Selasa, 08 April 2008

Intervensi Negara dalam Perekonomian
Keniscayaan Baru Mengubah Format Kapitalisme

Oleh Anwari WMK

Dalam situasi kian terang benderangnya resesi ekonomi global, muncul himbauan dari Dana Moneter Internasional (IMF) agar negara melakukan intervensi terhadap perekonomian masyarakat. Bahkan, untuk situasi serba tak menentu kini, intervensi negara itu digambarkan dengan kalimat “sangat penting untuk publik”. IMF menyajikan suatu gambaran, Amerika Serikat kini benar-benar tengah memasuki fase resesi ekonomi. Pada dua kuartal pertama 2008, tak bisa tidak, perekonomian Amerika Serikat terbentur masalah rumit pertumbuhan negatif. Bahkan, IMF telah menganulir proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 4,1%. Tak ada jalan keluar yang dianggap logis mengatasi semua perkara ini, selain kembali pada intervensi negara terhadap perekonomian masyarakat.

Setali tiga uang dengan kengerian yang dilansir IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB) berbicara tentang perjalanan ke depan yang suram. Pertumbuhan ekonomi Asia selama 2008, menurut ADB, berada dalam kisaran 7,6%. Ini bukan prestasi yang cukup bagus bila dibandingkan dengan prognasa ekonomi 2009. Pada 2009, pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan mencapai 7,8%. Dengan demikian, situasi 2008 tidak lebih baik dibandingkan dengan 2009. Pertanyaannya kritikalnya kemudian, bagaimana memahami hakikat intervensi negara dalam perekonomian masyarakat itu? Apa yang sejatinya dilakukan negara?

Baik IMF maupun ADB, ternyata, sama-sama menggunakan cara pandang yang bersifat generik saat berbicara tentang perlunya intervensi negara dalam perekonomian masyarakat. Dua lembaga supra-negara ini hanya melihat realitas yang berkecamuk dalam perekonomian Negeri Paman Sam sebagai ontologi persoalan yang bermuara pada lahirnya tesis pentingnya intervensi negara. Alasan atau argumentasi lain tak ikut serta dipertimbangkan sebagai latar belakang. Bagaimana semua ini dijelaskan?

Pertama, dunia kini tengah berhadapan dengan dua persoalan kembar, yaitu krisis energi dan krisis pangan. Sebab paling fundamental timbulnya persoalan kembar ini adalah terjadinya pergeseran dalam bisnis spekulatif. Akibat tak adanya pengaturan secara prudent sejak dekade 1980-an, maka pasar uang dan pasar modal di Amerika Serikat mengalami kekacauan. Kaum spekulan penggerak speculative capitalism lalu mengalihkan fokus perhatiannya. Spekulasi yang semula tertuju pada surat-surat saham, beralih ke komoditas. Maka, minyak bumi dan pangan di pasar global, simsalabim, disulap untuk berubah status menjadi komoditas yang dipertaruhkan dalam ajang bisnis spekulasi global.

Kedua, masyarakat pada banyak negara di dunia diperhadapkan dengan tantangan besar pengelolaan energi dan pangan. Harga minyak bumi, misalnya, hampir mustahil kini berada pada kisaran di bawah US$ 95 per barrel. Bahkan, kecenderungannya, harga minyak bumi itu bertengger pada angka di atas US$ 100 per barrel. Sementara, beras, jagung, kedelai dan terigu merupakan komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga di pasar dunia seiring dengan kenaikan harga minyak di pasar dunia. Maka, cilaka dua belas jika ternyata suatu negara bergantung pada impor minyak dan pangan untuk dapat mempertahankan eksistensinya.

Bagaimana jalan keluarnya? Intevensi negara takkan sepenuhnya mampu mengatasi aneka perkara yang dikemukakan di atas. Apalagi jika berada di bawah hegemoni kaum koruptor, maka intervensi negara malah memporak-porandakan perekonomian masyarakat. Hal mendasar yang dibutuhkan kini adalah perubahan format kapitalisme. Kapitalisme spekulatif (speculative capitalism) kini sama tidak relevannya dengan kapitalisme tradisional (traditional capitalism) dan kapitalisme politikal (political capitalism). Peradaban global kini membutuhkan kapitalisme rasional (rational capitalism). Persis seperti pernah dinubuahkan Max Weber (1864-1920), rational capitalism ini bertakzim dan menjujung tinggi etika sosial. Dunia kini butuh rational capitalism. Sesuatu yang tak disinggung oleh IMF dan ADB. Sayang.[]

Tidak ada komentar: