Kamis, 26 Juni 2008

Angket DPR, Brutalitas Mahasiswa

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Pada edisi 25 Juni 2008, halaman muka surat-surat kabar diwarnai oleh narasi pemberitaan tentang dua hal yang muncul secara simultan sehari sebelumnya, yaitu; (1) lolosnya usulan Hak Angket (baca: hak menyelidiki) anggota DPR-RI demi menguak kesalahan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 24 Mei 2008, dan (2) brutalitas mahasiswa dalam aksi demo di luar gedung DPR/MPR. Dengan perspektifnya masing-masing, setiap surat kabar berusaha menyorot secara kritis dua peristiwa tersebut. Beberapa surat kabar fokus pada pembicaraan tentang brutalitas demo mahasiswa. Koran Tempo, misalnya, di halaman depan menurunkan berita bertajuk “Demo Brutal”. Bahkan di halaman A2, Koran Tempo menampilkan berita bertajuk “Warga Kecam Aksi Anarki”. Narasi pemberitaan ini berbicara tentang posisi peserta demo manakala diteropong dari sisi kepentingan umum. Bukan menolong, mereka malah menyengsarakan rakyat. Kesepakatan anggota DPR menggulirkan Hak Angket, pada akhirnya dikonstruksi Koran Tempo dalam pemberitaan semata menjadi semacam side line terhadap berita demo brutal.

Indo Pos mengambil posisi paralel dengan Koran Tempo. Atas dasar ini, Indo Pos menurunkan berita besar bertajuk “Demo Mahasiswa Makin Anarkis”. Dengan disertai sejumlah foto, brutalitas demo mahasiswa digambarkan Indo Pos dengan narasi kalimat: Lempar bom molotov ke areal DPR, bakar mobil polisi dan plat merah. Di halaman 13 pada edisi yang sama, Indo Pos menurunkan berita bertajuk “Ribuan Penumpang Bus Way Terlantar”. Tak cukup hanya itu, Indo Pos pun mempublikasikan editorial berjudul “Perjuangan Moral Tak Patut dengan Anarki”. Editorial ini berbicara tentang dilema gerakan mahasiswa Indonesia pasca-Orde Baru. Pada satu sisi, gerakan mahasiswa masih mengusung perjuangan moral. Tetapi pada lain sisi, gerakan mahasiswa terjerembab ke dalam praksis demokrasi anarkis. Editorial Indo Pos lalu menyuguhkan narasi kalimat seperti ini: “Tak pelak yang jadi “korban” ialah rakyat yang justru tengah diperjuangkan kepentingannya oleh para mahasiswa”.

Dari sini pertanyaan bernada kritikal muncul ke permukaan: Adakah hubungan kausalitas antara demo brutal mahasiswa dan lolosnya usulan Hak Angket di DPR? Media Indonesia dan The Jakarta Post memberi jawaban “ya” terhadap pertanyaan ini. Media Indonesia menurunkan headline bertajuk “Demonstran Tekan DPR dan Angket Pun Lolos”. Sementara, The Jakarta Post menampilkan kalimat: “Facing pressure from students on the street, the House of Representative decided Tuesday, by an open vote, to conduct a review of the government unpopular fuel price policy”. Dengan demikian jelas pada akhirnya, brutalitas dalam demo mahasiswa menjadi semacam prasyarat bagi lolosnya usulan Hak Angket DPR. Dari dua surat kabar ini kita sesungguhnya mendapatkan informasi yang sangat penting, betapa tidak otentiknya gagasan dan pemikiran yang mendasari terbentuknya konsensus di DPR untuk menjalankan Hak Angket.

Sekadar catatan, voting yang melibatkan 360 anggota yang hadir dalam Rapat Paripurna DPR menghasilkan komposisi suara 233 orang anggota menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan Hak Angket dan 127 orang anggota menolak. Praktis, penolakan hanya dilakukan oleh Fraksi Partai Golkar (F-PG) dan Fraksi Partai Demokrat (F-PD). Namun tragisnya, satu dari 86 anggota F-PG menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan Hak Angket. Sehingga, secara keseluruhan, formasi dukungan terhadap Hak Angket sebagai berikut: Partai Golkar (1), PDI-P (75), PPP (36), PAN (36), PKB (27), PKS (34), BPD (7), PBR (10), PDS (7). Formasi ketidaksetujuan mencakup PG (85) dan PD (42).

Melalui editorialnya bertajuk “Ekspresi Kemuakan Kepada Kekuasaan”, Media Indonesia menafsirkan formasi dukungan Hak Angket itu sebagai akibat dari kembalinya demonstrasi jalanan sebagai panglima. DPR yang biasanya plintat-plintut dalam menggunakan Hak Angket dan Hak Interpelasi (baca: hak bertanya), akhirnya takluk di bawah tekanan parlemen jalanan. “Selama ini”, tulis editorial Media Indonesia, “penggunaan Hak Angket dan Hak Interpelasi cuma menjadi mainan DPR. Itulah yang diantisipasi demonstran bakal terjadi. Dan, memang dari sikap fraksi yang disampaikan pada pemandangan umum dalam sidang DPR jelas tampak kecenderungan menolak Hak Angket dan Hak Interpelasi itu.”

Manakala disimpulkan, ada tiga bentuk pergumulan politik dalam proses lahirnya konsensus penggunaan Hak Angket di DPR pada 24 Juni 2008 itu. Pertama, pandangan umum fraksi-fraksi. Kedua, lobi antarfraksi melalui skorsing rapat paripurna. Ketiga, voting untuk menentukan jumlah dukungan terhadap penggunaan Hak Angket. Dalam pandangan umum fraksi-fraksi, pendukung Hak Angket mencakup PDI-P, PKB, BPD, PBR dan PAN. Fraksi-fraksi yang menolak Hak Angket karena lebih memilih pelaksanaan Hak Interpelasi mencakup PG, PD, PPP, PKS dan PDS. Ternyata, skorsing yang diisi oleh lobi antarfraksi mengubah peta dukungan terhadap pelaksanaan Hak Angket. Terbukti dalam voting, PPP, PKS dan PDS balik arah untuk kemudian mendukung pelaksanaan Hak Angket. Realisme inilah yang kemudian digambarkan sebagai adanya “dinamika lobi antarfraksi” (Pikiran Rakyat, 25 Juni 2008, hlm, 1 dan 7). Atau dalam istilah Kompas, “penuh kejutan, di luar dugaan”. Namun pertanyannya kemudian, bagaimana membaca realitas ini?

Kita tahu, apa yang terjadi pada 24 Mei 2008 itu adalah berubahnya usulan Hak Angket beberapa orang anggota DPR menjadi Hak Angket kelembagaan DPR berkenaan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Inilah sebuah teknikalitas politik yang belum masuk secara sungguh-sungguh ke dalam pelaksanaan Hak Angket itu sendiri. Hal mendasar yang dibutuhkan kemudian ialah pembentukan Panitia Khusus Angket DPR RI yang anggotanya dari berbagai fraksi. Setelah itu, DPR melakukan penyelidikan bersama terhadap kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga BBM. Dengan demikian pula, sesungguhnya jalan masih panjang untuk sampai pada kesimpulan, bahwa pelaksanaan Hak Angket memberikan kemaslahatan pada bangsa ini.

Maka, hal krusial yang penting dicatat dari sejak sekarang terkait dengan tiga situasi. Pertama, seperti dibeberkan Media Indonesia dan The Jakarta Post, besarnya dukungan terhadap pelaksanaan Hak Angket terutama dikonsidikan oleh munculnya tekanan-tekanan kaum demonstran yang berserak di luar gedung DPR/MPR. Kedua, para pendukung Hak Angket sesungguhnya tengah memanfaatkan momentum untuk memperbaiki citra DPR yang coreng-moreng oleh berbagai macam skandal (lihat editorial “Hak Angket dan Ambivalensi DPR”, Seputar Indonesia, 26 Juni 2008, hlm. 6). Ketiga, perjuangan untuk menjalankan Hak Angket tak disertai oleh kejelasan konsepsi. Balik arahnya beberapa fraksi untuk kemudian mendukung pelaksanaan Hak Angket setelah lobi antarfraksi justru membuktikan terjadinya kekosongan konsepsi. Fraksi yang balik arah ini hanya melontarkan argumen yang bernuansa normatif, seperti “Hak Angket diarahkan untuk membedah karut-marut kebijakan energi nasional” (Republika, 25 Juni 2008, hlm.1).

Bagaimana pun, Hak Angket penting digulirkan untuk menyelidiki sosok sesunguhnya dari “hantu” neoliberalisme dalam kebijakan kenaikan harga BBM. Celakanya, segenap argumentasi dan sepak terjang DPR yang mengawali pengguliran Hak Angket itu tumpul dari pemahaman bersimaharajalelanya kekuatan dahsyat neoliberalisme pada tubuh kabinet ekonomi. DPR tidak mengusung amanat penderitaan rakyat melalui Hak Angket itu. Semuanya hanyalah pencitraan. Tak lebih dan tak kurang.[]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

nice blog pak.....jangan lupa ikuti juga blog saya.....kasih tau terus bila ada postingan baru.....
terimakasih sebelumya...