Senin, 07 April 2008

Memahami Kehendak Gus Dur

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Kemelut dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), akhirnya, berada dalam fase yang kian rumit setelah Muhaimin Iskandar mengumandangkan perlawanan terhadap Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Muhaimin Iskandar adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB. Sedangkan Gus Dur, Ketua Dewan Syuro PKB. Gus Dur yang menghendaki Muhaimin mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB justru mendapatkan respons bernuansa konfliktual. Muhaimin menolak permintaan mundur itu. “Setelah melakukan perenungan yang mendalam”, begitu ucap Muhaimin, “saya temukan, permintaan pengunduran diri saya tidak tepat dan tak sesuai. Saya tidak akan mengundurkan diri. Saya tetap sebagai ketua umum hingga 2010” (Media Indonesia, 5 April 2008, hlm. 2). Maka, tak bisa tidak, genderang perang Gus Dur versus Muhaimin—atau paman melawan keponakan—benar-benar telah ditabuh. Di hadapan pendukungnya, dengan gegap gempita Muhaimin menyatakan penolakan permintaan agar dirinya mudur sebagai Ketua Umum DPP PKB.

Konflik Gus Dur versus Muhaimin, sebagaimana diketahui, bermula dari rapat pleno gabungan antara DPP PKB dan Dewan Syuro, pada Rabu tengah malam, 26 Maret 2008. Seakan di luar skenario setelah membicarakan berbagai hal, dalam rapat pleno itu lalu terlontar permintaan agar Muhaimin mengundurkan diri. Spekulasi yang bergulir di kalangan media massa menegaskan satu hal, bahwa Gus Dur sendiri yang melontarkan keniscayaan dalam rapat pleno itu agar Muhaimin mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB. Dua alasan yang dikemukakan bersangkut paut dengan negasi terhadap keberadaan Gus Dur di PKB. Pertama, Muhaimin dinilai ambisius untuk tampil sebagai calon wakil presiden dari PKB dalam Pilpres 2009. Padahal, Gus Dur telah menetapkan rencana untuk tampil sebagai kandidat presiden dalam Pemilu 2009. Logikanya, tak boleh ada calon wakil presiden dari PKB, mengingat PKB telah lebih dulu menetapkan Gus Dur sebagai calon presiden. Kedua, muncul rumor politik, bahwa Muhaimin tengah melakukan manuver untuk menggusur Gus Dur dari posisi Ketua Dewan Syuro PKB. Seperti kemudian terekspresikan ke dalam pemberitaan media massa, Muhaimin digambarkan telah datang ke banyak daerah untuk memperkukuh dukungan para kiai demi menggusur Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro.

Dua hal inilah yang menjadi latar belakang paling penting munculnya tiga opsi dalam rapat pleno 26 Maret 2008, yaitu: (1) Muhaimin mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB, (2) Muhaimin dipecat sebagai Ketua Umum DPP PKB, dan (3) menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB) untuk mengganti Muhaimin. Voting tertutub yang melibatkan 30 orang peserta rapat pleno kemudian menghasilkan 20 suara mengharuskan Muhaimin mundur sebagai Ketua Umum DPP PKB, 8 suara menghendaki MLB dan 2 suara abstain. Dengan demikian, mayoritas peserta pada rapat pleno menghendaki Muhaimin legowo meninggalkan kursi Ketua Umum DPP PKB.Tentu saja, Muhaimin membantah semua tudingan itu. Celakanya, Gus Dur telanjur percaya pada informasi tentang rivalitas yang tengah dikobarkan Muhaimin Iskandar. Pernyataan pers Gus Dur yang terlontar pada pasca-rapat pleno 26 Maret 2008 justru merupakan penegasan secara repetitif agar Muhaimin benar-benar mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB. Kalau tidak, ia akan dimundurkan paksa. Realisme inilah yang kemudian memancing timbulnya berbagai komentar di seputar personalisasi PKB ke dalam diri seorang Gus Dur. Editorial media massa pun lalu terkesan berpihak pada Muhaimin.

Melalui editorialnya edisi 31 Maret 2008 berjudul “Mendinginkan PKB”, Seputar Indonesia bahkan terkesan mengedepankan sebuah appeal politik demi membela Muhaimin yang “teraniaya”. Terlebih dahulu, surat kabar ini berbicara tentang posisi PKB dalam percaturan politik Indonesia kontemporer. Hampir tak ada partai yang meremehkan kekuatan dan pengaruh PKB untuk keperluan kompetisi politik seperti halnya Pilkada langsung. Itulah mengapa, ada keniscayaan agar PKB mampu mempertahankan kebesarannya. Caranya, rawat soliditas di tingkat internal. Idealitas ini, ternyata, bertubrukan dengan realitas PKB yang terpilin dari konflik ke konflik. Secara sangat mencolok, energi PKB terkuras untuk meredam konflik-konflik internal. Paradoks yang lantas terkuak ialah, di satu sisi, Gus Dur merupakan kekuatan dalam tubuh PKB. Tapi di lain sisi, terlampau seringnya konflik justru mengharuskan PKB tumbuh dewasa tanpa bergantung pada sosok Gus Dur.

Dengan aura untuk memberikan appeal politik kepada Muhaimin Iskandar, editorial Seputar Indonesia lalu menampilkan narasi kalimat seperti ini. “Sebenarnya akan lebih tepat bila konsentrasi PKB saat ini memantapkan kader-kader muda dalam berpolitik agar bisa lebih matang, luwes, arif dan penuh strategi. Kita percaya, percaturan politik menuju 2009 lebih sulit dan kompleks, sehingga memerlukan kader-kader PKB yang piawai dalam memahami pertarungan politik yang sangat keras.” Editorial Seputar Indonesia juga menampilkan narasi seperti ini: “Mengapa Muhaimin (yang memiliki hubungan historis cukup dekat dengan Gus Dur dan dikenal sebagai kader muda yang santun) harus disingkirkan dari lingkaran inti PKB. Seharusnya Muhaimin yang justru dijadikan sebagai salah satu kekuatan yang bisa diajak membangun partai menjadi lebih besar.”

Pada pelataran lain, konflik internal PKB telah ditafsirkan secara luas sebagai persoalan yang bakal merembes ke parlemen. Di samping menjabat Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar juga Wakil Ketua DPR-RI. Jika posisinya di PKB digugat, muncul pertanyaan besar: Mungkinkah perkara ini berdampak ke parlemen melalui pencopotan Muhaimin sebagai Wakil Ketua DPR. Kegundahan akan hal ini tercermin secara sangat kuat ke dalam editorial Media Indonesia (5 April 2008) bertajuk “Konflik Partai Vs Fraksi”. Jika melibatkan elite tertinggi partai, konflik pun berkembang kian rumit menjadi masalah institusi. Dalam bahasa Media Indonesia, “Fraksi terbelah dalam keping-keping seirama dengan polarisasi yang ada di partai.” Langsung maupun tak langsung, substansi editorial ini memberikan sokongan moral kepada Muhaimin Iskandar. Hanya saja, bagaimana kisruh di PKB itu dimengerti hakikatnya?

Sulit dibantah kenyataan, PKB sesungguhnya milik Gus Dur. Setting maupun pergumulan politik PKB ke depan, sepenuhnya dideterminasi oleh apa kata Gus Dur. Pada lingkungan DPP PKB berlaku aksioma, bahwa penentangan terhadap kehendak Gus Dur sama dan sebangun maknanya dengan penentangan terhadap PKB. Mengingat PKB diperlakukan sebagaimana layaknya perusahaan keluarga, sesungguhnya tak relevan berbicara tentang pembangunan sistem dan kecanggihan manajemen dalam tubuh PKB. Benar seperti dikatakan analis politik Fachri Ali, PKB hanya membutuhkan kader yang sejalan dengan Gus Dur. Sebagai imbangannya, kader semacam itu bakal mendapatkan ketenaran dan nama besar di jagat politik. Menjadi kader PKB adalah memahami kehendak Gus Dur. Gitu aja kok repot.[]

1 komentar:

thegoeh mengatakan...

ass...
sy setuju sekarang saatnya yang muda memimpin! yang udah uzur (gus dur) mah mendingan berdo'a agar akhir hidupnya dengan baik.
bahasa gaulnya "hari gini masih inget gus dur...capek dech.."
wass..