Rabu, 14 Mei 2008

Bebas dari Kutukan Minyak

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Apa yang kita saksikan sejak awal 2008 adalah ketidakpastian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat kenaikan harga minyak di pasar dunia. Asumsi APBN selalu berubah-ubah lantaran harus disesuaikan dengan struktur baru harga minyak di pasar global. Kita lalu kehilangan percaya diri sebagai bangsa. Dalam menyusun anggaran negara, kita terombang-ambing oleh lonjakan harga minyak di pasar dunia. Seakan tak ada yang lebih penting dipertimbangkan dalam konteks penyusunan APBN, selain terus-menerus mencermati harga minyak di pasar dunia. Secara kategoris, APBN-P memang kemudian menetapkan patokan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi sekitar Rp 127 triliun. Namun demikian tetap muncul kegamangan. Besaran subsidi BBM potensial membengkak antara Rp 150 triliun hingga Rp 200 triliun, yaitu manakala ternyata agenda penghematan BBM gagal diimplementasikan. Pertanyaan filosofisnya lalu berbunyi: Sampai kapan bangsa ini membiarkan dirinya terus terombang-ambing? Tak adakah spirit rawe-rawe rantas untuk mengakhiri keterombang-ambingan itu? Adakah keberanian padare zim yang tengah berkuasa untuk menemukan formula pembebasan bangsa ini dari belenggu minyak?

Proyeksi baru menyebutkan, harga minyak di pasar dunia pada penghujung 2008 bakal menembus US$ 200 per barrel. Ini merupakan perkara super kompleks. Subsidi minyak dalam APBN terancam mengalami pembengkakan. Tanpa adanya kebijakan ekonomi yang sound, ketidakpastian bakal menjalar dengan cepat untuk kemudian “membakar” perekonomian nasional secara keseluruhan. Minyak dalam fungsinya sebagai variabel determinan penyusunan harga pokok, tendensi kenaikannya justru menohok secara telak perekonomian nasional. Ketika perekonomian nasional benar-benar terpojok oleh kenaikan harga minyak, maka tanpa bisa dielakkan bangsa ini berada dalam kutukan. Besarnya ketergantungan kepada minyak, mendorong semua kekuatan ekonomi terjerembab ke dalam titik nadir kahancuran. Atas dasar ini pula penting merumuskan jalan keluar pembebasan diri dari kutukan minyak.

Bagi Indonesia, pembebasan ini memiliki dasar-dasar rasionalitas yang kuat. Seluruh faktor pemicu kenaikan harga minyak berada di luar spektrum perekonomian nasional. Kenaikan harga minyak di pasar global berjalin kelindan dengan segala sesuatu yang tak berkorelasi secara langsung dengan perekonomian bangsa ini, yaitu: (1) kapasitas produksi minyak Saudi Arabia yang tak signifikan, (2) faktor geopolitik akibat terjadinya pergolakan politik dan militer di beberapa negara produsen minyak, (3) besarnya konsumsi minyak China dan India sebagai dua raksasa baru perekonomian dunia, (4) potensi melemahnya US$—sebagai mata uang referensi dalam perdagangan minyak dunia—berhadapan dengan Euro dan Yen. Sejatinya, Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk membebaskan diri dari kutukan minyak.

Dilema Indonesia kini berjalin kelindan dengan tak adanya upaya seksama berpikir di luar kotak (out of box). Belum ada kehendak untuk memasuki fase pembebasan APBN dari determinasi minyak. Berbagai opsi kebijakan yang digulirkan pemerintah, analis dan pengamat ekonomi, tak henti-hentinya mempertimbangkan posisi minyak dalam menentukan besaran APBN. Maka, mengemuka paradigma, bahwa minyak dalam APBN terus-menerus dipersepsi sebagai realisme yang tak terbantahkan. Bahkan, dipandang absurd munculnya gagasan untuk meniadakan aspek minyak dalam APBN. Tak mengherankan jika, tarik-menarik kepentingan ke arah penyelamatan APBN, sebagian terbesarnya ditentukan oleh keberadaan minyak. Berbagai gagasan yang bercorak kontradiktif dalam konteks penyelamatan APBN didominasi persoalan minyak.

Diskusi yang sedemikian rupa mengemuka di ruang publik semakin jauh dari harapan berpikir di luar kotak. Pertama, pemerintah berbicara tentang berbagai skenario penghematan justru demi mengukuhkan posisi minyak dalam APBN. Skenario itu terdiri atas pengalihan 2 juta kiloliter konsumsi premium oktan 88 dengan premium oktan 90, penerapan insentif dan disinsentif tarif listrik, penggunaan lampu hemat energi, konversi minyak tanah ke gas, pemanfaatan energi alternatif dan penggunaan smart card demi menekan terlampau besarnya konsumsi BBM. Sejatinya, semua skenario ini diberlakukan sebagai upaya jangka pendek demi mencapai sasaran jangka panjang pembebasan APBN dari peran determinatif minyak.

Kedua, implementasi secara lebih seksama Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi juga merupakan pengakuan lebih lanjut terhadap besarnya pengaruh minyak terhadap APBN. Sungguh pun Inpres No. 10 Tahun 2005 ini diarahkan untuk mengamankan anggaran subsidi energi sebesar Rp 187,1 triliun dalam APBN-P 2008, lagi-lagi, ini takkan menggeser paradigma ketergantungan kepada minyak. Ketiga, kenaikan harga BBM versi pemerintah dikemukakan sebagai fakta lain besarnya pengaruh minyak terhadap APBN. Itulah mengapa, kenaikan BBM dilandaskan pada realisasi lifting minyak sebesar 927 ribu barrel per hari, kecenderungan harga minyak selama semester I tahun 2008, dan kemampuan dana pengamanan sebesar Rp 9,3 triliun dalam APBN-P untuk menutupi penambahan anggaran subsidi.

Mungkinkah bangsa ini sepenuhnya mampu bebas dari kutukan minyak? Dalam jangka pendek, jelas tidak mungkin. Sehingga, berbagai opsi yang termaktub ke dalam penghematan BBM harus diterima sebagai kerangka pengatasan masalah. Tetapi untuk jangka panjang, harus ada konsensus nasional melepaskan ketergantungan pada minyak. Kalau tidak, APBN bakal diwarnai oleh apa yang disebut oil-related conflict. Indonesia dengan demikian harus mengubah haluan konsumsi energi. Penting dicatat, Indonesia merupakan negeri yang kaya sumber-sumber energi. Selain minyak bumi, Indonesia memiliki batubara, gas bumi, panasbumi, biofuel, tenaga surya, tenaga angin, biomassa dan fuel cell. Sayangnya, minyak bumi, batubara dan gas bumi berada dalam posisi yang sangat menonjol. Dengan sendirinya, terjadi pemubadziran terhadap sumber-sumber energi lain diluar minyak bumi, batubara dan gas bumi.

Dalam konteks ini, tak mungkin kita hanya berbicara tentang diversifikasi energi. Jauh lebih susbtansial lagi dari itu adalah mendekonstruksi format kapitalisme yang hingga kini berbasis energi minyak bumi. Caranya, rezim yang tengah berkuasa kini melakukan upaya over-sacrifice demi mengefektifkan penggunaan seluruh sumber energi yang tersedia di negeri ini. Perluasan pemanfaatan energi di luar minyak bumi itulah yang kemudian ditengarai sebagai postpetroleum economy (lihat Michael Clare, Blood and Oil [New York: Penguin Books, 2004], hlm. 197-201). Jika untuk keperluan ini mengharusnya adanya koreksi secara mendasar terhadap keberadaan korporasi-korporasi minyak asing di Indonesia, maka rezim yang tengah berkuasa tak boleh ragu bertindak. Apa yang hendak dikatakan di sini, diversifikasi energi dalam maknanya yang kongkret harus dilihat berada dalam kerangka kepentingan nasional (national interest) bangsa ini.[]

Tidak ada komentar: