Sabtu, 16 Februari 2008

Politik Penuntasan BLBI

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Secara intrinsik, apa yang disebut “skandal BLBI” ialah kewajiban para pengusaha dalam statusnya sebagai obligor mengembalikan uang kepada negara dalam jumlah fantantis. Ini merupakan rentetan logis dari penyelamatan negara berhadapan dengan timbulnya rush secara besar-besaran terhadap perbankan nasional pada pertengahan tahun 1997. Penyelamatan oleh negara itu sendiri berada dalam kerangka lender of the last resort Bank Indonesia sebagai bank sentral, demi menyanggah agar perbankan tak terhempas keruntuhan. Sementara, krisis moneter dan penutupan 16 bank—sesuai ketentuan Letter of Intent Dana Moneter Internasional (IMF)—merupakan sebab paling fundamental terjadinya rush. Hanya saja, uang yang kemudian mutlak dikembalikan kepada negara berada dalam kisaran Rp 702,5 triliun. Rinciannya, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 144,5 triliun, Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebanyak Rp 425,5 triliun, Program Penjaminan berjumlah Rp 73,8 triliun, Dana Talangan Rp 4,9 triliun dan Dana Rekening 502 sebesar Rp 53,8 triliun. Ketidakberesan pengembalian uang negara inilah yang mencuat sebagai problema ekonomi politik selama kurang lebih satu dekade berjalan. Dari sini pula benar-benar bergulir persoalan dengan bandrol “skandal BLBI”. Bukan cuma BLBI sebenarnya cakupan skandal yang menghebohkan itu. Tetapi, untuk lebih mudahnya, disebut “skandal BLBI”. Dan seakan menjadi takdir buruk bagi bangsa ini, perguliran skandal BLBI mempertaruhkan posisi rezim yang tengah berkuasa.

Tanpa bisa dielakkan, pada akhirnya terbentang benang merah persoalan. Bermula sejak era kekuasaan Presiden Soeharto, geneologi masalah BLBI mencuat ke permukaan sejalan dengan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pada 1998. Secara kategoris, BPPN bekerja untuk menyehatkan dunia perbankan, mengembalikan dana negara dan mengelola aset pengusaha yang diambil alih pemerintah. Pada era Presiden BJ Habibie, terbentuk apa yang disebut Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), melalui munculnya tiga model penyelesian. Pertama, diterbitkan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang ditanda tangani oleh, antara lain, obligor Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad dengan nilai total Rp 89,9 trliun. Kedua, diterbitkan Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) yang ditanda tangani oleh, antara lain, obligor Usman Admadjaja (Rp 12,5 triliun), Kaharuddin Ongko (Rp 8,3 triliun), Ho Kiarto dan Ho Kianto (Rp 297,6 miliar). Ketiga, diterbitkan Akta Pengakuan Utang (APU).

Pada era kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid, semakin kentara persoalan “kebijakan penyelesaian obligor BLBI”. Pada kurun waktu ini dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 sebagai pedoman kebijakan bagi pelaksanaan tugas BPPN. Di samping itu, lahir UU No. 25/2000 tentang Propenas yang di dalamnya termaktub pemberian insentif bagi obligor kooperatif dan pinalti bagi obligor nonkooperatif. APU ditandatangani oleh 30 obligor dengan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) sebesar Rp 15,2 triliun. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri terbit Kepres No. 8/2002 yang memberi jaminan kepastian hukum bagi obligor melalui terbitnya Surat Keterangan Lunas (SKL). Obligor penerima SKL dalam konteks ini mencakup, antara lain, Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad. SKL juga diberikan kepada 17 PKPS APU. Dari semua cerita ini tingkat pengembalian JKPS dalam konteks MSAA mencapai Rp 89,9 triliun, MRNIA Rp 23,8 triliun dan APU Rp 15,2 triliun. Dalam kerangka recovery rate, tingkat pengembalian PKPS mencapai Rp 27,1 triliun, MRNIA Rp 2,3 triliun dan APU Rp 5,5 triliun. Sekadar catatan, untuk JKPS saja yang mencapai Rp 128,9 triliun, nilai utang yang tak kembali mencapai Rp 94 triliun dan recovery rate sebesar Rp 34,9 triliun.

Apa yang kemudian penting digarisbawahi lebih lanjut adalah gemuruh skandal BLBI di pemerintahan, parlemen dan di kalangan pengamat ekonomi. Selama kurang lebih satu dekade berjalan, media massa tak pernah sepi dari pemberitaan di seputar tanggung jawab kalangan obligor ke arah penyelesaian kewajiban pengembalian uang kepada negara. Namun seperti juga tak dapat dielakkan, rezim kekuasaan terus-menerus digugat agar sepenuhnya mampu memaksa obligor menuntaskan kewajiban. Begitu seriusnya persoalan ini, obligor dan rezim-rezim kekuasaan pada akhirnya berdiri pada titik episentrum tunggal untuk sama-sama menuai sorotan kritis publik. Bahkan, pembacaan secara seksama terhadap pemberitaan media massa berujung pada kesimpulan yang mengerikan. Bahwa, obligor dan rezim yang tengah berkuasa dikesankan terjerembab ke dalam perselingkuhan untuk secara bersama merengkuh keuntungan. Bukan saja kemudian pergunjingan hadir sebagai sesuatu yang tak terelakkan, lebih dari itu politik penuntasan BLBI tercitrakan ke ruang publik sebagai tawar-menawar kepentingan.

Pada 12 Februari 2008 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar sidang paripurna interpelasi BLBI. Sepuluh pertanyaan DPR kepada Presiden mendasari sidang interpelasi itu. Presiden dalam konteks ini kehadirannya diwakili oleh Menko Perekonomian Boediono, Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Mensesneg Hatta Radjasa, Menkumham Andi Matalatta, Kapolri Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dari sidang interpelasi ini pula lantas tersingkap jati diri obligor yang masuk dalam kategori nonkooperatif. Dalam kerangka MRNIA, obligor nonkooperatif mencakup S. Hartono (Bank Modern) serta Ho Kiarto dan Ho Kianto (Bank Hakindo). Sedangkan dalam kerangka APU, obligor nonkooperatif mencakup Santoso Sumali (Bank Metropolitan), Fadel Muhammad (Bank Intan), Baringin P/Joseph Januardy (Bank Namura-Maduna), Santoso Sumali (Bank Bahari), Trijono Gondokusumo (Bank PSP), Henky Wijaya (Bank Tata), I Made Sudiarta/I Gde Dermawan (Bank Umum Aken) serta David Nusa Wijaya/Tarunodjojo (Bank Servitia).

Sayangnya, fakta ini tak direspons DPR secara cerdas untuk mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan masih ada obligor dalam kategori nonkooperatif. Sidang interpelasi DPR malah ricuh oleh persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak cukup hanya menciptakan hujan interupsi, banyak anggota DPR yang mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke meja pimpinan sidang. Anggota DPR dari F-PKS, Suryama M. Sastra, malah mempelopori walk out sebagai tanda protes terhadap ketidak hadiran Presiden RI. Kata Suryama, Presiden terkesan dengan sengaja mengabaikan kesejajaran kedudukan konstitusional antara pemerintah dan DPR. Maka, kita menyaksikan kericuhan sidang BLBI yang terpampang di layar televisi benar-benar sebagai pukulan balik kalangan parlemen. Aneh bin ajaib, kalangan parlemen memperlihatkan diri sebagai pihak yang tercederai eksistesinya oleh ketidakhadiran presiden. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa DPR tampak lebih mementingkan teknikalitas ketimbang substansi.

Penuntasan skandal BLBI, sampai kapan pun, dideterminasi oleh sikap pemerintah. Tragisnya, pemerintah mengedepankan prinsip out of court settlement menurut skema PKPS, MSAA, MRNIA dan APU. Skema inilah yang lantas mengondisikan skandal BLBI bermetamorfosis menjadi tawar-menawar. Apa yang ditengarai sebagai “politik penuntasan BLBI” merupakan situasi yang memungkinkan rezim-rezim kekuasaan mendapatkan keuntungan dari bekerjanya prinsip out of court settlement. Penyelesaian skandal BLBI, apa boleh buat, pada akhirnya jauh dari kewajaran. Lima obligor dalam skema MSAA, misalnya, hanya membayar 17,3% hingga 55,7% dari total kewajiban yang harus ditunaikan. Obligor yang berutang Rp 52 triliun, ternyata hanya mengembalikan Rp 19 triliun. Obligor lain yang berutang Rp 28 triliun, hanya mengembalikan Rp 4,9 triliun (lihat editorial Republika, 13 Februari 2008). DPR yang diliputi aura korupsi menangkap semua kenyataan ini sebagai persoalan yang berpeluang untuk dipelintir. Maka, sidang BLBI 12 Februari 2008 benar-benar menyerupai ketoprak humor. Editorial Media Indonesia (13 Februari 2008) lalu menyimpulkan semua ini sebagai “malapetaka interpelasi”.[]

Artikel ini pernah dipublikasikan di Business News.

Tidak ada komentar: