Rabu, 15 Agustus 2007

Mencari Format Pengendalian Ekonomi

Oleh
Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Pada akhirnya, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumandangkan pengakuan jujur yang penting untuk direspons secara cerdas. Institusi supra-negara ini menegasikan pedagogi yang diucapkan secara berulang-ulang di masa lampau berkenaan dengan arti penting liberalisasi aliran modal. Kini, IMF bebicara tentang sesuatu yang sebaliknya. Bukti-bukti menjadi sangat jelas kini bahwa, menurut IMF, liberalisasi modal bukanlah sumber kecemerlangan bagi pertumbuhan ekonomi. Justru, liberalisasi modal menjadi sebab fundamental timbulnya volatilitas pada perekonomian nasional. Dari pengakuan jujur ini lantas muncul kesimpulan yang tak kepalang tanggung, bahwa di banyak negara berkembang liberalisasi modal bukanlah solusi. Sehingga sangat bisa dimengerti, mengapa India dan China mampu mengenjot pertumbuhan ekonomi tinggi dan terhindar dari hempasan krisis moneter Asia pada tahun 1997. India dan China merupakan dua emerging market Asia yang menolak kerangka politik perekonomian yang tersimpul ke dalam liberalisasi modal (Kompas, 13 Agustus 2007, hlm. 1).

Dalam konteks pembicaraan ini, liberalisasi modal hampir sama dan sebangun maknanya dengan “rezim devisa bebas”. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang penganut rezim devisa bebas itu. Dengan demikian, keluar masuknya modal secara bebas di Indonesia tak dipandang sebagai kesalahan sistemik. Maka, Indonesia pun menjadi ajang keluar masuknya hot money di bawah pengendalian kekuatan investor asing. Sesuai dengan wataknya sebagai investasi jangka pendek yang fokus pada portfolio, hot money sangat leluasa masuk ke Indonesia untuk mendapatkan imbal hasil yang sangat tinggi. Namun ketika pasar uang di Indonesia kering dari imbal hasil yang sangat tinggi, maka dengan bebas pula hot money lari keluar dari Indonesia. Tak cukup hanya itu, rezim devisa bebas yang bekerja di Indonesia memungkinkan investor asing membeli saham perbankan nasional. Perbankan yang secara substansial berfungsi sebagai jantung bagi perekonomian nasional, struktur kepemilikannya benar-benar terbuka terhadap pemodal asing. Rezim devisa bebas pun mendeterminasi sistem nilai tukar mata uang. Dalam hal ini, nilai rupiah dibiarkan mengambang bebas, sehingga kapan saja nilai tukar rupiah bisa berfluktuasi terhadap mata uang asing.

Seakan hendak menohok kerangka sistemik pasar uang di Indonesia, IMF lantas berbicara tentang mustahilnya liberalisasi modal diskenariokan sebagai landasan pijak terciptanya pertumbuhan ekonomi. Limbung dan gonjang-ganjingnya perekonomian nasional akibat liberalisasi modal, secara tak langsung justru dinyatakan sebagai kekeliruan menurut cara pandang baru IMF. Padahal, sebagaimana kita tahu, IMF justru yang menyodorkan terapi liberalisasi modal untuk keperluan penyelesaian krisis moneter di Indonesi pada akhir dekade 1990-an. Karena itu, pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah ini: Apakah upaya anulir politik perekonomian yang dikedepankan IMF berkenaan dengan arti penting liberalisasi modal tu sekaligus merupakan pengakuan dosa IMF?

Masalahnya, sebelum jelas benar formulasi jawaban atas pertanyaan ini, rezim devisa bebas ternyata merupakan hal yang muskil dicerabut dari tengah kancah perekonomian nasional. Ini karena, anasir-anasisr neoliberalisme menancapkan pengaruhnya secara sangat kuat pada berbagai kementerian ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Pengakuan IMF tentang kesalahan mendasar liberalisasi modal—sebagai strategi penguatan pasar uang dan pasar modal di suatu negara—dengan sendirinya menyerupai upaya “menggarami air laut”. Pengakuan itu takkan membersitkan pengaruh secara signifikan terhadap arah masa depan pengelolaan modal di Indonesia. Hanya saja, dengan kenyataan ini pula pasar uang di Indonesia terseret ke dalam ketidakpastian yang keruh. Pada giliran selanjutnya, terus berjalannya liberalisasi modal potensial mencetuskan pandangan-pandangan kritis terhadap rezim politik yang tengah berkuasa.

Munculnya pengakuan bahwa liberalisasi modal bukanlah sumber bagi pertumbuhan ekonomi, niscaya untuk disimak ke dalam perkembangan jangka panjang perekonomian nasional Indonesia. Memang untuk saat ini, sulit mengharapkan bahwa KIB benar-benar digdaya melahirkan kerangka politik perekonomain yang sepenuhnya mampu berfungsi sebagai kekuatan koreksi terhadap liberalisasi modal. Unsur-unsur neolib yang bercokol dalam KIB sungguh-sungguh tak memungkinkan Indonesia mengerem laju perguliran liberalisasi modal. Bahkan, rasionalitas yang bisa diprediksikan bakal muncul dari impresi kaum neolib dalam KIB adalah penegasan kembali liberalisasi modal sebagai kenyataan yang tak terbendung sebagai kelanjutan dari rezim devisa bebas yang berjalan sejak era Orde Baru. Namun beyond tendensi rezim politik yang kini tengah berkuasa, “pengakuan dosa” IMF itu mutlak untuk dijadikan titik tolak dalam merancang-bangun model-model pengendalian ekonomi di masa depan, berdasarkan beberapa alasan.

Pertama, Bank Indonesia (BI) bakal terus diperhadapkan pada problema kemampuan menahan keluarnya hot money untuk mencari dataran pijak di negara lain. Ketika gejolak finansial benar-benar berskala global, maka mau tak mau terjadi arus keluar hot money dengan maginitude yang sangat besar. Pada giliran selanjutnya, BI takkan mungkin lagi mampu untuk sekadar sesumbar dengan menyatakan dirinya siap melakukan intervensi terhadap rupiah. Jika ternyata intervensi berupa pembelian dollar dalam jumlah besar dilakukan, maka konsekuensi yang ditimbulkan adalah leonjakan inflasi. Ini sekaligus menunjukkan, bahwa arus keluar hot money dalam jumlah besar hanya mendorong rupiah terpuruk ke titik nadir dan mencetuskan tekanan serius pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jika situasi ini yang benar-benar mencuat ke permukaan maka untuk kesekian kalinya Indonesia digulung oleh gelombang krisis moneter. Tak ada teknikalitas yang relevan dikedepankan demi mengatasi kepelikan ini selain melakukan pembatasan, atau bahkan mengamputasi, arus liberalisasi modal.

Kedua, liberalisasi modal di Indonesia kini sesungguhnya berada dalam fase yang amat telanjang dan sekaligus membahayakan kepentingan nasional. Kenyataan buruk ini tercermin pada konstatasi Menko Perekonomian Boediono: penyesuaian apa pun diperlukan agar kebijakan moneter sesuai dengan situasi dalam konteks global (Republika, 14 Agustus 2007, hlm. 1). Dalam konteks masih sangat rapuhnya sektor riil serta dalam situasi masih rendahnya tingkat daya saing industri manufaktur dalam kancah persaingan global, liberalisasi modal di Indonesia merupakan sesuatu yang benar-benar aneh bin ajaib. Sedemikian rupa, Indonesia menduplikasi corak liberalisasi modal yang berjalan di negara-negara maju. Tragisnya, semua ini ditimpali oleh tak adanya strategi menyeluruh penguatan sektor riil. Perekonomian nasional Indonesia lalu benar-benar didistorsi oleh kepincangan antara gerak dinamik sektor moneter dan rapuhnya sektor riil. Kedigdayaan sektor moneter semakin tak menemukan paralelitasnya dengan sektor riil. Atas dasar ini, format pengendalian ekonomi dibutuhkan agar terjadi kesinambungan formasi makro-mikro dalam perekonomian nasional.

Ketiga, langkah koreksi terhadap liberalisasi modal sesungguhnya dibutuhkan untuk mengakhiri timbulnya disorientasi dalam tata kelola perekonomian nasional. Persis ketika pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Muhammad Yunus datang memberikan Presidential Lecture di Istana Negara, tampak mencolok betapa seriusnya disorientasi dalam tata kelola perekonomian nasional. Dalam situasi tak adanya spirit nasionalisme di kalangan bankir dan lantaran itu bankir lebih memosisikan dirinya sebagai rentenir, Muhammad Yunus justru hadir dengan menawarkan konsepsi banking for the poors. Kita kemudian tersentak sadar, bahwa secara faktual konsepsi ini sulit diwujudkan ke dalam kenyataan. Kecuali, jika telah ada format pengendalian terhadap perekonomian nasional melalui koreksi secara mendasar terhadap liberalisasi modal.

Artikel ini pernah dimuat di Business News, edisi 15 Agustus 2007

Tidak ada komentar: