Sabtu, 01 Agustus 2009

ARAB, ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh Anwari WMK

Potret dunia Arab pada kurun waktu mutakhir lebih didominasi oleh timbulnya paradoks. Pada satu sisi, dunia Arab diakui sebagai kawasan yang memiliki sejarah panjang kebudayaan, seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Tapi pada lain sisi, dunia Arab merupakan sebuah potret berkenaan dengan kejatuhan berbagai negara bangsa dalam maknanya yang modern. Terlebih lagi sejak pasca-Perang Dunia II, dunia Arab menjadi panggung munculnya rezim-rezim kekuasaan yang korup, kaku dan otoriter. Itulah mengapa, pembicaraan tentang kebangkitan dunia Arab memiliki aksentuasi tertentu untuk ditilik secara saksama. Mungkin dari pembicaraan tentang kebangkitan itu kita bisa mengambil pelajaran berharga dari pemanfaatan warisan kebudayaan, seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan agama sebagai dasar mencapai kehidupan yang lebih maju, modern dan sekaligus berkeadilan.

MASYARAKAT, NEGARA DAN KUASA

Sesuatu yang dirasakan sebagai kegagalan dunia Arab terpatri ke dalam relasi kuasa antara negara dan masyarakat secara vis-à-vis. Sulit dipungkiri fakta dan kenyataan, bahwa di dunia Arab masyarakat terkendala untuk mendapatkan kebebasan. Akibatnya sungguh serius. Hingga kini, enam negara di dunia Arab—Saudi Arabia, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar dan United Arab Emirates—melarang pendirian partai-partai politik. Dalam kaitan makna dengan kemanusiaan, negara malah menjadi ancaman permanen ke arah punahnya keselamatan individu dalam masyarakat. Kekuatan bersenjata pendukung negara dengan mudahnya mencerabut hak hidup seseorang dalam masyarakat. Metode yang dipergunakan adalah kekerasan dan intimidasi. Relasi-relasi kuasa di dunia Arab pun pada akhirnya menafikan arti penting formasi kekuatan kaum muda—yang progresif—sebagai dasar terciptanya perubahan menuju taraf kehidupan masyarakat warga (civil society) secara lebih baik.

Langsung maupun tak langsung, semua ini tak bisa dilepaskan dari ilusi kepemimpinan politik di dunia Arab. Sebagaimana tercermin di Mesir, sudah 28 tahun lamanya Presiden Hosni Mubarak berkuasa. Moammar Qaddafi di Libia mengendalikan tampuk kepemimpinan politik selama 40 tahun, terhitung sejak 1969. Sementara di Siria, setelah sekitar tiga dekade Presiden Hafez Assad berkuasa, maka setelah wafat Hafez Assad digantikan oleh puteranya, Bashar Assad. Ilusi kepemimpinan politik inilah yang memperumit relasi kuasa negara dan masyarakat.

Di bidang ekonomi, persoalan berada dalam derajat yang tak kalah peliknya dibandingkan dengan bidang politik. Besarnya kekayaan minyak, ternyata, kontras dengan meluasnya tingkat kemiskinan. Bahkan, sebagaimana dilaporkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di negara-negara petro-dollar Arab masih terdapat penduduk yang tingkat penghasilannya kurang dari US$ 2 per hari atau kurang dari Rp 20 ribu per hari. Juga karena alasan kemiskinan itu, maka UNDP memperkirakan bahwa dunia Arab dituntut mampu memberikan lapangan kerja kepada 50 juta orang dari kalangan kaum muda pada tahun 2020. Namun besarnya angkatan kerja dari kalangan kaum muda ini merupakan tantangan yang sangatlah tidak mudah penangannya. Ini karena, relasi kuasa yang terus bergulir hingga kini di dunia Arab tak cukup adaptif untuk menangani trend peningkatan jumlah tenaga kerja dari kalangan kaum muda.

Pertanyaan yang kemudian menarik dikemukakan terkait dengan penelusuran terhadap dimensi-dimensi sosiologis penyebab timbulnya relasi kuasa yang telah meniadakan kebebasan masyarakat. Apakah relasi kuasa semacam itu berpijak pada kebudayaan yang berkembang di dunia Arab? Apakah kultur dunia Arab tidak kongruwen dengan format demokrasi yang berkembang di Barat? Ataukah relasi kuasa yang sedemikian rupa itu merupakan kelanjutan logis dari perkembangan historis dunia Arab? Mungkinkah rivalitas dan pertarungan yang melibatkan kekuatan global—seperti imperialis maupun Zionis—ikut membentuk relasi kuasa otoritarian di dunia Arab?

Perkembangan demokrasi, bagaimana pun, mengambil anasir dari banyak aspek. Demokrasi tak pernah tumbuh dan berkembang dari ruang vakum, dan tidak juga karena faktor tunggal. Karena itu, substansi yang termaktub ke dalam berbagai pertanyaan yang dikemukakan di atas sangat mungkin untuk kemudian membentuk perspektif tentang demokrasi di dunia Arab. Pertarungan panjang Amerika Serikat versus Iran sejak akhir dekade 1970-an, sedikit banyaknya mempengaruhi upaya bina demokrasi di dunia Arab. Apakah dunia Arab akan mengadopsi model demokrasi Amerika Serikat atau Iran, dengan demikian lalu merupakan pertanyaan kritikal. Begitu juga ketika Iran mulai menyodok ke depan sebagai kekuatan hegemonik pada tingkat regional dalam mengobarkan kebencian terhadap Israel, dunia Arab semakin “terseret” ke dalam suatu titik persoalan berkenaan dengan model-model demokrasi yang harus diadopsi. Namun di atas segalanya, terberangusnya kebebasan masyarakat terus bertahan sebagai persoalan yang tak terpecahkan.

PROSPEK DEMOKRASI

Boleh jadi, dunia Arab merupakan panggung politik yang menyimpan kekuatan dahsyat demi membuktikan adanya kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Probabilitas ini terkait dengan dua hal. Pertama, di kawasan Timur Tengah, Iran merupakan negara yang membuktikan dirinya mampu menjalankan mekanisme demokratis dalam suksesi kepemimpinan nasional. Terlepas dari berbagai penilaian tentang praksis demokrasi di Iran sebagai manifestasi dari teokrasi, paling tidak dunia Arab dapat berkaca kepada Iran mengapa sampai dewasa ini belum juga terselenggaran pemilihan umum (general election) di seantero dunia Arab.

Kedua, negara-negara Muslim non-Arab—seperti Turki dan Indonesia—yang tampil ke depan sebagai negara demokratis, sejatinya mengondidikan dunia Arab untuk juga melakukan ihktiar menjadi kawasan demokratis. Jika negara-negara Muslim non-Arab mampu berbenah diri menuju suatu titik keberangkatan menjadi negara demokratis, mengapa tidak dengan dunia Arab? Itulah mengapa, ketimbang berprasangka buruk bahwa dunia Arab kosong dari potensi demokrasi, maka jauh lebih bijaksana manakala kita bertakzim pada asumsi dasar bahwa sesungguhnya di dunia Arab tersimpan kekuatan maha dahsyat ke arah terwujudnya demokrasi.

Asumsi berkenaan dengan tersimpannya kekuatan dahsyat demokrasi di dunia Arab itu sedikit banyaknya mulai tersingkap oleh adanya pemilihan umum di Lebanon, Palestina dan Irak pada 2009. Sekalipun sebagian terselenggarakan oleh desakan dari luar—faktor Israel dalam konteks pemilihan umum di Palestina dan faktor Amerika Serikat dalam pemilihan umum di Irak—pemilihan umum telah memperlihatkan tumbuhnya tradisi berdemokrasi dalam mengelola kekuasaan politik. Kesulitan dunia Arab memahami arti penting demokrasi sesungguhnya dapat dipecahkan melalui penyelenggaraan pemilihan umum itu.

Benar bahwa demokrasi tak hanya berjalin kelindan dengan pemilihan umum. Sebab, kewibawaan demokrasi ditentukan oleh faktor pendidikan, toleransi serta independensi kelembagaan pers dan peradilan. Namun demikian, pemilihan umum merupakan indikator yang sangat penting untuk menggerakkan aneka faktor penyokong praksis demokrasi. Jika pemilihan umum terselenggara dengan diwarnai chaos dan kekerasan, maka dapat dipastikan dimensi lain penentu tegaknya demokrasi belum bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Maka, pada titik ini lalu muncul teka-teki yang lain. Mungkinkah bakal terjadi kebangkitan di dunia Arab menuju pelataran demokrasi? Dengan nada getir harus dikatakan, bahwa jawabnya “tidak”.

Dalam beberapa waktu ke depan, dunia Arab takkan beranjak jauh menjadi lebih baik. Rakyat di dunia Arab masih membutuhkan waktu lama untuk dapat hidup dalam alam demokratis. Tetapi, kenyataan ini tak bisa disimpulkan sebagai tak adanya koherensi antara Islam dan demokrasi. Sebab di belahan dunia lain, seperti Turki dan Indonesia, Islam sejalan dengan demokrasi. Kita kini sedang menunggu, kapan dunia Arab belajar menemukan kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Semoga kita tak pernah bosan menunggu.

Tidak ada komentar: