Kamis, 17 April 2008

Panggilan Mengelola Negara
Mencari Sebab Fundamental Pencurian Aset Negara

Oleh Anwari WMK

Bagaimana menakar derajat nasionalisme pejabat negara? Masihkah nasionalisme berdentam-dentum dalam ruang batin dan kesadaran pejabat negara? Jawab atas pertanyaan ini memiliki kaitan konteks dengan tingkat penghayatan terhadap apa yang disebut “panggilan mengelola negara”. Tak bisa dipungkiri, pejabat negara merupakan eksponen paling penting terpenuhinya panggilan mengelola negara. Dibandingkan dengan umumnya warga negara, pejabat negara adalah figur yang sengaja membawa dirinya pada altar pengorbanan pengelolaan negara. Itulah mengapa, ada beberapa diktum yang mendasari artikulasi peran pejabat negara.

Pertama, para pejabat negara tak bisa disejajarkan dengan kaum profesional yang berkiprah dalam sebuah korporasi bisnis. Sungguh pun menjadi fundamen bagi pengejawantahan peran pejabat negara, profesionalisme di kalangan pejabat negara tak boleh menegasikan segenap hakikat yang termaktub ke dalam “panggilan mengelola negara”. Kedua, Pejabat negara memiliki perbedaan orientasi dibandingkan dengan pejabat korporasi bisnis. Jika pejabat negara melakukan sesuatu yang benar, pejabat korporasi melakukan sesuatu dengan benar. Ketiga, pejabat negara memahami pekerjaannya sebagai panggilan. Sementara, pejabat dalam korporasi bisnis memahami pekerjaannya sebagai karir. Keempat, pejabat negara berada dalam posisi sebagai leader, pejabat korporasi bisnis berada dalam posisi sebagai manager. Kelima, pejabat negara memiliki kewajiban moral untuk hidup sederhana. Pejabat korporasi bisnis, tak memiliki kewajiban moral untuk hidup sederhana. Keenam, pejabat negara niscaya memenuhi harapan orang banyak, pejabat korporasi bisnis niscaya memenuhi harapannya sendiri sejalan dengan arah perjalanan korporasi.

Terus terang, diktum panggilan mengelola negara semacam itu kini berada dalam satu titik penggerusan yang luar biasa dahsyatnya. Pengelolaan negara di Indonesia semakin jauh diwarnai oleh kehadiran kaum hedonis. Hidup sederhana tak lagi dijunjung tinggi sebagai spirit dalam totalitas hidup pejabat negara. Bukan saja kemudian pejabat negara begitu narsistis dengan aneka ragam pencitraan. Lebih dari itu, hedonisme yang berkecamuk dalam kesadaran pejabat negara justru melahirkan watak anti-kerakyatan. Implikasi yang ditimbulkan oleh kenyataan ini sungguh luar biasa mengerikan.

Hilang dan beralihnya aset negara menjadi milik peribadi atau privat kini disadari sebagai persoalan super-kompleks. Padahal, aset yang hilang atau beralih kepemilikan itu tidaklah kecil jumlahnya. Penggunaan dana konsentrasi untuk pengadaan aset negara, ternyata nilainya ratusan triliun rupiah. Sayangnya, lagi-lagi, aset-aset negara yang dibeli melalui dana dekonsentrasi hilang tak jelas rimbanya, entah ke mana. Baik dalam laporan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tak ada catatan yang jelas dan kongkret di mana aset negara berada. Semua ini bekelindan dengan kian jauhnya pejabat negara dari panggilan mengelola negara.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dana dekonsentrasi yang dialirkan pemerintah pusat ke daerah setiap tahunnya berada pada kisaran Rp 200 triliun. Sebagian dari dana dekonsentrasi itu diubah menjadi bentuk fisik, dan sebagian lain nonfisik. KPK hanya meneropong secara terbatas di mana aset-aset fisik itu. Tragisnya, Dirjen Kekayaan dan Perbendaharaan Negara, Departemen Keuangan, hingga 2008 tak memiliki daftar inventarisasi aset secara menyeluruh. Padahal, sekitar 45% kekayaan negara berupa aset fisik.

Semakin besar aset negara yang tak bertuan, semakin besar pula kekayaan negara yang tergerus. Tak bisa tidak, kita lalu dipaksa membuka borok di seputar punahnya spirit nasionalisme dalam diri pejabat negara. Tiga rumah dinas milik Departemen Pekerjaan Umum (PU) yang berlokasi di kawasan elite Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya, beralih kepemilikan ke tangan mantan menteri dan mantan pejabat tinggi PU. Caranya, status rumah diubah, dari golongan I menjadi golongan III. Dengan statusnya yang baru, maka, di atas kertas, rumah dinyatakan sebagai barang rongsokan tak berharga. Pengalihan aset pun berjalan mulus. Pada fase kian tak terbendung, pengalihan aset negara sama dan sebangun maknanya dengan pencurian aset negara.

Opini publik yang menyorot persoalan ini fokus pada upaya penelusuran sebab-sebab fundamental terjadinya pencurian aset negara. Dari sini lantas muncul kesimpulan, bahwa kelemahan administrasi merupakan sebab fundamental berlangsungnya pencurian aset negara. Solusi yang ditawarkan pun tertuju pada upaya seksama pembenahan administrasi.

Kesimpulan ini penting, tapi jelas tak memadai. Sebab, kelemahan administrasi hanyalah sebab sekunder timbulnya gelombang pencurian aset negara. Sebab primer yang jauh lebih fundamental adalah hilangnya spirit “panggilan mengelola negara”. Indonesia pada abad XXI ditandai oleh kehadiran pejabat yang memandang negara semata sebagai sumber kekayaan yang dapat dikeruk kapan saja. Dengan nada getir harus dikatakan, generasi pengelola negara kini tak memiliki pemahaman akan misi profetik yang bersenyawa ke dalam panggilan mengelola negara. Maka, pencurian aset-aset negara bakal terus bergulir hingga ke masa depan.

Tidak ada komentar: