Sabtu, 12 Juli 2008

Empirisme Naif KPU

Oleh Anwari WMK

Berkenaan dengan partai politik peserta Pemilu 2009, pemberitaan media massa edisi Selasa, 8 Juli 2008, membersitkan kesimpulan memprihatinkan. Komisi Pemilihan Umum menetapkan, bahwa 34 partai memiliki keabsahan tampil ke tengah gelanggang Pemilu 2009. Dari jumlah tersebut, 16 partai memiliki wakil di parlemen. Sementara, 18 lainnya merupakan partai baru yang dinyatakan lolos verifikasi. Dengan menatap fakta ini, tiba-tiba menyeruak persoalan, bahwa pasar politik 2009 diwarnai oleh terlampau banyaknya jumlah Parpol. Apa boleh buat, sebagai sebuah bangsa, Indonesia bakal terus diperhadapkan dengan evolusi penyederhanaan sistem multipartai yang tak jelas juntrungannya.

Di negeri ini, evolusi partai politik bermula sejak 1955, yaitu ketika untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pemilu. Pada 1955, peserta Pemilu mencapai 172 partai. Jumlah partai ini amat sangat dirasakan terlalu banyak dan karenanya begitu colorful. Pada 1971, jumlah peserta Pemilu menciut secara drastis menjadi 10 partai. Pada era Orde Baru, Pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 sungguh-sungguh diwarnai oleh penciutan secara lebih dramatis jumlah partai politik. Selama kurun waktu itu, Pemilu hanya mencakup tiga partai politik. Baru pada era reformasi, jumlah peserta Pemilu kembali melonjak drastis. Pada 1999, misalnya, peserta Pemilu mencakup 48 partai politik. Karena kenyataan ini, muncul kehendak umum untuk menciutkan jumlah partai—kurang lebih seperti pada era Orde Baru—saat berlangsung Pemilu 2004. Maka, bukan hal kebetulan jika Pemilu 2004 ditandai oleh keterlibatan 24 partai sebagai kontestan. Sebuah jumlah yang lebih kecil dibandingkan Pemilu 1999. Anehnya, jumlah partai peserta Pemilu 2009 lebih besar dibandingkan Pemilu 2004. Secara demikian, Pemilu 2009 tak lebih baik dibandingkan Pemilu 2004. Pertanyaannya kemudian, bagaimana masa depan sistem politik di Indonesia? Demi menjawab pertanyaan ini, media massa mengemukakan tiga hal mendasar.

Pertama, Pemilu 2009 ditafsirkan sebagai trase politik bagi para jenderal militer Orde Baru untuk turut serta merebut kekuasaan politik. Inilah perebutan kekuasaan yang tak dilakukan melalui bullet, tetapi melalui ballot. Sebagai konsekuensinya, praksis politik para jenderal itu berpijak pada kerangka kerja partai politik. Pada edisi 8 Juli 2008, halaman depan Rakyat Merdeka ditandai oleh munculnya pemberitaan bertajuk “Partai Tiga Jenderal Diloloskan”. Surat kabar ini berbicara tentang trio jenderal Orde Baru, yaitu Wiranto, Prabowo Subianto dan Sutiyoso, yang sama-sama bakal tampil mewarnai pertarungan Pemilu 2009. Itu karena, partai mereka (Hanura, Gerinda dan Partai Indonesia Sejahtera) dinyatakan KPU lolos verifikasi. Surat kabar ini seakan hendak menegaskan satu hal, bahwa satu dekade setelah perguliran reformasi, kehadiran para jenderal di kancah politik diabsahkan melalui eksistensi partai-partai politik yang dirancang khusus mendukung mereka.

Kedua, Pemilu 2009 dieksplisitkan media massa takkan mungkin mampu mengusung agenda transformasi politik. Melalui headline bertajuk “34 Parpol di Pemilu 2009”, Kompas edisi 8 Juli 2008 berbicara tentang kinerja KPU yang memprihatinkan. Surat kabar nasional terkemuka ini merasa perlu memajang komentar kritis pengamat politik. Fokusnya, menggugat jumlah Parpol dalam Pemilu 2009, mengapa lebih besar dibandingkan jumlah Parpol peserta Pemilu 2004. Kompas melalui headline-nya itu mengingatkan bangsa ini, bahwa seluruh Parpol peserta Pemilu 2009 tak memiliki perbedaan secara signifikan dalam hal program dan ideologi politik. Bangsa ini malah diperhadapkan dengan kehadiran begitu banyak Parpol yang sami mawon satu sama lain. Sehingga, tak ada kejelasan klarifikasi, apakah kebijakan ekonomi Parpol peserta Pemilu 2008 berpihak pada fundamentalisme pasar ala Hayekian, bertakzim pada intevensi pasar ala Keynesian atau berkiblat pada perilaku pasar ala Kahnemanian. Dengan sendirinya, segenap Parpol hanya hadir untuk “mengambil dari kekuasaan atas negara” dan bukan “memberi pada kekuasaan atas negara”.

Ketiga, Pemilu 2009 ditengarai media massa tengah diseret KPU ke dalam problematika empirisme naif. Dalam headline-nya bertajuk “Politik Indonesia tanpa Desain”, Media Indonesia edisi 8 Juli 2008 menampilkan narasi kalimat seperti ini: “……. penyederhanaan partai gagal dan arah perjalanan politik ke depan tanpa arah.” Kemunculan narasi kalimat ini sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kenyataan lebih banyaknya jumlah partai peserta Pemilu 2009 dibandingkan Pemilu 2004. Dalam headline-nya itu, Media Indonesia juga menulis: “Penyederhanaan partai sesungguhnya bertujuan memperkuat sistem pemerintahan presidensial.” Maka, “Multipartai ini akan menjadi problematik.” Dengan kata lain, banyak partai banyak masalah. Terutama, mustahilnya kekuasaan eksekutif berjalan efektif lantaran parlemen menjadi himpunan kaum pragmatis yang tak memiliki kejelasan ideologi. Multipartai yang terlampau colorful hanya membuka koridor selebar-labarnya bagi kalangan parlemen merecoki kekuasaan presiden hingga pada hal-hal yang tidak perlu.

Tentu, tiga hal yang dibentangkan media massa itu terbuka luas untuk dipertanyakan kesahihannya. Tapi, satu hal yang secara telak menggambarkan adanya empirisme naif terkait dengan tak adanya kehendak secara sungguh-sungguh meredam laju peningkatan jumlah Parpol peserta Pemilu. Melalui pembiaran khas kaum medioker, KPU gagal memverifikasi secara sangat ketat agar jumlah Parpol dalam Pemilu 2009 tak lebih besar dibandingkan jumlah Parpol dalam Pemilu 2004. Kesan yang terekspresikan dari pemberitaan media massa itu ialah absennya upaya sungguh-sungguh ke arah simplifikasi jumlah Parpol peserta Pemilu 2009. Sebuah kesaksian bahkan menyebutkan, bahwa proses verifikasi faktual Parpol kehilangan maknanya, lantaran tak tegasnya petunjuk teknis KPU (Kompas, 8 Juli 2008, hlm. 15). Tentang kelayakan kantor sebuah Parpol, misalnya, KPU tak memberlakukan standarisasi yang indispensible. Begitu juga dengan proses verifikasi faktual anggota Parpol, sejatinya didatangi satu per satu. Ternyata, proses verifikasi faktual anggota Parpol dikumpulkan di satu tempat. Dengan sendirinya, verifikasi faktual anggota Parpol tak dilakukan berdasarkan kejelasan metodologi. Akibatnya, Parpol yang dinyatakan lolos verifikasi berada dalam jumlah yang sangat besar.

Kualitas demokrasi jelas ditentukan oleh kualitas perpolitikan di parlemen. Kualitas perpolitikan di parlemen ditentukan oleh ketegasan Parpol berpihak pada kepentingan rakyat. Tragisnya, Parpol kini hanya mendorong perpolitikan di parlemen bekerja sebagai sel-sel hidup bagi masuknya pengaruh dan anasir neoliberalisme. Itulah mengapa, perampingan jumlah Parpol merupakan prasyarat agar parlemen mengusung ideologi sosial-demokrasi—seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sayang seribu sayang, perampingan ini gagal ditangkap makrifat dan hakikatnya oleh kelembagaan KPU. Ooh KPU! Oooh…..[]

Tanggapan atas tulisan ini dapat dikirimkan ke: anwari_wmk@plasa.com atau anwari_kpj@yahoo.com.

Tidak ada komentar: