Rabu, 14 Mei 2008

Menyelamatkan Rakyat atau APBN?

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Pada pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Oktober 2005, pemerintah secara repetitif mengumandangkan janjinya, bahwa hingga 2009 takkan ada lagi kenaikan harga BBM. Dengan besaran kenaikan hingga 115%, inilah kenaikan harga BBM dalam skema one shoot inflation. Artinya, hingga 2009, tak ada lagi inflasi tinggi oleh terlampau kuatnya hentakan kenaikan harga BBM. Pada kurun waktu 2005 itu, asumsi harga minyak dalam APBN berada pada kisaran US$ 24 per barrel, sementara harga minyak mentah di pasar dunia mencapai US$ 35 per barrel. Kenaikan harga BBM ini membuahkan penghematan subsidi dalam APBN sebesar Rp 40,1 triliun, tetapi mengakibatkan timbulnya inflasi sebesar 18% (Koran Tempo, 6 Mei 2008, hlm. 1). Dalam realitas hidup masyarakat yang sangat kongkret, dampak inflasi ini berlangsung selama delapan bulan, sehingga sebagian dari rakyat kita yang semula “hampir miskin”, sekitika jatuh miskin (lihat editorial Kompas, 7 April 2008, hlm.6). Jika kenyataan ini disenandungkan, maka akan muncul narasi yang kurang lebih bercorak emansipatoris: “Cukuplah sudah kenaikan harga BBM Oktober 2005”.

Pada kurun waktu selanjutnya, trend kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia tak mengubah sikap pemerintah. Janji untuk tak menaikkan harga BBM terus digelorakan di berbagai forum, dalam konferensi pers dan dalam wawancara menteri-menteri ekonomi di media massa. Menjelang akhir 2007, pemerintah masih menyanyikan lagu yang sama: Tak ada kenaikan harga BBM. Namun, ketika kemudian harga minyak mentah di pasar dunia menembus angka US$ 100 per barrel, para analis ekonomi mulai berbicara tentang keniscayaan menaikkan harga BBM. Dalam APBN-P 2008, subsidi BBM itu bahkan dicanangkan berada pada kisaran RP 126,8 trilun. Kalau tak diberlakukan kenaikan harga BBM, maka APBN-P 2008 bakal memikul beban subsidi yang sangat besar. Para analis juga berbicara tentang pertimbangan ekonomi dan politik. Jika harga BBM dinaikkan, maka pemerintah bertakzim pada pertimbangan ekonomi. Pemerintah dinilai tunduk kepada pilihan logis (rational choice) ekonomi. Sebaliknya jika harga BBM tak dinaikkan, maka pemerintah dinilai mengedepankan pertimbangan politik demi menghadapi pertarungan Pemilu 2009.

Berhadapan dengan opini para analis ekonomi itu, pemerintah hanya mengatakan satu hal. Bahwa kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir. Namun di sini mulai muncul sinyal berkenaan dengan terjadinya peluruhan terhadap janji untuk tak menaikkan harga BBM. Jika semula kenaikan harga BBM diartikulasikan sebagai “tidak mungkin”, pada akhirnya dikumandangkan sebagai “opsi terakhir”. Sebelum merangkul opsi terakhir itu, pemerintah terlebih dahulu melakukan penghematan di berbagai lini. Anggaran departemen dan lembaga negara lainnya bakal dipangkas hingga 15%, perjalanan dinas yang tidak perlu dianulir pelaksanannya, dan pendapatan dari deviden BUMN akan digenjot sebesar mungkin. Pendek cerita, ada sejumlah agenda yang mutlak dilakukan demi menyelamatkan APBN. Kenaikan harga BBM benar-benar diskenariokan sebagai opsi paling akhir ketika tak ada lagi opsi penyelesaian yang dianggap tepat. Sayangnya, semua itu sekadar bergulir sebagai retorika.

Sejurus dengan itu, berbagai proyeksi menyebutkan, bahwa pada penghujung 2008 harga minyak mentah di pasar dunia bakal mencapai US$ 140 per barrel. Para analis ekonomi lalu menyodok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kritik-kritik tajam. Tak adanya kehendak menaikkan harga BBM ditengarai sebagai upaya sang presiden menjaga citra politiknya. Karena itu pula, sang presiden dieksplisitkan sebagai figur yang takut mengambil keputusan tak populer. Kadin dan pengusaha papan atas juga berbicara tentang keharusan untuk menaikkan harga BBM, agar APBN tidak jebol. Bahkan, beberapa tokoh Kadin melemparkan usulan untuk menaikkan harga BBM hingga 30%. Pemerintah tetap merespons semua opini itu dengan narasi yang sama: Kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir.

Antara “ya” dan “tidak”, kenaikan harga BBM lalu mewarnai dinamika rezim kekuasaan. Media massa pun terombang-ambing membaca ketidakjelasan ini. Dengan keyakinan yang luar biasa besarnya, halaman depan harian Sindo edisi 30 April 2008 membentangkan logika kenaikan harga BBM. Secara rata-rata, kenaikan itu dinarasikan mencapai 28,7%. Juga pada edisi 30 April 2008, halaman depan harian Investor Daily mengedepankan salah satu opsi pemerintah berhadapan dengan masalah kenaikan harga minyak di pasar dunia. Opsi itu adalah menaikkan harga BBM sejak Juni 2008. Tetapi harian Jurnal Nasional (30 April 2008, hlm. 2), yang dikenal sebagai koran pendukung SBY, tampil dengan judul mencolok: ”Tak Ada Rencana Kenaikan Harga BBM”. Tampak jelas di sini, betapa sesungguhnya timbul teka-teki berkenaan dengan naik tidaknya harga BBM.

Sungguh pun begitu, pada akhirnya muncul sebuah titik balik. Sidang kabinet terbatas (5 Mei 2008) akhirnya menjatuhkan pilihan akan apa yang disebut “menaikkan harga BBM bersubsidi secara terbatas”. Dalam konteks ini, “terbatas” yang dimaksudkan adalah “kenaikan harga BBM dalam rentang jangkauan masyarakat dan pelaku usaha”. Sebagaimana dibentangkan Presiden SBY ke hadapan pemimpin redaksi media massa nasional, tekanan berat terhadap APBN merupakan latar paling penting kenaikan harga BBM. Di hadapan tokoh-tokoh pers itu, presiden berkata seperti ini: “Tahapan sekarang ini bukan lagi naik atau tidak naik. Kalau naik berapa? Komoditas apa saja? Apakah naiknya 20%, 25% atau 30%? Mengapa sampai pada angka itu? Kemudian instrumen yang menyertai kenaikan harga BBM apa saja?” (Kompas, 6 Mei 2008, hlm. 1).

Sinyal dari sidang kabinet itulah yang kemudian menggulirkan munculnya simulasi kenaikan harga BBM, demi menyelamatkan APBN. Pasokan premium hingga penghujung 2008 yang mencapai 16.950 juta kilo liter mampu menghemat subsidi hingga Rp 25,43 triliun jika harganya dinaikkan sebesar 33,33% (Rp 1500). Sehinga harga baru premium Rp 6.000 per liter. Pasokan solar yang mencapai 11.000 juta kilo liter mampu menghemat subsidi BBM sebesar Rp 13,20 triliun jika kenaikan harganya mencapai 27,91% (Rp 1.200). Sehinga harga baru solar Rp 5.500 per liter. Minyak tanah yang pasokannya mencapai 7.887 juta kilo liter mampu menghemat subsidi BBM dalam APBN sebesar Rp 3,94 triliun, yaitu manakala kenaikannya mencapai 25% (Rp 500), sehinga harga baru minyak tanah Rp 2.500 per liter. Dari total pasokan BBM 35.837 juta kilo liter, maka total penghematan subsidi BBM dalam APBN mencapai Rp 42,57 trilun.

Masalahnya, simulasi ini mengilustrasikan bekerjanya logika instrumental, lantaran tak mempertimbangkan bakal munculnya 15,68 juta orang miskin baru akibat kenaikan harga BBM (Kompas, 8 Mei 2008, hlm. 1). Hal substansial penyelamatan APBN berada dalam spektrum penundaan pembayaran utang luar negeri, penerapan pajak progresif terhadap kontraktor minyak asing, penghapusan pungli dan korupsi sebagai sukma penghematan pengelolaan negara pada berbagai lini, pengurangan margin Pertamina sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO), serta penerapan smart card untuk angkutan umum dan kendaraan bermotor roda dua dengan disertai keseriusan penegakan hukum. Semua ini merupakan agenda yang layak diberlakukan demi menyelamatkan rakyat dan APBN. Jangan sampai bangsa ini diperhadapkan dengan pertanyaan besar, apa sesungguhnya yang tengah berkecamuk dalam kesadaran rezim kekuasaan? Menyelamatkan rakyat atau APBN?[]

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di Infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!

http://nasional.infogue.com/
http://nasional.infogue.com/menyelamatkan_rakyat_atau_apbn_