Kamis, 05 Juni 2008

Mengelola Negara Tanpa Pamrih

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Bagi saudagar besar semacam M. Jusuf Kalla, terlibat pengelolaan negara secara tulus bukanlah perkara sulit. Dengan kekayaan keluarganya, ia mampu mengatasi kecilnya pendapatan sebagai Wakil Presiden dibandingkan dengan besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Itulah mengapa, keluarga besar Kalla menyediakan dana hingga Rp 60 juta per bulan untuk M. Jusuf Kalla (lihat Tempo, No. 3712/12-18 Mei 2008, hlm. 41). Dengan dana tombokan ini dua hal hendak dicapai. Pertama, M. Jusuf Kalla diharapkan tenang menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden. Kedua, M. Jusuf Kalla diharapkan mampu tak mengotori kekuasaan yang ia emban dengan, misalnya, melakukan tindak pidana korupsi. Maka, sangat bisa dimengerti, mengapa ketika berlangsung peluncuran buku Damai di Aceh karya mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, di Jakarta (16 Mei 2008), M. Jusuf Kalla begitu fasih berbicara tentang bagaimana mengurus negara dengan tulus.

Sesuatu yang lantas penting digarisbawahi dari ucapan M. Jusuf Kalla adalah seperti berikut. Berbagai persoalan di negeri ini bagaimana pun rumit dan sulitnya, bisa diselesaikan dengan baik. Syaratnya, semua itu dilaksanakan dengan kejujuran, keikhlasan dan kepercayaan. Contoh persoalan yang termasuk paling rumit dan sulit di negeri ini, antara lain, konflik Aceh yang bisa diselesaikan dengan kejujuran dan keikhlasan. Kata M. Jusuf Kalla lagi, “Saya yakin, dengan kepribadian, kejujuran dan keikhlasan serta upaya mendekatkan dengan persoalannya, serumit dan sesulit apa pun persoalan negeri ini, pasti bisa diselesaikan. Konflik Aceh yang sudah 30 tahun tidak bisa diselesaikan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik dan terjalinnya perdamaian di Aceh”. Di atas segalanya, biaya sebesar Rp 3 miliar yang dibutuhkan untuk membicarakan serangkian perundingan perdamaian Aceh di bawah pimpinan Hamid Awaluddin di pihak Indonesia, dipenuhi oleh keluarga besar Kalla (Kompas, 18 Mei 2008, hlm. 2).

Mungkin, tak terlampau berlebihan jika impresi ketulusan dan keikhlasan dalam pengelolaan negara versi M. Jusuf Kalla disimpulkan sebagai heroisme dalam formatnya yang lain. Di tengah kuatnya tarikan untuk melihat negara semata sebagai sumber daya yang teramat besar untuk diperebutkan secara sangat sengit, ketulusan dalam aksentuasi M. Jusuf Kalla menjadi semacam oase di padang gurun gersang. Pada masa Orde Baru kita mengira, hanya jejaring di lingkaran inti rezim kekuasaan yang begitu obsesif mengeruk berbagai sumber daya ekonomi dan politik yang inherent dalam negara. Lingkaran inti rezim kekuasaan Orde Baru dengan mudahnya kita identifikasi sebagai episentrum bagi berlangsungnya reproduksi nepotisme, kolusi dan korupsi. Ternyata, berlalunya rezim kekuasaan Orde Baru membuka lebar-lebar kotak pandora tentang buruknya pengeloaan negara di berbagai lini. Obsesi besar untuk mengusai aneka sumber daya yang inherent dalam negara ternyata mendistorsi tata kelola negara di berbagai lini.

Tata kelola negara pada era reformasi lalu menorehkan catatan yang tak kalah buruknya dibandingkan dengan tata kelola negara pada era Orde Baru. Dengan realisme ini, maka hampir tidak ada satu hari pun publikasi media masa bersih dari narasi pemberitaan tentang korupsi. Pejabat publik dalam statusnya sebagai si tertuduh dalam tindak pidana korupsi di kelembagaan eksekutif maupun legislatif, memenuhi halaman koran-koran nasional dan daerah. Bahkan, pejabat-pejabat yudikatif pun terseret-seret ke dalam pusaran korupsi. Pada satu sisi, kita dibuat muak berhadapan dengan narasi berita semacam ini. Di lain sisi, sulit dibantah bahwa inilah fakta kongkret di seputar punahnya keikhlasan dan kejujuran dalam mengelola negara. Muara dari semua narasi tentang korupsi ialah terlampau kuatnya pamrih dalam tata kelola negara. Dengan kata lain, sangat sedikit jumlah penjabat negara yang bekerja tanpa pamrih. Sebagian terbesarnya justru bekerja dengan pamrih. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa gejala narsisme begitu kuat mewarnai tata bicara, tata laku dan tata sikap pengelola negara. Saat berhadapan dengan publik, misalnya, para pejabat negara terbiasa membangun kesadaran palsu. Mereka membius publik melalui serangkaian pidato dan pengucapan yang sepintas lalu berspiritkan kebangsaan. Padahal, di balik pengucapan bersukmakan kebangsaan itu muncul motif-motif penguasaan segala sumber daya yang inherent dalam negara.

Ketulusan dalam hal mengelola negara, seperti dikatakan M. Jusuf Kalla, merupakan sebuah anomali. Tendensi umum pengelolaan negara justru dengan pamrih. Ketika pamrih ini terpilin secara sangat kuat untuk kemudian melahirkan kenyataan buruk nepotisme, kolusi dan korupsi, Indonesia sebagai bangsa lalu kehilangan harga diri. Dengan kepamrihannya, para pejabat negara tak dapat dijadikan sandaran dan atau penopang ke arah terciptanya daya saing Indonesia di dunia internasional. Bahkan, titian jalan menuju daya saing global dimanfaatkan sebagai ajang perluasan korupsi dalam segala bentuknya. Jual beli kuota ekspor tekstil dan munculnya persoalan ekspor fiktif, merupakan beberapa nokhtah persoalan yang lahir dari kecenderungan besarnya pamrih dalam mengelola negara. Contoh soal yang lain, tercermin pada munculnya aneka ragam pungli dalam proses pelayanan publik. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan akan sesuatu yang membahayakan bagi masa depan bangsa ini, yaitu munculnya aneka Peraturan Daerah (Perda) yang sepenuhnya berjiwa kolonial.

Ketulusan mengelola negara dalam contoh nyata kehidupan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla jelas merupakan kenyataan yang menyerupai partikularitas di tengah kecenderungan besar pejabat negara bekerja penuh pamrih. Malah, ketulusan dalam contoh ini potensial mengundang timbulnya sinisme. Bahwa hanya politikus berlatar belakang saudagar mampu tampil sebagai penjabat negara tanpa pamrih. Di luar latar belakang saudagar, seorang politikus berada dalam kerentanan yang luar biasa dahsyatnya untuk kemudian tampil sebagai pejabat negara penuh pamrih. Sinisme ini lalu mencetuskan pesimisme, bahwa dari sejak sekarang hingga ke masa depan, negeri ini takkan pernah memiliki lagi pejabat yang berkarya dengan tulus.

Prognosa masa depan yang serba suram semacam ini harus diatasi secara seksama dan dengan segera. Hal pokok yang penting terlebih dahulu dikedepankan adalah mengbongkar mitos, bahwa hanya politikus berlatar belakang saudagar mampu berperan sebagai pejabat negara yang tulus. Politikus dari berbagai macam latar belakang apa pun mampu mendedahkan dirinya sebagai pejabat negara yang jujur. Syaratnya, memosisikan jabatan mengelola negara murni sebagai panggilan kebangsaan serta bukan sebagai karir atau pekerjaan. Jika syarat ini dipenuhi, maka terjawab kerinduan akan hadirnya pejabat yang mengabdi pada rakyat. Inilah pejabat yang jauh dari watak dominasi dan hegemoni.

Jika para pendiri bangsa ini mampu menjadi pejabat jujur semacam itu, mengapa pejabat negara di zaman sekarang tidak? Mengapa?[]

Tidak ada komentar: