Kamis, 08 April 2010

Dataran Pertarungan Politik

Anwari WMK

Sebagaimana lazimnya kompetisi politik, para politikus tampil ke depan untuk memperlihatkan dirinya sebagai yang terbaik. Pada setiap kompetisi politik tercipta sebuah panggung yang mempertontonkan adegan politikus melawan politikus lain. Baik pada era otoriter maupun pada zaman demokrasi, begitulah pertautan eksistensial antarpolitikus di Indonesia. Dengan sendirinya, politik membuncah sebagai medan laga pertarungan memperebutkan atom-atom kekuasaan. Maka, pertarungan politikus versus politikus lain merupakan hukum besi (iron law) dalam hal memperebutkan kuasa politik. Inilah suatu bentuk pertarungan yang dinilai patut dan wajar, serta dikaji oleh para ilmuwan sosial-politik sebagai suatu bentuk keadaban.

Hanya saja, muncul kemudian realitas baru selama kurang lebih lima tahun berselang. Bahkan, inilah realitas yang hampir tak ada presedennya sebelumnya. Bahwa, pertarungan politik tidak melulu urusan aktor-aktor politik beserta inner circle yang melingkupinya. Di atas segalanya, publik pun dikondisikan oleh sebuah situasi agar juga terlibat memberikan penilaian terhadap totalitas pertarungan politik. Kompetisi politik, dengan sendirinya, tak semata berada dalam spektrum sempit pengejawantahan ambisi merebut kuasa politik. Lebih dari itu, pertarungan antar-politikus melibatkan penilaian publik.

Pertarungan memperebutkan posisi ketua umum pada sebuah partai politik, misalnya, tak lagi berada dalam satu setting yang semata memosisikan publik sebagai penonton yang pasif. Pandangan dan penilaian publik malah diwadahi ke dalam suatu mekanisme jajak pendapat. Dengan demikian berarti, publik sengaja diposisikan sebagai elemen lain penentu kemenangan pertarungan politik. Kian tampak jelas, publik tak lagi semata penonton. Tetapi juga, ditabalkan sebagai penilai. Dengan demikian berarti, ada semacam evolusi terhadap keberadaan publik.

"Apa yang bisa dimengerti dari kenyataan ini ialah pertarungan politik dengan dataran yang melebar. Tampak jelas di sini, bagaimana sebuah lembaga survei “melayani” seorang kandidat ketua umum sebuah partai politik. Apakah lembaga survei obyektif, itulah masalah berikutnya."

Semula muncul aksioma seperti ini. Tanpa keterlibatan publik dalam hal memberikan pandangan dan penilaian, kompetisi memperebutkan posisi ketua umum partai politik dijamin bisa terus berlangsung. Pada titik ini muncul sebuah real-politik, bahwa pandangan dan penilaian publik bukanlah faktor primer penentu siapa pemenang dan siapa pecundang. Namun pada perkembangan selanjutnya, muncul aksioma baru. Pandangan dan penilaian publik bukan lagi variabel marginal. Para kandidat ketua umum partai politik merasa penting dan perlu mempertimbangkan secara saksama pandangan dan penilaian publik.

Tanpa bisa dielakkan, para kandidat ketua umum partai politik lalu merasa urgen mendekati lembaga-lembaga survei. Melalui riset dan observasi yang dilakukan lembaga-lembaga survei itulah seorang kandidat ketua umum mengukur dan menakar tingkat elektabilitasnya. Melalui riset dan observasi lembaga-lembaga survei itulah kandidat ketua umum partai politik berupaya menemukan ketepatan informasi berkenaan dengan posisi dirinya, sebagai pemenang atau malah pecundang.

Pada contoh kasus pertarungan memperebutkan posisi ketua umum Partai Demokrat dalam konggres di Bandung, 21-23 Mei 2010, kita menyaksikan satu hal: bagaimana dua orang kandidat beradu data survei (Seputar Indonesia, 8 April 2010, hlm. 4). Berdasarkan data survei LP3ES, Anas Urbaningrung mengklaim dirinya sebagai kandidat paling layak memimpin Partai Demokrat selama lima tahun ke depan. Sementara dengan menggunakan data survei Cirus Surveyor, Andi A. Malarangeng juga melakukan klaim yang sama. Alhasil, data survei LP3ES dan Cirus Surveyor menjadi acuan bagi dua kandidat untuk kemudian mengklaim dirinya sebagai yang terbaik.

Apa yang bisa dimengerti dari kenyataan ini ialah pertarungan politik dengan dataran yang melebar. Tampak jelas di sini, bagaimana sebuah lembaga survei “melayani” seorang kandidat ketua umum sebuah partai politik. Apakah lembaga survei obyektif, itulah masalah berikutnya.[]

Tidak ada komentar: