Rabu, 26 Agustus 2009

Dilema Kapitalisme

Oleh Anwari WMK

Max Weber (1864-1920) dalam studinya yang dipublikasikan selama kurun waktu 1904-1905, mengemukakan kesimpulan menarik, bahwa kapitalisme bukanlah sesuatu yang buruk bagi kehidupan umat manusia. Hasil studi sosiolog Jerman itu lantas menjadi terkenal di kalangan ahli ilmu-ilmu sosial di seluruh penjuru dunia setelah tertuang ke dalam buku bertajuk The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Buku ini lalu menjadi karya klasik sosiologi ekonomi yang fokus pada pembahasan tentang sukma atau roh kapitalisme. Kesimpulan paling fundamental dari studi Weber itu ialah etika Protestan yang berperan sebagai faktor penentu tahap awal evolusi kapitalisme Eropa pada abad XIII. Etika Protestan merupakan dasar bagi terciptanya sukses perekonomian berdasarkan kerangka kerja kapitalisme. Ini karena, etika Protestan menjunjung tinggi kejujuran, hemat dan kerja keras.

Secara substansial, kejujuran, hemat dan kerja keras merupakan nilai (values) yang penerapannya merupakan panggilan spiritual. Sebagaimana kemudian mengejawantah ke dalam pandangan Mahzab Calvin di kalangan Kristen Protestan, penyelamatan manusia setelah kematian bergantung pada besarnya orientasi pada kejujuran, hemat dan kerja keras selama menjalani kehidupan di dunia. Jika selama hidup di dunia seorang manusia selalu bersikap jujur, hemat dan berorientasi pada kerja keras, maka setelah kematiannya ia akan terselamatkan. Secara demikian berarti, seorang individu yang jujur, hemat dan pekerja keras selama hidup di dunia otomatis menjadi juru selamat bagi dirinya sendiri di alam akhirat. Max Weber lalu melontarkan narasi kalimat terkenal seperti ini: “The earning of money within the modern economic order is, so long as it is done legally, the result and the expression of virtue and proficiency in a calling.”

Manakala temuan Max Weber itu disimpulkan sebagai teori umum (the general theory), maka jujur, hemat dan kerja keras merupakan kata kunci dari kemajuan ekonomi. Dengan demikian berarti, kapitalisme bisa dengan serta-merta berubah menjadi nubuah yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Selama prinsip kejujuran, hemat dan kerja keras mengejawantah ke dalam kenyataan hidup umat manusia, maka selama itu pula sebuah masyarakat atau sebuah bangsa bisa meraih kemakmuran melalui jalan kapitalisme. Jelas dalam tesis Max Weber, kapitalisme merupakan kemuliaan. Dalam kapitalisme mengejawantah janji kemaslahatan. Dengan menjalankan prinsip kapitalisme, setiap orang terkondisikan untuk menemukan dirinya sendiri sebagai manusia paripurna dalam totalitas orbit perekonomian yang menjujung tinggi kemaslahatan bersama.

Degradasi Makna

Kritik dan apresiasi terhadap tesis Max Weber di kemudian hari bersangkut paut dengan munculnya tekanan sosial politik yang berdampak serius terhadap pilihan individu dalam bidang ekonomi. Kuatnya tekanan sosial politik itu pada giliran selanjutnya justru mengondisikan setiap individu memasuki praksis ekonomi dengan mengabaikan etika. Perekonomian lalu menjadi pertaruhan untuk meraih salah satu dari dua kemungkinan, yaitu jika tak menjadi the winner maka para aktor ekonomi menjadi the losser. Agar tak terjatuh menjadi the losser, pelaku-pelaku ekonomi cenderung memilih abai terhadap segenap imperatif yang termaktub ke dalam etika kejujuran, hemat dan kerja keras. Apa yang dewasa ini dikenal luas sebagai perekonomian gelembung sabun (bubble economy) merupakan akibat logis dari tata kelola perekonomian yang kian menjauh dari kerangka etik kejujuran, hemat dan kerja keras. Dengan sendirinya, kapitalisme diperhadapkan dengan problem degradasi makna.

Selama kurun waktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II, tekanan sosial politik benar-benar menghimpit keberadaan sistem kapitalisme. Perang, revolusi dan depresi yang terjadi selama kurun waktu tersebut meluluh lantakkan hakikat kapitalisme seperti diidealisasi dalam tesis Max Weber. Bangkitnya totalitarianisme Nazi di Jerman, misalnya, meniscayakan kapitalisme untuk serta-merta dioplos dengan sosialisme negara. Setelah Perang Dunia II berakhir, tekanan sosial politik yang menghantam kapitalisme tidak berakhir dengan sendirinya. Justru, pada era pasca-Perang Dunia II, Rusia tampil sebagai pemimin Blok Soviet yang secara artikulatif mengusung ambisi untuk mengubur kapitalisme ke dalam perut bumi sejarah.

Hingga memasuki fase kehancuran melalui robohnya Tembok Berlin pada penghujung dekade 1980-an, Blok Soviet tak pernah berhasil meruntuhkan sistem kapitalisme. Bahkan hingga dekade 1960-an, negara-negara kapitalis di Barat menikmati masa-masa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, inflasi rendah serta membaiknya standar kehidupan masyarakat. Namun selepas dekade 1960-an, kekukuhan kapitalisme diporak-porakdakan oleh dinamika internal kapitalisme itu sendiri. Inflasi merupakan gejala yang tak dapat dijinakkan oleh rezim pada banyak negara di dunia. Di negara-negara kapitalis, inflasi bahkan menjadi sebuah ledakan yang tragisnya diikuti oleh timbulnya problem pengangguran. Inflasi dan pengangguran pun bermetamorfosis menjadi masalah kembar yang dihadapi oleh banyak negara kapitalis di dunia. Sementara, inflasi dan pengangguran merupakan penyakit yang sebab-sebabnya mutlak untuk ditelusuri dari kancah sosial politik. Masih relevankah berbicara tentang kapitalisme dalam kerangka etik, itulah kemudian persoalannya.

Spekulasi Brutal

Tatkala tekanan sosial politik membuncah hingga mencapai derajat yang sangat tinggi, aktor-aktor ekonomi berada dalam satu hentakan untuk semata bertindak pragmatis. Spekulasi brutal lalu menemukan ladang persemaian secara sangat subur dalam sistem kapitalisme. Krisis perekonomian di Amerika Serikat (AS) yang terjadi sejak 2007 dan ditandai oleh kolapsnya bank-bank investasi, sesungguhnya merupakan akibat logis dari eksesifnya spekulasi brutal itu. Tak tanggung-tanggung, krisis perekonomian di AS itu kemudian merembeskan pengaruhnya terhadap perekonomian global. Dan ketika kemudian muncul persepsi baru bahwa perekonomian global telah berakhir sejak Agustus 2009, persepsi ini pun dipertanyakan kesahihannya. Sangat bisa dimengerti mengapa Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke, bebicara dengan nada bimbang saat menyinggung berakhirnya krisis perekonomian global. Menurut Ben Bernanke, pemulihan ekonomi AS bakal berjalan lambat dan pengangguran tetap tinggi selama tahun 2010.

Secara kategoris, spekulasi brutal berhubungan erat dengan jual beli saham bodong tetapi dikamuflase sedemikian rupa dengan pencitraan bahwa saham-saham bodong itu memiliki rating A+++. Ketika jual beli saham bodong itu melibatkan aksi para investor dari banyak Negara di dunia, maka dari sinilah kemudian perekonomian diharu-biru oleh spekulasi yang dari hari ke hari kian brutal. Kuatnya cengkreman spekulasi secara brutal inilah yang kemudian menghantarkan Gubernur Bank Sentral Uni Eropa, Jean-Clude Trichet, berkesimpulan bahwa perekonomiann dunia belum kembali ke titik normal. Jean-Clude Trichet lalu berbicara tentang arti penting pengetatan aturan. Uni Eropa kini, menurut Jean-Clude Trichet, memberi perhatian secara saksama kepada aksi-aksi spekulasi dan teknis permainan brutal pada sektor keuangan.

Pada akhirnya, negara-negara kapitalis benar-benar berada dalam satu titik pertaruhan untuk kembali pada etika kejujuran, hemat dan bekerja keras. Atau, mereka terus menumbuh suburkan spekulasi yang brutal. Jika pilihannya yang pertama, maka kapitalisme masih bisa diharapkan menjadi jalan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi jika ternyata pilihan jatuh pada yang kedua, bersiapkan menerima kenyataan bahwa kapitalisme mencetuskan resesi, krisis dan depresi. Itulah dilema kapitalisme yang bisa dengan segera dirasakan dampaknya oleh perekonomian global.

Tidak ada komentar: