Kamis, 05 Juni 2008

Kebangkitan Nasional Kaum Neolib

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Jika 20 Mei 2008 dijadikan milestone melakukan refleksi kritis demi menengok ke belakang pada pelataran 100 tahun perjalanan bangsa, hal mendasar apa yang patut dicatat? Juga, manakala 20 Mei 2008 dijadikan milestone melakukan prognosa futuristik hingga 100 tahun ke depan, bagaimana nasib bangsa ini? Agaknya, jawab terhadap dua pertanyaan inilah yang coba dibentangkan editorial media massa nasional menyambut seabad Kebangkitan Nasional. Tentu, editorial setiap surat kabar mengusung aksentuasi spesifik. Tapi, seluruh narasi yang dikemukakan memiliki benang merah seperti termaktub ke dalam dua kalimat tanya itu. Editorial surat-surat kabar nasional juga mengemukakan sebuah kongklusi. Bahwa, kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei 1908 mencetuskan ingatan kolektif tentang Indonesia sebagai bangsa. Sementara, tekstur ke-Indonesia-an dalam ingatan kolektif adalah kemajemukan. Dari tekstur itu lahir dan tumbuh nasionalisme.

Namun jalan berliku menuju masa depan sejak 20 Mei 1908, justru acapkali menjerumuskan anak-anak bangsa ke dalam situasi punahnya ingatan kolektif. Tak mengherankan jika hampir separuh waktu dari 100 tahun sejak 20 Mei 1908 diwarnai tergerusnya ruang publik (public sphere). Antara sadar dan tidak, kita menyaksikan ketercerai-beraian Indonesia dari kerangka bangsa akibat ulah anak-anak bangsanya sendiri. Seabad Kebangkitan Nasional lalu ditandai oleh munculnya otokritik tentang Indonesia yang compang-camping. Persis sebagaimana kemudian dinarasikan dalam berita utama harian Media Indonesia (19 Mei 2008, hlm. 1), momen seratus tahun Kebangkitan Nasional dibahasakan sebagai “Indonesia Memasuki Kebangkrutan Nasional”. Dalam editorialnya pada edisi yang sama, Media Indonesia menohok kesadaran kita bahwa selama seratus tahun, Indonesia tak mengalami kebangkitan apa-apa.

Betapa seriusnya ketergerusan public sphere itu tampak menonjol pada terlampau besarnya desakan kepentingan yang sepenuhnya menyeruak dari ruang privat. Segenap kehendak dan obsesi yang bergemuruh di ruang privat dengan mudahnya merangsak masuk menuju ruang publik. Padahal, 100 tahun lampau, para tokoh yang membidani kelahiran Budi Utomo begitu takzim mendeklarasikan pembersihan ruang publik dari segenap ambisi yang bercorak privat. Sebab, hanya dengan pembersihan semacam ini nasion ke-Indonesia-an bisa dirajut, bahkan menghasilkan negara modern yang menjunjung tinggi humanisme transendental. Apa boleh buat, kesadaran agung para pendiri Budi Utomo itu semakin kehilangan resonansinya di kelak kemudian hari. Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa peringatan Kebangkitan Nasional setiap tahunnya terbentur jalan buntu untuk sekadar ramai sebagai seremoni.

Tampil dengan editorial berjudul “Redefining Nationalism”, harian The Jakarta Post (May 19th, 2008, pp. 6) berbicara tentang diversitas dalam ke-Indonesia-an yang justru memancing timbulnya pertarungan antarsesama anak bangsa. Lagi-lagi, public sphere berada dalam spektrum ketergerusan yang luar biasa dahsyatnya oleh ketamakan orang per orang. Sementara, ketamakan itu menemukan persemaiannya di ruang privat. Ketamakan inilah yang kemudian memasuki fase kecanggihan politik dan komunikasi untuk sepenuhnya berfungsi sebagai penggada demi memperebutkan sumber-sumber daya alam, serta demi memperluas dan memperdalam bersimaharajalelanya korupsi. The Jakarta Post lalu menulis seperti ini; “Instead of being a rallying point to move the nation forward, nationalism in the hands of leaders in independence Indonesia today has became tool for narrow political objectives.” Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa pelan tapi pasti, pada akhirnya, tak ada lagi manusia-manusia agung di kancah perpolitikan Indonesia. Tak ada lagi manusia agung yang memiliki kebesaran jiwa merawat public sphere agar tetap sehat walafiat.

Sebagai titik dalam bentangan historis, milestone yang muncul pada 20 Mei 1908 memiliki ketersambungan makna dengan peristiwa besar pada 17 Agustus 1945. Kebangkitan Nasional mencetuskan resonansi yang sangat kuat ke arah timbulnya Proklamasi Kemerdekaan. Inilah substansi pokok yang termaktub ke dalam editorial Kompas edisi 19 Mei 2008, bertajuk “100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Jika kemunculan Budi Utomo pada 1908 mendedahkan kuatnya pemikiran dan kesadaran kebangsaan, maka Proklamasi 17 Agustus 1945 mempertontonkan sebuah praksis berbangsa dan bernegara. Tetapi ironi yang kemudian mencuat ke permukaan justru hadir secara bersamaan dengan peringatan satu abad Kebangkitan Nasional. Antara 20 Mei 1908 dan 17 Agustus 1945 terjadi pemaknaan secara mendalam terhadap hakikat kebangsaan. Tetapi, rentang waktu antara 17 Agustus 1945 hingga 20 Mei 2008 justru memperlihatkan panorama kelumpuhan Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Bukan saja politik kesejahteraan rakyat gagal diwujudkan dalam kenyataan, gemuruh demokrasi pun terpelanting ke pelataran proseduralisme yang tiada taranya.

Dalam situasi muram semacam itu, di sana sini masih menggeliat optimisme. Pertama, Indonesia diasumsikan mampu menyelesaikan problem elitisme pada aras kuasa politik. Pada satu sisi, elitisme memosisikan negara pada sebuah setting yang berseberangan jauh dengan masyarakat. Tuntutan rakyat akan hakikat demokrasi direspons negara dengan demokrasi prosedural. Elitisme lalu hadir dengan wataknya yang sangat buruk: menegasikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (lihat editorial “Sesudah 100 Tahun Bangkit”, Koran Tempo, 19 Mei 2008, hlm. A2). Pada lain sisi, sikap optimis menyelesaikan perkara ini terkait erat dengan penguatan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, urgensi untuk kembali mengedepankan peran strategis industri manufaktur dalam perekonomian nasional merupakan optimisme dalam bentuknya yang lain. Pemaknaan lebih lanjut Kebangkitan Nasional lalu tak dapat dilepaskan dari pengedepanan peran industri manufaktur dalam garda besar ketahanan ekonomi bangsa (lihat editorial “Momentum Kebangkitan Industri Nasional”, Sindo, 20 Mei 2008, hlm. 6). Gerak dinamis perekonomian nasional ke depan, dengan sendirinya, diasumsikan berjalin kelindan dengan optimisme mengembangkan industri manufaktur.

Sungguh pun demikian, optimisme ini potensial merosot untuk sekadar menjadi ilusi ketika kepemimpinan nasional gagal menghalau masuknya anasir Neoliberalisme (Neolib) dalam pengelolaan negara. Penguasaan sektor produksi, jasa dan perdagangan oleh kekuatan asing ternyata bukan sekadar teknis dan strategi investasi (lihat editorial “Pemimpin yang Baik, Kunci Kemajuan”, harian Investor Daily, 19 Mei 2008, hjlm. 4). Kaum Neolib dari kalangan anak-anak bangsa sendiri telah mengambil posisi sebagai komprador atau kaki tangan kebertekuk-lututan secara bulat-bulat perekonomian nasional bangsa ini pada kekuatan besar imperialisme dan kolonialisme abad XXI. Begitu besarnya akomodasi kepemimpinan nasional terhadap kaum Neolib, maka, diakui atau tidak, kita kini tengah menyaksikan kebangkitan nasional kaum Neolib.[]

Tidak ada komentar: