Senin, 20 Agustus 2007

Sensibilitas Merdeka

Oleh
Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Makin tua usia Republik, kian rapuh kemerdekaan. Bagaimana cerita ini mesti dibentangkan demi menyelamatkan Indonesia agar terus bertahan hingga ke masa depan? Apa boleh buat, mutlak harus dikatakan sekarang juga, bahwa generasi baru bangsa Indonesia kini hanyalah pewaris Republik. Para founding father-lah sesungguhnya pemilik sejati Republik. Mengapa? Jawabnya, sangatlah jelas: para founding father itulah figur-figur yang berhasil memulai penjelajahan eksistensial demi membangun imajinasi tentang Republik. Setelah itu, para founding father pula yang menghantarkan diri mereka sendiri ke tengah altar pengorbanan agung demi berakhirnya kolonialisme-imperialisme. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya tak hanya bergerak pada taratan intelektualisme saat harus menguncang kejumawaan kekuatan hegemoni global pada ranah politik dan ekonomi. Lebih dari itu, mereka mengada (to be) ke dalam aktivisme kemerdekaan. Inilah yang oleh tajuk rencana Kompas (18 Agustus 2007) dibahasakan dengan kalimat: “Pandangan, sikap, dan tujuan perjuangan dan pergulatan para Bapak Bangsa sungguh berdimensi dan bermakna sejarah yang mendahului zaman, lengkap dan amat sangat aktual hingga kini dan selanjutnya.”

Tak berlebihan jika kemudian disimpulkan, bahwa gelombang generasi baru yang datang kemudian hanyalah penyempurna imajinasi tentang Republik. Maka, konsensus dasar tentang ke-Indonesia-an menurut rancang-bangun para founding father bukan saja mutlak diselamatkan, tetapi juga harus dimaknai lebih jauh dan mendalam. Kita membutuhkan upaya-upaya rejuvenile terhadap kemerdekaan dengan mengusung keikhlasan otentik para founding father. Di sinilah peliknya. Sebab, satu soal kemudian mencuat ke permukaan. Generasi baru bangsa Indonesia di masa kini memperlihatkan diri sebagai sosok yang digdaya mengatur arah Republik ke depan. Tetapi segenap pemikiran dan sepak terjang generasi baru ini tak sepenuhnya kongruwen dengan cita-cita kebangsaan para founding father. Didukung oleh kedahsyatan dalam melakukan olah pikir dan olah kata-kata, generasi baru semacam ini membangun imajinasi lain tentang Indonesia. Sebuah imajinasi yang sesungguhnya ahistoris jika diverifikasi melalui teropong intelektualisme dan aktivisme founding father.

Secara kategoris, para founding father berpikir tentang bangunan politik dan perekonomian nasional berlandaskan prinsip sosial demokrasi. Pancasila merupakan ideologi negara yang di dalamnya termaktub logika sosial demokrasi. Inilah pandangan dunia (Weltanschauung) yang menegasikan segala bentuk penindasan dan penistaan manusia atas manusia. Oleh para founding father, sosial demokrasi dimengerti sebagai format paling mutakhir transmutasi kesadaran gotong royong khas Indonesia demi tegaknya humanisme-transendental. Jika kita saksama membaca gagasan-gagasan kebangsaaan para founding father kita akan mendapatkan kesan yang teramat dalam, betapa sosial demokrasi merupakan pilihan yang tidak aksidental sifatnya.

Justru, jatuhnya pilihan terhadap Weltanschauung ini dilandaskan pada historisitas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Bahkan, pola-pola kebudayaan yang bekembang dalam realitas hidup masyarakat Indonesia dipahami sebagai modal sosial yang menemukan pendewasaannya dalam praktik sosial demokrasi. Realisme paling penting dari Weltanschauung ini ialah kontrak sosial (social contract) tidaklah dimengerti sebagai perjanjian azasi antara negara dan individu-individu. Kontrak sosial justru dipahami sebagai terjadinya pertautan hubungan negara dan komunitas demi lahirnya masyarakat adil makmur. Untuk bisa menjalin kontrak sosial dengan negara, individu-individu justru diniscayakan untuk terlebih dahulu membangun kesadaran ekstensial ke dalam keharibaan komunitas. Imperatif yang kemudian tak terelakkan kehadirannya adalah komunitas sebagai bagunan sosial dilandasi oleh trust individu dalam hubungannya dengan individu lain. Maka, haram bagi setiap komunitas bekerja dan berfungsi sebagai mesin penindasan terhadap individu-individu.

Pelan tapi pasti, sukma sosial demokrasi ini memudar dari struktur kesadaran generasi baru bangsa Indonesia. Distimuli oleh kian terbukanya akses terhadap pendidikan umum sejak dekade 1970-an, relasi antar-individu dalam komunitas mulai dilanda pergeseran makna. Trust yang semula mendasari jalinan hubungan antar-individu dalam komunitas, sejak dekade 1970-an justru digeser oleh proses pendidikan menjadi jalinan relasi kuasa penuh pamrih. Tak bisa dielakkan, kontrak sosial pun akhirnya membentang antara negara dan individu. Dampak psiko-sosial yang ditimbulkan sungguh sangat tragis. Mobilitas vertikal seorang individu untuk mencapai ranah kekuasaan negara benar-benar meminggirkan makna trust pada jalinan hubungan antar-individu dalam komunitas. Perburuan terhadap kekuasaan politik (pursuit for political power) lalu menjadi kelanjutan logis egoisme individu. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai inklinasi ke-Indonesia-an yang kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan para founding father. Pada pendulum inilah kita kemudian berbicara tentang kebebasan berdemokrasi yang tanpa arah.

Sebuah pertanyaan yang terkesan nakal lalu berbunyi seperti ini: apa yang salah dengan kebebasan berdemokrasi? Jawaban terhadap pertanyan ini dapat disingkapkan melalui potret buruk bangsa ini akibat bekerjanya sistem demokrasi tanpa arah. Inilah realisme yang mencuat sejak era pasca-Orde Baru serta secara mencolok ditandai oleh karut-marutnya tata kelola politik dan perekonomian. Tanpa bisa dielakkan, bergema kembali sinyal peringatan Bung Hatta, bahwa kehidupan demokrasi sangat ditentukan oleh adanya rasa tanggung jawab.

Pada ranah perekonomian nasional, praktik demokrasi tanpa arah mempertegas kehadiran satu hal serta mengundang kehadiran hal lain. Sesuatu yang dipertegas kehadirannya adalah perburuan rente. Hingga sekitar satu dekade sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto yang otoriter itu, perekonomian nasional Indonesia jauh dari kemampuan melahirkan keunggulan kompetitif dalam kancah persaingan industri global. Tak dapat ditepiskan, perburuan rente telah menguras energi sosial aktor-aktor ekonomi dan kaum borjuasi untuk hanya fokus pada misi profit serta mengabaikan misi profetik. Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa hingga kini tak ada inovator sejati dalam kancah perekonomian nasional.

Pada pelataran lain, sesuatu yang diundang kehadirannya dalam perekonomian nasional—di bawah tarian tango demokrasi tanpa arah—adalah kapitalisme bencana alam (disaster capitalism). Musibah besar yang diledakkan Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan potret amat telanjang berkenaan dengan kehadiran disaster capitalism. Bukan saja degradasi lingkungan berlansung secara sangat dramatis, lebih dari itu terjadi penistaan yang tiada tarannya terhadap manusia, lingkungan sosial dan lingkungan budaya sebuah masyarakat. Hampir tak ada yang bisa membantah, disaster capitalism ala Lapindo Brantas itu merupakan sumber malapetaka yang tiada taranya. Di sini kita menyaksikan kegagalan korporasi membangun sensibilitas terhadap kemerdekaan anak-anak bangsa. Bahkan, inilah cara kerja korporasi yang menghidupkan kembali sukma imperialisme-kolonialisme di atas Bumi Pertiwi.

Dalam ranah politik, praktik demokrasi tanpa arah bergerak dinamik dalam ruang lebar banalitas korupsi. Aparat lalu berada dalam titik pertaruhan yang amat serius, lantaran tak habis-habisnya mereproduksi moral hazard dalam pengelolaan negara dan pemerintahan. Alih-alih demokrasi bebas macam ini menggusur mentalitas lama yang dipenuhi aura korupsi, justru malah mendorong praktik korupsi menelusup masuk hingga ke berbagai lini pengelolaan negara dan pemerintahan (lihat editorial “Perjuangan Melawan Korupsi”, Koran Tempo, 16 Agustus 2007, hlm. A2). Mau tak mau, kita lalu menyaksikan musnahnya kebenaran obyektif dalam tata kelola negara dan pemerintahan. Wajar jika kemudian dikatakan, bahwa pada kelembagaan negara dan pemerintahan sudah tak ada lagi ruang yang benar-benar bersih dari najis kotor korupsi.

Pada 17 Agustus 2007, kemerdekaan memang telah berlangsung selama 62 tahun. Sayangnya, totalitas persoalan yang dibentangkan di atas benar-benar menyudutkan generasi baru bangsa ini pada ketiadaaan sensibilitas terhadap kemerdekaan. Dalam lubuk hati yang dalam kita lalu bertanya, masihkah Indonesia merdeka? Bukankah di antara anak-anak bangsa telah saling menjajah satu sama lain?●

Jakarta, 17 Agustus 2007

Tidak ada komentar: