Selasa, 08 April 2008

Nasionalisme sebagai Modal Sosial
Mengapa Pergeseran Besar Dikelola Figur Berpikiran Kerdil?

Oleh Anwari WMK

Nasionalisme merupakan gejala modern. Pada mulanya, ia muncul sebagai reaksi terhadap ketercabikan negara bangsa (nation-state). Sementara, ketercabikan negara-bangsa itu mengambil titik tolak dari banyak aspek dan dimensi. Nasionalisme lalu tampil ke depan sebagai suatu bentuk cara pandang yang dianggap relevan demi mengatasi ancaman dan terapi ketercabikan negara bangsa. Di samping karena bersimaharajalelanya imperialisme dan kolonialisme, nasionalisme di negara-negara berkembang distimuli kehadirannya oleh keterpecahan wilayah, sistem politik dan compang-campingnya sistem ekonomi. Pada fase selanjutnya, nasionalisme dibutuhkan untuk mengatasi keterbelahan dan keterpecahan kultural. Bangsa yang terancam kehilangan jati dirinya lantaran terseret ke dalam kancah pergumulan ekonomi dan industri antar-bangsa khas abad XXI, misalnya, niscaya membutuhkan nasionalisme.

Manakala bertakzim pada kategori historisitas, nasionalisme bersemanyam ke dalam dinamika Eropa abad XVIII. Dari Benua Eropa itu, nasionalisme sebagai sistem kesadaran menyebar ke berbagai penjuru dunia. Nasionalisme lalu menelusup masuk ke dalam ranah kesadaran universal umat manusia. Terutama pada abad XIX, terjadi penyebarluasan secara eksesif akan hakikat, logika dan makna nasionalisme. Abad XIX, tak bisa tidak, ditengarai sebagai “abad nasionalisme”. Berdasarkan kategori historisitas inilah nasionalisme dengan mudahnya diturunkan derajatnya untuk sekadar dimengerti sebagai kesadaran purba pada setting abad XXI kini. Hanya saja, benarkah nasionalisme merupakan agenda lama kemanusiaan universal?

Berbagai problema pada ranah negara dan masyarakat di Indonesia kini mulai dicari kaitannya dengan nasionalisme. Ini, tentu saja, mengingatkan kita pada sesuatu yang memilukan tentang pasang surut kesadaran akan nasionalisme. Ketika baru saja mengumandangkan kemerdekaannya, nasionalisme sedemikian rupa mengemuka di Indonesia sebagai basis terbentuknya apa yang oleh Bung Karno dibahasakan sebagai nation and character building. Masalahnya, hipokritas yang mengharu-biru kekuasaan politik di kelak kemudian hari, justru membuat nyinyir segenap pembicaraan tentang nasionalisme. Bagaimana mungkin nasionalisme dibicarakan oleh rezim-rezim kekuasaan, sementara bangunan rezim kekuasaan itu sendiri berlandaskan pada nepotisme, kolusi dan korupsi. Pidato elite-elite politik tentang kecintaan terhadap bangsa, lalu tak lebih hanyalah pembicaraan yang kehilangan sukma kesejatian nasionalisme.

Dalam perubahan-perubahan besar yang bergulir sejak era pasca-Orde Baru, kita menyaksikan betapa politik dan perekonomian bangsa ini berevolusi menjadi ajang berlangsungnya aksi-reaksi secara sangat telanjang. Politik dan perekonomian bangsa ini semakin terperosok jauh ke “lembah hitam” vested interest. Politik semakin kelam dipenuhi oleh para monster pemburu kekuasaan, ekonomi kian dideterminasi oleh terlampau banyaknya “mahluk” pemburu rente (rent-seekers). Maka, patronase dan primordialisme kian menemukan dataran pijak dalam kancah politik. Sementara pada lapangan ekonomi, political capitalism kian memperteguh gejala kapitalisme semu. Politik dan ekonomi lalu mengkristal sebagai realisme yang memuakkan. Pergeseran-pergeseran besar pada era pasca-Orde Baru, tragisnya, dikelola oleh figur-figur berpikiran kerdil. The great transformation, apa boleh buat, tak dibarengi oleh munculnya the great transformers.

Situasi inilah yang mendorong ke depan nasionalisme menjadi sebuah cara pandang yang kian relevan. Bahkan, nasionalisme mulai ditafsirkan sebagai modal sosial yang sangat penting bagi bangsa ini. Pluralisme dan solidaritas sosial merupakan sesuatu yang azali bergerak di bawah sadar bangsa Indonesia. Bahkan, kesejatian manusia Indonesia dikait-hubungkan dengan pluralisme dan solidaritas sosial itu. Sayangnya, aksi-reaksi dalam kancah politik dan perekonomian kontemporer meluluh-lantakkan spirit pluralisme dan solidaritas sosial itu. Dengan itikad untuk tak melakukan tipu daya terhadap masyarakat, peneguhan kembali nasionalisme merupakan salah satu jalan keluar yang paling relevan mengatasi tergerusnya spirit pluralisme dan solidaritas sosial. Pada titik inilah nasionalisme benar-benar berfungsi sebagai modal sosial.[]

Tidak ada komentar: