Rabu, 16 April 2008

Keuangan Pemerintah Daerah
Menunggu Lonceng Kematian Negara Purba

Oleh Anwari WMK

Pada semester II tahun anggaran 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap 97 Lembaga Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Hasilnya, BPK memberikan opini tidak wajar terhadap sembilan LKPD. Apa yang berhasil dikuak BPK adalah ketidakwajaran laporan keuangan pada sembilan LKPD. Opini BPK dalam kategori wajar dengan pengecualian (WDP) diberikan kepada 44 LKPD. Sedangkan terhadap 44 LKPD lainnya BPK tak memberikan opini (disclaimer). Di luar itu semua masih ada enam LKPD yang belum menyerahkan laporan ke BPK, yaitu:

[] 1 LKPD Kabupaten di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
[] 1 LKPD Kabupaten di Provinsi Maluku Utara
[] 3 LKPD Kabupaten di Provinsi Papua
[] 1 LKPD Kabupaten di Provinsi papua Barat

Sasaran audit BPK itu sendiri adalah tahun anggaran 2006. Sementara pelaksanaan auditnya berlangsung selama semester II/2007. Temuan signifikan yang penting dicatatan sebagai persoalan adalah:

[] 267 Temuan yang mengindikasikan adanya kerugian negara sebesar Rp 420,1 miliar
[] 158 Temuan yang mengindikasikan kurangnya penerimaan negara hingga mencapai Rp 249,79 miliar
[] 733 Temuan bersifat administratif sebesar Rp 20,12 triliun
[] 193 Temuan berupa pemborosan anggaran sebesar Rp 459,27 miliar
[] 214 Temuan berupa penggunaan anggaran tak sesuai tujuan sebesar Rp 2,10 triliun.

Informasi tentang hal ini termaktub ke dalam pidato sambutan Ketua BPK Anwar Nasution, saat BPK menyerahkan hasil pemeriksaan semester II/2007 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna, 10 April 2008. Bagaimana memahami fakta-fakta itu? Anwar Nasution menjawab pertanyaan tersebut. “Dari opini tersebut,” kata guru besar FE-UI itu, “dapat diketahui bahwa masih banyak pemerintah daerah, sekitar 27,8%, yang masih belum tertib dalam pengelolaan dan penyajian atau kewajaran laporan keuangannya.”

Ketika semangat zaman baru yang kini hadir membawa serta desentralisasi politik, pemerintah daerah sepenuhnya mandiri dalam hal pengelolaan bidang keuangan. Bahkan, pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah berpijak pada prinsip “bebas” dan “independen”. Inilah yang secara populer kemudian dikenal sebagai “era otonomi daerah”. Tapi realisme ini sekaligus pertaruhan yang sama sekali tak sederhana. Kemandirian, kebebasan dan independensi pengelolaan keuangan itu justru berada dalam atmosfer perkembangan demokrasi. Itulah mengapa, keleluasaan pemerintahan daerah mengelola keuangan niscaya untuk sungguh-sungguh bertakzim pada segenap kelaziman dalam konteks public finance.

Desentralisasi politik dalam kaitan makna dengan demokrasi justru melahirkan paradigma baru dalam hal menakar keberhasilan pengelolaan bidang keuangan pemerintah daerah. Sebelum datangnya musim semi demokrasi, keuangan pemerintah daerah cenderung tak memiliki tingkat kemanfaatan secara signifikan bagi kehidupan masyarakat lokal. Namun bersamaan dengan hadirnya musim semi demokrasi, keuangan pemerintah daerah harus dikelola berdasarkan imperatif: (1) perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan umum, (2) pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya spillovers pada perekonomian masyarakat di tingkat lokal.

Apa yang bisa digarisbawahi dari logika ini bisa disimak pada contoh kasus kerusakan lingkungan akibat tingginya intensitas dan atau akselerasi industrialisasi di beberapa daerah. Jika satu sektor perekonomian beroperasi dengan mencetuskan kerusakan lingkungan, maka bagi sektor perekonomian yang lain kerusakan lingkungan hanya memperbesar beban eksternalitas. Pemerintah daerah harus turun tangan mengatasi masalah ini. Baik adaptasi maupun mitigasi yang disusun mengatasi kerusakan lingkungan itu tercakup ke dalam public finance di bawah pengelolaan pemerintah daerah. Inilah yang disebut David Ricardo (1772-1823) sebagai upaya penanggulangan aksiden melalui efektivitas pemanfaatan public finance.

Berbagai temuan yang mengindikasikan berkecamuknya bad governance dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah merupakan bukti betapa negara dalam realitas daerah dikelola berlandaskan cara yang teramat purba. Artinya, negeri ini belum juga modern, sekali pun berlagak sok modern. Pembeberan BPK berkenaan dengan buruknya tata kelola keuangan di jajaran pemerintah daerah jelas bukanlah laporan pertama dan juga bukan yang terakhir. Maka, kita kini tengah menunggu lonceng kematian negara purba di daerah.

Tidak ada komentar: