pembicaraan tentang target pemerintahan. Dalam konteks ini, Yudhoyono berbicara tentang ancangan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% atau lebih pada akhir periode KIB II tahun 2014. Yudhoyono juga berbicara tentang program reduksi angka kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja demi mengurangi pengangguran. Semunya dibahasakan dengan kalimat “harus berjalan efektif”. Bersamaan dengan itu, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi diprioritaskan. Yudhoyono juga memberikan penekanan akan arti penting pembangunan inklusif dan berkeadilan antarsektor dan antardaerah. Pada titik persoalan itu, good governance, sekali lagi, dikedepankan sebagai prinsip yang dipandang relevan. Dengan demikian berarti, tak terelakkan kelanjutan reformasi birokrasi. Jika pada sektor pendidikan mendesak diberlakukan reformasi pendidikan tahap kedua, dalam bidang kesehatan sudah tiba saatnya melaksanakan reformasi tahap pertama.

Yudhoyono pun memandang penting berbicara tentang tagline atau semboyan pemerintahan yang dinarasikan ke dalam Bahasa Inggris. Yudhoyono lalu sibuk menjelaskan arti tiga tagline ke hadapan para menteri. Tagline pertama adalah ”Change and Continuity”. Sebagian program KIB I periode 2004-2009 perlu dilanjutkan sejauh masih relevan. Namun juga dibutuhkan perubahan dan perbaikan jika program KIB I tak mencapai sasaran. Tagline kedua adalah ”De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement”. Dalam konteks ini Yudhoyono berbicara tentang ”kemacetan” dalam berbagai bidang, seperti tata ruang dan perizinan. Jalan keluar mesti dicari sebagai bagian dari upaya menguraikan hambatan. Percepatan diarahkan untuk meringkas proses yang bertele-tele. Tagline ketiga adalah ”Unity, Together We Can”. Di sini Yudhoyono berbicara tentang sinergi antar-menteri dalam KIB II.

Sebagai tindakan komunikasi, semua itu merupakan pengucapan presiden di hadapan para menteri. Hanya saja, sasaran sesungguhnya dari tindakan komunikasi itu adalah khalayak luas. Masalahnya pada level substansi, dalam komunikasi itu hanya terkandung janji pemerintahan. Aneh bin ajaib, melalui sidang kabinet paripurna itu Yudhoyono kembali melakukan aksi kampanye. Agaknya, Yudhoyono tak yakin kalau dirinya menjabat presiden. Yudhoyono masih sibuk meletupkan pencitraan. Bahkan, pencitraan di hadapan menteri.[]

Jakarta, 25 Oktober 2009.

Tidak ada komentar: