Sabtu, 16 Februari 2008

Pangan untuk Rakyat

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Sulit mengingkari kenyataan, bahwa Indonesia terjerembab ke dalam masalah rumit kenaikan harga pangan. Terhitung sejak akhir 2007 dan terus bergulir hingga permulaan 2008, kenaikan harga pangan di berbagai penjuru Nusantara mengkristal sebagai ancaman paling serius ke arah runtuhnya daya beli masyarakat. Secara karikatural dapatlah disebutkan, bahwa telur, minyak goreng dan terigu tampil sebagai komoditas yang terpilin ke dalam persoalan rumit lonjakan harga. Komoditas lain berada dalam fluktuasi kenaikan yang lebih rendah gradasinya dibandingkan tiga komoditas itu. Sungguh pun demikian, secara agregat, kenaikan berbagai komoditas pangan membebani masyarakat. Tak dapat dibantah pada akhirnya, bahwa inilah realisme buruk yang menghantam secara telak purchasing power parity rakyat Indonesia. Akibatnya sungguh tragis. Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan yang kian mahal, masyarakat terpaksa menggadaikan harta benda.

Apa yang dapat dikatakan pada akhirnya adalah ini. Jika kenaikan harga pangan tak tertangani secara seksama, dampak paling mencolok yang dengan segera dapat dirasakan resonansinya ialah delegitimasi kekuasaan rezim yang tengah berkuasa. Bahkan, delegitimasi dimaksud sangat mungkin menyerupai perguliran bola salju, kian membesar dan terus membesar. Seperti mengulang berlakunya hukum besi dalam sejarah, krisis pangan pada akhirnya bergerak secara liar menjadi kekuatan perusak yang meluluhlantakkan eksistensi bangsa secara keseluruhan. Sayangnya, stabilisasi harga pangan menurut rancang bangun pemerintah tidak fokus pada penanganan produksi pertanian. Apa boleh buat, stabilisasi harga pangan diupayakan melalui penanganan instrumen fiskal.

Dalam makna generiknya, memang, kenaikan harga tak mungkin disimplifikasi semata sebagai kegagalan pemerintah. Atmosfer politik yang terbentuk oleh jalinan kuasa berlandaskan demokrasi mendekonstruksi kedigdayaan komando yang semula berjalin kelindan dengan otoritas pemerintah. Prinsip demokrasi justru meniscayakan dicerabutnya berbagai format sistem komando. Sejalan dengan tegaknya prinsip demokrasi, ekonomi merupakan domain yang sama sekali tak steril dari tercerabutnya sistem komando. Dengan demikian, kenaikan harga harus dimengerti sebagai konsekuensi logis atas perkembangan pasar yang bergerak bebas sejalan dengan tarian tango demokrasi. Hanya saja, aksioma ini menjadi tak relevan jika ternyata kenaikan harga memiliki titik singgung secara sangat kuat dengan komoditas pangan. Secara substansial, komoditas pangan berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat. Maka, sedemokratis apa pun pemerintahan, tak bisa tidak, ia harus campur tangan mengatasi persoalan kenaikan harga komoditas pangan. Stabilisasi harga komoditas pangan yang bercorak regulatif justru merupakan moral obligation bagi pemerintahan demokratis.

Imperatif ini dapat dielaborasi lebih lanjut melalui pejelasan berikut. Prestasi pemerintahan dideterminasi oleh tinggi rendahnya inflasi. Pemerintahan, di mana pun dan dalam sistem politik apa pun, berhadapan dengan ujian berat inflasi. Tingginya angka inflasi merupakan sinyal berkenaan dengan kegagalan pemerintah mengawal tata kelola ekonomi masyarakat. Inflasi tinggi merupakan potret paling gamblang kegagalan pemerintah. Sementara pada tataran empirik, inflasi berpengaruh buruk terhadap perekonomian masyarakat bawah. Itulah mengapa, pembicaraan tentang inflasi tak pernah bisa dilepaskan dari kapasitas nasional untuk mampu berswasembada pangan. Maka, kenaikan harga pangan tak mungkin dibiarkan terus bergulir mengikuti orkestrasi pasar bebas. Penyelamatan eksistensi masyarakat bawah jauh lebih penting dibandingkan dengan capaian efisiensi ekonomi menurut logika pasar bebas. Demokrasi politik dalam konteks ini justru harus diartikulasikan menuju terbentuknya kekuatan kontrol terhadap pasar bebas. Tujuannya, mencegah pasar bebas agar tak semena-mena menentukan struktur harga komoditas pangan. Persoalannya kemudian, apakah truisme ini mendapatkan perhatian secara seksama dari pemerintahan yang tengah berkuasa kini?

Pertanyaan ini memiliki kaitan makna secara sangat jelas dengan watak pasar bebas. Apa yang dalam perspektif sosiologis dikategorikan sebagai “masyarakat bawah”, tidaklah penting benar bagi pasar bebas. Sejauh masyarakat bawah itu bukanlah individu-individu produktif, maka sejauh itu pula mereka teraleinasi dari cakupan efisiensi pasar bebas. Spontanitas dan adaptabilitas yang inherent ke dalam pasar bebas bukanlah medan perlindungan bagi masyarakat bawah dari keniscayaan tingginya kapasitas produksi dalam atmosfer kompetitif. Realisme pasar bebas yang sedemikian rupa itu mengingatkan kita pada penjelasan yang termaktub ke dalam pemikiran pemenang Hadiah Nobel ekonomi pada 1974, Friedrich August von Hayek (1899-1992). Dalam bukunya bertajuk Individualism and Economic Order (Chicago: The Chicago University Press, 1992[1948]), Hayek berbicara tentang hakikat pasar bebas yang tak pernah bisa dilepaskan dari apa yang disebut competitive order. Bagi mereka yang lemah, pasar bebas benar-benar bekerja layaknya sebuah killing field.

Jika pemerintah yang tengah berkuasa lantas bertekuk lutut pada segenap prasyarat dan realisme pasar bebas, maka serta-merta pemerintah kehilangan empati terhadap nestapa dan penderitaan rakyat. Di samping itu, kebertekuk-lututan pada pasar bebas justru kian menjauhkan pemerintah dari kemampuan memenuhi imperatif tegaknya pilar keadilan untuk semua. Lagi-lagi pertanyaannya, di mana letak keberpihakan pemerintah Indonesia kini, kepada masyarakat bawah atau kepada pasar bebas?

Alih-alih memperlihatkan tanggung jawab, pemerintah malah melontarkan apologia tatkala berbicara tentang gentingnya masalah pangan di negeri ini. Dalam pengarahannya pada rapat pimpinan TNI di Cilangkap, Jakarta, 24 Januari 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah menegaskan, bahwa krisis pangan di Indonesia, yang dapat mengancam perekonomian, adalah gejala dunia, bukan khas Indonesia. Dengan jumlah penduduk 6,3 miliar jiwa, dunia kini dan mendatang akan menghadapi masalah ketahanan pangan. Pernyataan ini merupakan gambaran eksplisit tak adanya kemauan sungguh-sungguh dari pihak pemerintah untuk menemukan jalan keluar terbaik penyelesaian masalah pangan melalui optimalisasi kapasitas terpasang produksi pertanian di dalam negeri.

Diperhadapkan pada kenyataan besarnya persentase impor pangan Indonesia, pernyataan presiden ini vatalistik sifatnya. Pernyataan ini bukanlah trigger demi menemukan jalan keluar terbaik agar bangsa ini mampu melakukan upaya-upaya terobosan keluar dari kemelut pangan. Data HKTI menyebutkan, Indonesia memiliki ketergantungan yang besar pada pangan impor. Dari total kebutuhan pangan nasional, outsanding impor pangan itu mencapai 90% untuk susu, 70% untuk kedelai, 50% untuk garam, 30% untuk gula, 25% untuk daging sapi, 15% untuk kacang tanah dan 10% untuk jagung. Sesuatu yang kemudian niscaya dilakukan adalah memutus ketergantungan terhadap pangan impor. Sehingga dengan demikian, pernyataan presiden itu dapat diinterpretasikan sebagai pencarian kambing hitam atas terjadinya kemelut pangan di tingkat domestik. Kalau pun dunia kini tengah diperhadapkan pada problema besar krisis pangan, tak ada dasar-dasar moralitas untuk menjadikan kenyataan tersebut sebagai permakluman untuk melepaskan tanggung jawab penuntasan kemelut pangan di dalam negeri. Bahkan, sejatinya, pemenuhan pangan rakyat tak perlu dicari-cari kaitannya dengan gelombang krisis pangan di tingkat global. Berpijak pada kondisi obyektif alam Indonesia yang subur, kinilah saatnya memperkuat basis produksi pangan di dalam negeri melalui revitalisasi pertanian.

Pemenuhan pangan rakyat, pada akhirnya, mempersyaratkan adanya kepemimpinan nasional yang clear and distinct. Bahkan, bagi seorang pemimpin nasional, pemenuhan pangan rakyat mutlak dimengerti sebagai agenda kebangsaan.[]

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Business News.

Tidak ada komentar: