Rabu, 15 Agustus 2007

Kaum Muda dan Demokrasi

Oleh
Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Ketika pada Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden setelah berkuasa kurang lebih 32 tahun, maka sejak saat itu Indonesia memasuki sebuah kurun waktu historis dalam perkembangan politik. Itulah sebuah kurun waktu yang dikenal sebagai “musim semi demokrasi”. Selama sekitar empat dasawarsa sejak Dekrit Presiden 1959 hingga saat mundurnya Soeharto, tidak ada kebebasan politik dalam pengertiannya yang substansial. Pembatasan jumlah partai politik, tidak adanya kebebasan pers serta sempitnya ruang gerak organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), merupakan potret buram dalam kehidupan politik nasional hingga berakhirnya kekuasaan Soeharto. Karena itu, sangat bisa dimengerti mengapa Indonesia pasca-Soeharto pada akhirnya tercitrakan sebagai negara yang—meminjam istilah mingguan terkemuka The Economist—mencorong lantaran menyerupai the shinning democracy of the world.

Hal yang tentu saja kemudian menarik diperhatikan adalah ini: Musim semi demokrasi yang bergulir pada era pasca-Orde Baru mencetuskan implikasi yang sama sekali tak sederhana. Pertama, terjadi pergeseran orientasi berpikir dalam kehidupan masyarakat menurut kerangka kerja liberalisme politik. Baik pada tataran filosofi maupun pada tindakan praktis, politik lalu dimengerti sebagai wilayah untuk mengartikulasikan kebebasan pribadi dan kemajuan sosial. Setiap orang, pada akhirnya, bukan saja boleh dan leluasa terjun ke tengah pusaran politik. Lebih dramatis lagi dari itu, setiap orang sungguh-sungguh bebas untuk mengartikulasikan berbagai tuntutan dalam bidang politik atau tuntutan apa saja yang dicetuskan melalui jalur politik. Indonesia pun pada akhirnya gaduh dengan berbagai peristiwa politik, dari sejak demo yang mengambil panggung jalan raya, cekcok antar-elite politik hingga pada pendirian partai politik dan konflik dalam tubuh partai politik.

Kedua, kaum muda merupakan elemen dari bangsa ini yang terpikat dan paling terpesona untuk terjun ke kancah politik. Bukan saja bagi kaum muda politik berubah menjadi sesuatu yang sangat menarik, lebih dari itu politik telah mengobarkan harapan-harapan baru, mencetuskan impian-impian baru. Politik lalu menjadi semacam ranah (domain) untuk menjajal kemampuan diri kaum muda agar ikut serta terlibat dalam pengelolaan kehidupan kolektif. Politik juga menjadi wahana sosial baru bagi kaum muda untuk mampu meraih kehormatan diri di tengah kancah kehidupan masyarakat yang kian kompetitif. Kenyataan inilah yang mampu menjelaskan, mengapa kalangan muda merupakan bagian terbesar dari bangsa ini yang banyak menggerakkan kehidupan politik. Begitu besarnya keterlibatan kaum muda dalam dunia politik, hingga sampai pada satu titik di mana peran kaum muda itu menyentuh pengelolaan partai-partai politik.

Disimak sekilas lalu, tak ada yang salah dari dua hal ini. Apalagi, mustahil bagi Indonesia untuk menarik mundur laju sejarah agar terhindar dari liberalisme politik. Indonesia kini, bahkan hingga ke masa depan, merupakan sebuah negara yang semakin mengukuhkan bekerjanya liberalisme politik. Tetapi dengan demikian, bukan berarti Indonesia sama sekali bersih dari persoalan-persoalan di seputar pelaksanaan demokrasi. Pada satu sisi, demokrasi memang memungkinkan terjadinya pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Tetapi demokrasi bukan hanya itu. Demokrasi merupakan instrumen yang memungkinkan lahirnya konsensus rasional di ruang publik. Sementara, konsensus rasional di ruang publik itu sendiri merupakan prasyarat untuk mewujudkan segenap kehendak menjadi kenyataan. Di sinilah masalahnya. “Kehendak” yang dimaksudkan di sini tak lain dan tak bukan adalah keinginan rakyat untuk hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran.

Jika digambarkan ke dalam sebuah skema, maka akan didapatkan penjelasan seperti berikut:

[] Demokrasi mengakomodasi kehendak rakyat.
[] Kesejahteraan dan kemakmuran merupakan hal yang paling riil termaktub ke dalam kehen-dak rakyat.
[] Berjalannya sistem demokrasi sama dan sebangun maknanya dengan terwujudnya kesejahte-raan dan kemakmuran rakyat.

Pertanyaannya kemudian, apakah demokrasi yang berjalan di Indonesia benar-benar berhasil mewujudkan kehendak rakyat akan kesejahteraan dan kemakmuran? Ternyata, jawabnya: “tidak”. Mengapa?

Demokrasi berhenti sekadar berfungsi sebagai teknikalitas untuk memperluas akses kaum muda memasuki dunia politik. Demokrasi mandeg sekadar sebagai peluang bagi kalangan muda memasuki dunia politik. Karena itu, besarnya jumlah kaum muda yang terjun ke kacah politik bukanlah jaminan bahwa politik dapat digerakkan menjadi mesin yang digdaya mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kaum muda lalu tak sepenuhnya bisa diharapkan mampu berperan sebagai kekuatan yang paling menentukan terjadinya pengukuhan demokrasi sebagai garda besar terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Kaum muda yang kemudian menyandang identitas sebagai aktor politik pada akhirnya cenderung untuk hanya terlibat dalam pertarungan kepentingan subyektif. Bahkan lebih tragis lagi dari itu, kaum muda yang berperan sebagai aktor politik hanya memperkuat dan memperdalam kecenderungan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang memang sudah sejak lama mengharu-biru bangsa ini. Perlahan tapi pasti, kaum muda yang mendedahkan dirinya sebagai aktor politik kini tak sepenuhnya dapat diharapkan mampu melakukan terobosan besar agar demokrasi benar-benar sama dan sebangun maknanya dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.●

Mataram, 24 Juni 2007

Tidak ada komentar: