Rabu, 02 Juli 2008

Purifikasi Dewan Perwakilan Rakyat

Oleh
Anwari WMK

Persis ketika rotasi waktu menunjukkan awal Juli 2008, halaman depan koran-koran nasional kembali heboh oleh pemberitaan tentang Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Secara substansial, pemberitaan di halaman depan surat-surat kabar nasional edisi 1 Juli 2008 itu dapat disimplifikasi dengan narasi kalimat: “DPR kembali coreng-moreng wajahnya. Sebab, salah satu anggotanya ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi, lantaran terlibat kasus suap”. Anggota DPR yang terlibat kasus suap dimaksud tak lain dan tak bukan adalah Buyan Royan. Anggota parlemen dari unsur Fraksi Partai Bintang Reformasi itu ditangkap KPK saat menerima suap sekitar Rp 715 juta dari seseorang di Plaza Senayan, Senin (30 Juni 2008), sekitar 17:30 WIB. Suap yang diterima Buyan Royan diduga terkait dengan pengadaan kapal patroli di Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI. Dengan merenungkan secara mendalam tertangkapnya anggota DPR itu maka mencuat beberapa pertanyaan kritis. Bagaimana kita memahami secara saksama skandal suap anggota DPR? Mengingat ini bukan kasus suap pertama, mungkinkah bangsa ini mampu mempurifikasi DPR? Jika ternyata kasus suap semacam ini bukan yang terakhir, bagaimana lalu filosofi dan strategi purifikasi kelembagaan DPR?

Dalam pengertian sederhana, “purifikasi” adalah “pembersihan”, “dekontaminasi” atau “pensucian” dari anasir-anasir kotor yang sama sekali tak perlu (lihat “purification” dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary). Pada dirinya, purifikasi mengusung misi profetik untuk mengembalikan realitas hidup yang melenceng dari hakikatnya yang fitri. Dalam konteks DPR, kefitrian berjalin kelindan dengan tiga peran konstitusional, yaitu: (i) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, (ii) Keterlibatan secara aktif dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara, serta (iii) Penyusunan undang-undang dalam kerangka kerja program legislasi. Jika seluruh fungsi ini berjalan tanpa cacat menurut takaran etik dan logis, maka tiga fungsi DPR itu sungguh-sungguh berdiri tegak sebagai sebuah hakikat yang benar. Sayangnya, kefitrian DPR berdasarkan fungsi fundamentalnya itu sejauh ini tergerus oleh bias penyalahgunaan kekuasaan, demi memperkaya diri sendiri para individu anggota parlemen. Mafhum diketahui publik, DPR terdistorsi oleh terlampau kuatnya ambisi anggota-anggotanya untuk memperkaya diri. Realisme yang kita tatap sekarang adalah ini: DPR berada dalam pergeseran besar untuk menjauh dari dasar-dasar idealitas pembentukannya. Jika pada dataran idealitas DPR merupakan wadah kebangsaan yang diskenariokan mampu memperjuangkan terwujudkan kedaulatan rakyat, dalam realitasnya justru tereduksi menjadi sarang penyamun yang tergila-gila untuk melakukan penguatan basis material. Ujung dari semua perkara ini adalah menjadikan sumber daya finansial dalam negara sebagai obyek penjarahan.

Fakta tentang DPR sebagai sarang penyamun—bagi politisi busuk—tercermin secara kuat pada posisi Buyan Royan dalam skandal suap. Untuk masa bakti 2004-2009, Buyan Royan merupakan orang keempat dalam keanggotaan DPR yang ditangkap KPK. Sebelumnya, KPK telah menangkap Saleh Djasit (korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran saat menjabat Gubernur Riau 1998-2004), Al Amin Nur Nasution (penerima suap terkait pengalihan status hutan lindung menjadi hutan tanaman industri di Bintan, Kepulauan Riau), Hamka Yandhu (kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR pada 2003 senilai Rp 31,5 miliar), dan Sarjan Tahir (kasus suap alih fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan Tanjung Api Api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan). Dengan menilik fakta ini menjadi jelas pada akhirnya, bahwa kasus suap dan korupsi menimpa seseorang sebelum dan atau pada saat tercatat sebagai anggota DPR. Dengan demikian, sumber-sumber rekrutmen keanggotaan DPR tak steril untuk diterobos oleh figur-figur dengan tekstur personalitas koruptor. Bersamaan dengan itu, DPR sebagai institusi memberi ruang kepada anggotanya untuk berlatih dan mendedahkan dirinya secara penuh sebagai koruptor. Hubungan antara aktor dan institusi dalam konteks DPR pada akhirnya hanya mempertegas kemunculan kaum koruptor. Itulah hubungan paralel antara oknum dan sistem yang sama-sama korup. Purifikasi DPR, dengan sendirinya, merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan. Dan agenda yang mutlak dikedepankan sebagai solusi adalah sebagai berikut.

Pertama, purifikasi DPR ditentukan oleh perubahan laku kampanye di bawah naungan partai politik. Selama partai politik terjebak ke dalam desain kampanye bercorak fisik-materialistik, maka selama itu pula setiap aktor politik terkondisikan untuk menyediakan dana dalam jumlah besar. Kejanggalan kampanye partai politik di Tanah Air sesungguhnya berhubungan erat dengan pemubadziran sumber daya finansial melalui penyebaran bendera, spanduk, kaos dan pengerahan massa. Bahkan, uang dengan magnitude yang sangat besar digelontorkan tokoh-tokoh politik demi mengiklankan dirinya agar dikenal publik. Padahal, kampanye sejatinya dijauhkan dari upaya pemubadziran sumber daya. Kampanye sejatinya dimanfaatkan sebagai momentum penyelenggaraan pendidikan politik secara substantif, agar rakyat tercerahkan memahami makna penting partai politik. Secara demikian, kampanye partai politik lebih mengutamakan penyebaran konsepsi-konsepsi politik demi tegaknya kedaulatan rakyat. Tragisnya, imperatif kampanye yang sedemikian rupa itu tak sungguh-sungguh terwujud menjadi kenyataan. Kampanye lantas menutup peluang untuk diwarnai asketisisme politik. Inilah sebuah situasi yang mengondisikan para aktor politik untuk kemudian permisif terhadap suap dan korupsi. Demi mengumpulkan dana dalam jumlah besar memasuki kancah kampanye Pemilu, maka uang hasil suap dan korupsi diterima sebagai sesuatu yang logis. Solusi atas masalah ini bergantung pada ketersediaan peraturan dan perundang-undangan yang melarang penyelenggaraan kampanye bercorak fisik-materialistik.

Kedua, purifikasi DPR ikut ditentukan oleh pembersihan birokrasi pemerintahan dari anasir korupsi. Sebuah sorotan kritis menyebutkan, bahwa birokrasi pemerintahan merupakan domain utama tumbuh suburnya korupsi di Indonesia. Bahkan sejak era kolonial Hindia Belanda, korupsi telah bersemayam dalam kelembagaan birokrasi pemerintahan (lihat “Birokrasi Korup Warisan Kolonial”, dalam Gatra, 26 Juni – 02 Juli 2008, hlm. 16-23). DPR dengan mudahnya terpengaruh laku korup birokrasi pemerintahan mengingat DPR memikul fungsi konstitusional mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan demikian, purifikasi DPR ikut dideterminasi oleh agenda besar pencerabutan korupsi dalam tubuh birokrasi pemerintahan hingga ke akar-akarnya.

Ketiga, purifikasi DPR dari suap dan korupsi bergantung pada kemampuan melakukan pembaharuan (tajdid) paham keagamaan. Ternyata, teologi agama-agama di Indonesia tak cukup radikal menelisik masalah-masalah besar yang inherent dengan sumber dan penggunaan uang. Sebagai akibatnya, muncul “tatakrama” untuk tak mempertanyakan secara kritis: (i) dari mana uang berasal, dan (ii) apakah penggunaan uang sungguh-sungguh berpijak pada kerangka logis-etis. Dalam perspektif Islam, misalnya, subhat merupakan konsepsi, taksonomi dan identifikasi tentang ketidakjelasan halal-haramnya harta. Imperatif Islam menegaskan, mutlak dilakukan penolakan terhadap subhat. Kaum Muslim hanya boleh menerima uang yang memiliki hubungan kausalitas dengan kerja atau penciptaan sebuah karya. Menerima uang dalam skala masif karena jabatan jelas merupakan subhat. Maka, sudah saatnya perspektif subhat dijadikan modal spiritual purifikasi DPR.

Jelas pada akhirnya, purifikasi DPR memiliki kejelasan agenda, bukan utopia.[]

Tanggapan terhadap tulisan dapat dikirim ke:
anwari_wmk@plasa.com atau anwari_kpj@yahoo.com.

Tidak ada komentar: