Rabu, 23 April 2008

Beras dan Kepemimpinan Nasional

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah, ternyata menimbulkan impak yang sama sekali tak sederhana. Ketika hadir dalam perhelatan panen perdana padi varietas baru SuperToy HL-2 di Desa Grabag, 20 kilometer selatan Purworejo, Jawa Tengah pada 17 April 2008, Presiden SBY terlanjur menebar janji, bahwa HPP bakal segera dinaikkan. Disimak sepintas lalu, janji ini memiliki makna signifikan dalam kaitan konteks dengan prospek peningkatan kesejahteraan petani padi. Tak tanggung-tanggung, kenaikan HPP diskenariokan berada di atas besaran inflasi 2007 (6,59%). Bahkan, presiden terkesan heroik tatkala melontarkan janjinya di hadapan petani Purworejo itu. Bisa dimengerti pada akhirnya mengapa janji kenaikan HPP lantas mengkristal sebagai susbtansi headline berita tulis dan berita foto di media cetak (lihat Kompas, 18 April 2008, hlm. 1, 15).

Tetapi realisme baru yang muncul sebagai resultante dari terlontarnya janji itu ialah pembelian beras dalam jumlah lebih besar di tingkat pedagang. Beras yang ditumpuk pedagang ini nantinya dilepas setelah benar-benar diberlakukan HPP baru. Tanpa bisa dielakkan ada semacam potential profit yang berkecamuk dalam benak kesadaran kaum pedagang. Kalkulasi mendapatkan keuntungan, bergerak dalam hitungan mundur hingga munculnya HPP baru. Pada tataran lain, mitra usaha Badan Urusan Logistik (Bulog) atau para pemasok beras ke Bulog menunda penjualan beras mereka. Seperti halnya pedagang beras pada umumnya, mitra Bulog menunggu implementasi HPP baru. Dampak yang dengan segera bisa dirasakan ialah pengadaan beras oleh Perum Bulog mengalami ketersendatan (Kompas, 22 April 2008, hlm. 1).

Janji kenaikan HPP ini, tentu saja, penting ditelaah secara kritis. Tanpa harus menggunakan kerangka teori yang rumit dan berbelit-belit, janji kenaikan HPP itu dapat dimengerti secara simplistis sebagai wujud kongkret ekonomi politik beras dalam perkembangan mutakhir. Beras, dalam konteks ini, kenaikan harganya bukan terutama didasarkan pada mekanisme pasar bebas, tetapi melalui sebuah keputusan politik yang indispensible. Memang, sebagai instrumen dalam politik perberasan nasional, HPP bukanlah pola baru pembentuk struktur harga. HPP diberlakukan sejak era reformasi menggantikan politik perberasan Orde Baru dengan parameter Harga Dasar Gabah. Dari tahun ke tahun HPP bergerak dinamis untuk berada dalam kisaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Dengan sendirinya, HPP merupakan sesuatu yang usual, biasa, bahkan terlalu biasa.

Tetapi, hal baru dalam kaitan makna dengan HPP dewasa ini adalah ancaman krisis pangan pada banyak negara di dunia. Diorkestrasi oleh kenaikan harga, krisis pangan itu kemudian diidentifikasi sebagai persoalan serius bagi kelanjutan eksistensi banyak bangsa dan negara di dunia. Begitu seriusnya, mingguan terkemuka The Economist (April 19th – 25th 2008) merasa perlu menurunkan laporan utama dengan aura menyeramkan bertajuk “The Silent Tsunami: The Food Crisis and How to Solve It”. Lontaran janji Presiden SBY di Purworejo itu berada dalam atmosfer dan dentuman besar krisis pangan global. Dengan sendirinya, Sang Presiden sesungguhnya berbicara tentang persoalan super sensitif. Maka, secara logis, janji menaikkan HPP beras dan gabah itu seyogyanya dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan matang. Di sinilah persoalannya. Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar lalu berbicara tentang keniscayaan pemerintah untuk dengan segera memberlakukan HPP baru. Artinya, jangan sampai janji terus bergelantung kaku di udara menjadi janji kosong. Jika itu yang terjadi, Bulog diperhadapkan pada persoalan besar ketersendatan pasokan demi memperkuat buffer stock.

Kini, muncul berbagai macam telaah di media massa, bahwa babak akhir pemerintahan SBY-JK diwarnai oleh ancaman krisis pangan (Kompas, 22 April 2008, hlm. 21). Bukan saja kemudian pemerintahan SBY-JK harus trengginas mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga pangan, lebih dari itu juga harus super hati-hati melontarkan persoalan-persoalan pangan dalam sebuah kerangka komunikasi politik. Jika lontaran janji SBY di Purworejo dievaluasi secara kritis, maka janji kenaikan HPP kental diwarnai oleh pencitraan politik.

Pertama, janji kenaikan HPP itu dikedepankan tanpa disertai oleh kejelasan draft instruksi presiden (Inpres). Belum ada konsepsi yang clear and distinct sebagai basis dasar bangunan ekonomi politik harga beras dalam format kenaikan HPP. Kedua, janji kenaikan HPP di Purworejo tak disertai upaya koreksi secara mendasar terhadap “kapitalisme” pupuk dalam wajahnya yang buruk. Padahal, dari sejak zaman Orde Baru hingga kini, kenaikan harga pupuk merupakan kekuatan negasi terhadap kenaikan HPP. Bahkan, struktur harga pupuk merupakan negativitas dalam maknanya yang sangat telanjang terhadap prospek peningkatan harga beras dan gabah. Sayang seribu sayang, sejurus dengan terlontarnya kenaikan HPP, SBY abai akan masalah pupuk. Dengan sedirinya, sulit dibantah munculnya kesimpulan, bahwa janji kenaikan HPP tak lebih dan tak kurang hanyalah pencitraan politik.

Sampai kapan pun, kepemimpinan nasional di Indonesia merupakan kiblat munculnya orientasi baru perekonomian. Baik orientasi baru dalam pengertiannya yang positif maupun dalam maknanya yang negatif, selalu mengambil titik tolak dari komunikasi politik kepemimpinan nasional. Jika kepemimpinan nasional gegabah dalam hal memberikan substansi ke dalam komunikasi politik, maka serta-merta komunikasi politik itu mengundang bangkitnya kaum vested interest untuk dengan segera berlaga memancing di air keruh, meraih kesempatan dalam kesempitan, merebut kecepatan dalam kecepitan. Apa yang dalam permulaan tulisan ini disebut “pedagang beras” dan “pemasok beras” tak bisa tidak merupakan gugusan vested interest yang memburu keberuntungan setelah terlontar janji Presiden berkenaan kenaikan HPP.

Apa yang bisa dimengerti dari semua ini, kenaikan HPP terlebih dahulu diwacanakan. Disimak ke dalam spektrum luas perbaikan nasib kaum tani dan demi menjaga agar jangan terjadi krisis pangan, hal fundamental yang dibutuhkan bukanlah wacana, tetapi sebuah keputusan politik yang decisive. Dengan terlebih dahulu mewacanakan kenaikan HPP, maka Presiden SBY kembali mempertontonkan dirinya sebagai pemimpin nasional yang indecisive. Demi mengelak terhadap kemungkinan timbulnya spekulasi harga, kenaikan HPP sejatinya langsung tertuang ke dalam Inpres. Inilah yang tak segera dilakukan SBY. Janji kenaikan HPP lalu terpilin untuk mencetuskan timbulnya psiko politik perberasan di tingkat nasional.

Melalui Inpres No. 1/2008 tentang Kebijakan Perberasan HPP gabah kering panen di tingkat petani pada akhirnya naik 10% menjadi Rp 2.200 per kilogram, sejak 22 April 2008. Tapi sebelum janji kenaikan HPP dilontarkan pasokan gabah dan beras ke Bulog mencapai 27.000 ton per hari. Setelah terlontar janji kenaikan HPP, pasokan gabah dan beras ke Bulog hanya 6.000 ton per hari.[]

Tidak ada komentar: