Rabu, 27 Januari 2010

Negara yang Sakaratul Maut

Oleh Anwari WMK

Demi memahami eksistensi para pengelola negara, ternyata tidaklah terlalu penting menimang aspek nama dan sebutan. Secara kategoris, para pengelola negara bisa berarti “pejabat”, “aparat”, “pamong” atau “pegawai negeri sipil”. Disimak berdasarkan perspektif sosiologis, nama dan sebutan tersebut menggambarkan adanya peran, fungsi dan kedudukan seseorang dalam jagat pengelolaan negara. Tetapi kategorisasi ini bukanlah diferensiasi yang sungguh-sungguh bermakna manakala dibandingkan dengan kecenderungan yang hampir seragam mewarnai tata laku para pengelola negara. Artinya, ada semacam similaritas di antara para pejabat negara. Similiritas itu, anehnya, berupa perburuan honor di luar gaji pokok. Keberhasilan mendapatkan honor itu pun menentukan secara telak tingkat kerajinan mereka bekerja sebagai pengelola negara.

Dalam detik.com edisi 27 Januari 2010 disebutkan, bukan rahasia lagi jika pejabat di berbagai kementerian banyak yang menerima honor di luar gaji pokok. Fakta ini kemudian mencetuskan kebiasaan buruk. Antusiasme dan tingkat kerajinan bekerja sebagai aparat negara benar-benar dideterminasi oleh ada tidaknya honor-honor. Jika jumlah honor yang diterima tak memadai, maka timbul situasi disinsetif. Kemunculan honor-honor itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang pembentukan panitia atau sejenis komite dalam sebuah kementerian. Saat panitia atau komite benar-benar riil terbentuk, maka saat itu pula digulirkann usulan pengadaan honor-honor. Tragisnya, tak ada standarisasi berkenaan dengan besaran honor. Itulah mengapa, semakin tinggi tanggung jawab, maka semakin besar pula honor yang diterima.

Apa yang bisa kita mengerti dari kenyataan ini? Honor-honor diposisikan sebagai suatu bentuk “penghargaan” terhadap pelaksanaan tugas di luar tugas-tugas rutin. Artinya, jika komponen honor-honor tidak ada, maka itu merupakan pertanda tak adanya pelaksanaan tugas di luar tugas-tugas rutin. Tapi mengapa kini muncul usulan untuk menghapuskan honor-honor tersebut? Bukankah dengan penghapusan honor-honor itu berarti satu poin penghargaan sengaja ditiadakan? Mungkinkan ini merupakan sinyal terjadinya penggusuran terhadap berbagai item pekerjaan di luar tugas rutin? Ataukah memang, honor-nonor itu sesungguhnya merupakan suatu bentuk kesalahan yang tak terkoreksikan dalam jangka waktu lama?

Tentu, penghapusan honor-honor itu masih bergulir sebatas retorika, sehingga terbuka beberapa kemungkinan. Isu penghapusan bisa berarti peniadaan sama sekali komponen honor dalam maknanya yang riil. Atau, honor-honor tetap ada, namun dengan penamaan yang berbeda. Pokok soalnya di sini adalah honor yang telah sedemikian rupa berfungsi sebagai faktor stimulan timbulnya dinamika kerja pengelola negara. Ini jelas merupakan suatu kelancungan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang yang telah mendedahkan dirinya terlibat aktif dalam pengelolaan negara ternyata hanya bersedia bekerja berdasarkan determinasi tunggal “honor-honor”. Bukankah dengan demikian berarti, impuls yang mendorong berlangsungnya pengelolaan negara bukan lagi cita-cita dan kehendak luhur mengapa negara ini dilahirkan?

Mungkin terkesan absurd dan mengada-ada jika kita berbicara tentang eksistensi para pengelola negara yang bekerja dengan upah rendah. Bukan saja upah rendah itu harus ditentang lantaran melecehkan kemanusiaan, tetapi upah rendah harus ditolak karena mengingkari arti penting meritokrasi dalam tata kelola organisasi secara baik. Atas dasar ini, mutlak diberlakukan sebuah keputusan politik yang memungkinkan para pihak pengelola negara hidup berkecukupan. Hanya saja, hidup berkecukupan berbeda secara diametral dengan hidup berkemewahan. Dalam konteks hidup berkecukupan termaktub pilihan hidup untuk menjadi seorang asketik. Artinya, jangan pernah bermimpi menjadi pengelola negara manakala masih ada kehendak yang tak terbendung untuk hidup berkemewahan. Sementara tragisnya, honor-honor dalam konteks persoalan di atas merupakan suatu bentuk kemewahan yang sengaja dirancang mendopleng pada apa yang disebut “pekerjaan-pekerjaan di luar tugas rutin”.

Persoalan ini lalu membawa kita pada telaah secara saksama terhadap dua hal yang sekilas pintas bertolak belakang satu sama lain. Diferensiasi antara “tugas rutin” dan “di luar tugas rutin” sesungguhnya merupakan kategorisasi yang sangat longgar serta tak memiliki kejelasan batas-batas dan definisi manakala disimak berdasarkan perspektif kepemimpinan dan manajemen. Sangat mungkin, item-item yang tercakup ke dalam kategori “di luar tugas rutin” ternyata secara substansial bertumpang tindih dengan item-item yang termaktub ke dalam kategori “tugas rutin”. Perbedaan antara “tugas rutin” dan “di luar tugas rutin” pun ternyata hanyalah semu belaka. Perbedaan ini merupakan teknikalitas demi mewujudkan ambisi untuk hidup berkemewahan yang dikamuflasekan pada keseluruhan proses tata kelola negara. Dengan kata lain, pengelolaan negara telah dimanipulasi sedemikian rupa menjadi ajang pengerukan sumber daya finansial. Pada titik ini, semakin sulit membayangkan bakal munculnya figur-figur asketik yang bekerja secara pro-bono dalam proses pengelolaan negara.

Mau tak mau, dari sini tersingkap pandangan dunia (Weltanschauung) pengelola negara. Pertama, tak ada lagi keikhlasan otentik dalam proses pengelolaan negara. Baik “pejabat”, “aparat”, “pamong” maupun “pegawai negeri sipil” hanyalah sekumpulan para aktor yang aktif melakukan perburuan finansial dalam kancah negara. Jika generasi pertama setelah Indonesia merdeka melakukan pengelolaan negara dengan disertai kesadaran untuk hidup sederhana atau bersahaja, maka sangatlah sulit kini menemukan figur-figur pengelola negara semacam itu. Tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa aktor-aktor pengelola negara kini dideterminasi oleh basis material.

Kedua, determinasi basis material itu kini benar-benar menemukan aktualisasinya pada kecenderungan lahirnya organ-organ kekuasaan negara yang independen (independent regulatory body) serta munculnya cabang kekuasaan eksekutif (state auxiliary agency). Jika kemunculan independent regulatory body berupa lahirnya “komisi-komisi negara”, maka kehadiran state auxiliary agency mengambil format “badan”, “dewan”, atau “tim” (lihat editorial Kompas, 27 Januari 2010: “Seputar Birokrasi Kekuasaan”). Untuk membuktikan bahwa hal ini merupakan elemen yang tercakup dalam determinasi basis material, semuanya dapat disimak dari dasar hukum pembentukan independent regulatory body maupun state auxiliary agency yang berupa undang-undang, keputusan presiden, atau peraturan pemerintah. Ketidakseragaman dasar hukum ini merupakan indikasi mencolok betapa sesungguhnya keberadaan aktor-aktor pengelola negara kini tak lain dan tak bukan hanyalah petualang yang terus mencari celah menggerus sumber daya finansial yang tersimpan dalam berbagai institusi negara. Jangan heran pula jika kini hampir mustahil menemukan tokoh-tokoh pengelola negara yang jujur dan hidup sederhana seperti halnya Baharuddin Lopa.

Dari kenyataan yang memilukan ini lahir implikasi buruk yang tak terperikan. Para aktor pengelola negara merupakan elemen bangsa yang tak mungkin lagi diharapkan mampu tampil ke depan mengemban tugas kebangsaan dengan mengusung spirit pengorbanan agung demi kejayaan Indonesia. Pragmatisme telah sedemikian rupa mendistorsi tugas-tugas kebangsaan para pengelola negara. Jika aksioma manajemen dan kepemimpinan abad XXI meniscayakan berlakunya prinsip over sacrifice, maka prinsip tersebut mustahil diwujudkan dalam realitas hidup aktor-aktor pengelola negara kini.

Apa boleh buat, para pengelola negara kini merupakan antitesis terhadap cita-cita berdirinya Indonesia merdeka. Jangan heran jika orientasi dan perilaku “pejabat”, “aparat”, “pamong” dan “pegawai negeri sipil” hanya menjerumuskan negara ke dalam stadium sakit yang teramat parah. Bukan saja compang-camping eksistensinya, negara kini benar-benar berada dalam fase sakaratul maut.[]

Tidak ada komentar: