Sabtu, 16 Februari 2008

Bahaya Jangka Panjang Pilkada

Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Menjelang perayaan Hari Lahir ke-82 Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Muzadi bersama beberapa orang tokoh teras NU datang menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Januari 2008. Pada pokoknya, kedatangan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NU itu untuk menyampaikan undangan agar presiden memberi sambutan dalam perayaan hari lahir NU pada 3 Februari 2008 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Sampai di sini, tak ada dentuman persoalan berarti. Sang presiden bersedia memenuhi undangan itu. Tetapi, usai berjumpa presiden, Hasyim Muzadi melontarkan pernyataan menggelegar dan resonansinya menggeletarkan jagat politik nasional. Bahwa, NU mencemaskan ekses pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung (Republika, 26 Januari 2008, hlm. 12). Pilkada langsung menimbulkan polarisasi di masyarakat, sumber konflik horizontal dan membuang-buang uang. Atas dasar ini NU, menurut Hasyim Muzadi, menyarankan agar Pilkada dihapuskan (Kompas, 26 Januari 2008, hlm. 3). Dari sini pula lantas bergulir pertanyaan kritikal. Substansi apa sesungguhnya yang termaktub di balik pernyataan Hasyim Muzadi itu?

Penting untuk terlebih dahulu dicatat, bahwa dalam tilikan filosofis sesungguhnya mustahil menghapuskan Pilkada. Penghapusan Pilkada sama dan sebangun maknanya dengan menarik mundur proses penciptaan konstruksi politik berlandaskan demokrasi. Pilkada dengan segala kelemahannya kini justru harus dimengerti sebagai sebuah sekuen dalam bentangan panjang evolusi demokrasi di Tanah Air. Aneka kelemahan yang inherent di dalamnya mutlak untuk dimengerti sebagai tantangan besar yang sejatinya dipecahkan oleh bangsa ini. Perjalanan waktu selama kurang lebih satu dekade sejak berakhirnya kekuasan otoriter Orde Baru Soeharto jangan sampai kemudian ditimpali oleh penghapusan segenap trase dan pencapaian demokrasi dalam format Pilkada. Ini berarti, buruk muka janganlah cermin dibelah. Sungguh pun demikian, “penghapusan Pilkada” dalam artikulasi Hasyim Muzadi itu mendesak untuk dielaborasi lebih jauh hakikat masalahnya. Pertanyaan hipotetik yang niscaya dikedepankan ialah, di mana letak kelemahan dan kekurangan Pilkada? Dapatkan segenap kelemahan dan kekurangan itu diberikan sebuah jalan keluar? Bertitik tolak dari pertanyaan-pertanyaan ini, maka tak berlebihan jika kita pada akhirnya berbicara tentang bahaya jangka panjang Pilkada oleh munculnya empat persoalan berikut ini.

Pertama, Pilkada memperluas, memperdalam serta menumbuh suburkan praktik politik uang (money politics) dalam berbagai bentuknya. Terhadap publik konstituen, politik uang menemukan manifestasinya pada pembelian suara menjelang dan atau pada saat pelaksanaan Pilkada. Terhadap partai politik, money politics menemukan manifestasinya ke dalam apa yang disebut “gizi” atau “mahar politik”. Tampilnya seorang kandidat melalui kelembagaan partai, telah mencuatkan transaksi jual-beli dukungan pada level institusi (baca: partai politik). Seorang kandidat harus menyerahkan uang dalam jumlah besar agar partai politik bersedia mengusungnya sebagai kandidat. Maka, Pilkada bergeser menjadi praksis demokrasi yang membuka ruang secara sangat lebar terhadap para pemilik uang, merebut kepemimpinan politik. Terbentuknya sebuah formasi kepemimpinan politik pada tingkat lokal melalui mekanisme Pilkada tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah proses semu. Political pattern ini tak sepenuhnya mampu berfungsi sebagai rekrutmen kepempinan politik dalam maknanya yang genuine.

Kedua, Pilkada mengkristalisasi kecenderungan politisasi agama. Di kantong-kantong NU—sebagaimana disinggung Hasyim Muzadi—politisasi agama berlangsung secara sangat serius. Bahkan, dari politisasi agama itu kemudian bergulir polarisasi masyarakat. Para tokoh agama saling berhadapan secara vis-à-vis satu sama lain, sejalan dengan perbedaan kandidat yang mereka gadang. Tokoh agama pada pelataran ini kehilangan misi profetiknya. Lantaran sedemikian jauh terseret ke dalam kancah pertarungan memperebutkan kuasa politik, tokoh-tokoh agama lalu terbentur persoalan reduksi makna, yaitu hanya berpijak pada kesadaran pikir kalah-menang di atas panggung pertaruhan politik. Dalam konteks ini, agama tanpa kesalehan sosial kian menemukan aksentuasinya. Hasyim Muzadi melukiskan problema itu dengan narasi kalimat: “Masing-masing kandidat mendatangi para kiai dan santri untuk memperoleh dukungan. Kemudian mereka dikristalisasikan, namun setelah Pilkada selesai tidak kembali mencair. Bupati sudah dipilih, tapi kiai dan santrinya masih ribut” (Republika, 26 Januari 2008, hlm. 12).

Ketiga, proses Pilkada yang berjalan hingga dewasa ini membawa serta transmutasi politik secara sangat pelik. Kepemimpinan politik, pada dasarnya, merupakan domain pengabdian bagi seseorang untuk mencapai derajat negarawan. Tragisnya, Pilkada telah menggeser orientasi, sehingga kepemimpinan politik diturunkan derajatnya sekadar sebagai karir. Implikasi serius yang ditimbulkan oleh kenyataan ini berhubungan erat dengan buruknya penghayatan terhadap politik sebagai nilai (values). Apa boleh buat, politik lalu terpenjara ke dalam struktur makna yang begitu miopik. Itulah mengapa, kepemimpinan politik dimengerti sebagai sesuatu yang sama dan sebangun dengan peluang atau kesempatan mengakumulasi kekayaan dalam jumlah besar. Kepemimpinan politik lantas kehilangan dimensi pengorbanan. Padahal, seperti diperlihatkan oleh para founding fathers negeri ini, pengorbanan merupakan elan vital atau sukma yang memberikan daya hidup pada kepemimpinan politik. Pilkada, dengan sendirinya, telah mencetuskan apa yang disebut the poverty of sacrifice pada ranah kepemiminan politik.

Keempat, Pilkada mengutuhkan dirinya sebagai panggung yang mengakomodasi kehadiran para petarung politik. Kita kini dapat mencatat, bahwa politik yang telah kehilangan dimensi transendentalnya mengambil titik tolak dari punahnya pandangan-pandangan obyektif di kalangan pemimpin politik. Dalam maknanya yang transendental, politik adalah values yang mampu melihat problema kenegaraan dan kemasyarakatan dari berbagai dimensinya. Di antara tumpukan dan hamparan berbagai macam problema itu, sang pemimpin politik mampu meneropongnya dari ketinggian. Sehingga, segenap dimensi yang berjalin kelindan dengan tumpukan dan hamparan berbagai masalah dapat ditangkap hakikatnya. Pada titik inilah terjadi obyektivikasi permasalahan. Celakanya, kemampuan melakukan obyektivikasi masalah itu muskil diharapkan datang dari para petarung politik. Kemampuan obyektivikasi masalah hanya mungkin dilakukan oleh para pemimpin politik dalam kategori—meminjam istilah filsuf Plato—philosopher-king atau pemimpin politik nan bijaksana. Para petarung politik adalah seseorang dengan pandangan dunia parsial-partikular. Ia takkan pernah bisa untuk sepenuhnya mampu berdiri tegak sebagai philosopher-king.

Persenyawaan empat hal inilah yang kemudian menggulirkan banyak persoalan dalam Pilkada. Maka, pernyataan KH Hasyim Muzadi sejatinya dimengerti ke dalam pernak-pernik persoalan sebagaimana dikemukakan di atas. Hanya saja, usulan penghapusan Pilkada tak mungkin diterima secara taken for granted sebagai terapi persoalan. Jauh lebih elegan jika empat bentangan persoalan di atas diberikan respons secara proporsional sebagai tantangan yang niscaya diselesaikan bangsa ini. Bahkan, model penyelesaian yang ditawarkan sepenuhnya merupakan substansiasi atau pemaknaan secara fundamental terhadap praktik demokrasi dalam kerangka Pilkada. Dari sini, dibutuhkan sukma baru pada segenap prosedur dan mekanisme Pilkada.

Apa yang kemudian penting ditegaskan lebih lanjut adalah melihat Pilkada tak semata menurut cara pandang positivistik-linear. Pilkada justru harus dimengerti sebagai political reengineering berlandaskan nilai-nilai demokrasi untuk mengakhiri kecenderungan paganistik dalam politik serta untuk keperluan deprimordialisasi dalam proses mobilisasi dukungan massa. Hanya dengan ikhtiar ini politik benar-benar bekerja sebagai panggilan dan kepemimpinan politik ditinggikan derajatnya sebagai pewadahan bagi kehadiran para negarawan. Sejauh ikhtiar ini diabaikan, maka sejauh itu pula kita menghadapi bahaya jangka panjang Pilkada. Begitulah[]

Tidak ada komentar: