Senin, 08 Juni 2009

Manohara di Ruang Publik

Oleh Anwari WMK

Akhirnya, simpati publik terhadap Manohara Odelia Pinot (17) memasuki fase antiklimaks. Bagaimana tidak? Pada mulanya, Manohara menyedot simpati publik secara sangat luas. Dalam situasi menjelang pemilu presiden 8 Juli 2009, gemuruh pemberitaan politik media massa benar-benar ditimpali cerita bernuansa tragis tentang Manohara. Infotainment—yang sudah over dosis di televisi nasional—pun diwarnai cerita duka Manohara. Setelah itu, simpati publik menurun drastis. Terutama setelah advokad senior O.C. Kaligis menyatakan mundur sebagai pengacara Manohara, mulai tersingkap bahwa Manohara mendramatisasi kasus yang menimpa dirinya. O.C. Kaligis menganggap, apa yang dialami kliennya hanya kebohongan (Seputar Indonesia, 7 Juni 2009, hlm. 12).

Bak melodrama, Manohara semula tampil ke ruang publik dengan mencuri belas kasih banyak orang di negeri ini. Ia mendedahkan dirinya sebagai “putri yang teraniaya”. Siapa tak terenyuh mendengar ceritanya. Dalam usia belia ia dinikahi seorang pangeran dari Kesultanan Kelantan, Malaysia, bernama Tengku Muhammad Fakhry (31) alias Tunku Temengganong. Berdasarkan cerita versi Daisy Fajarina, Manohara menderita siksaan fisik oleh tindak kekerasan yang dilakukan suami Manohara sendiri. Daisy, tak lain dan tak bukan, adalah ibunda Manohara. Daisy pula yang membeberkan ke media massa, Manohara tengah terbelit persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Baik melalui berita maupun wawancara televisi, Daisy menggambarkan Tengku Muhammad Fakhry sebagai pelaku KDRT dan Manohara sebagai korbannya.

Secara kategoris, pemberitaan media massa nasional tentang Manohara terbagi ke dalam dua segmen. Segmen pertama, ketika Manohara masih tinggal bersama sang pangeran di Kelantan. Segmen kedua, tatkala Manohara berhasil diboyong ke Jakarta oleh sang ibu dari Singapura. Pada segmen pertama itulah perasaan publik diaduk-aduk, dibuat terkesima oleh peristiwa pada 30 April 2009, di mana Daisy konon melaporkan kasus penghinaan, penipuan, penculikan, dan perbuatan tak menyenangkan yang dialami Manohara. Melalui wawancara dengan tvOne, sambil menangis Daisy membeberkan derita yang meluluh lantakkan eksistensi Manohara. Mendadak sontak muncul kesimpulan di benak publik, betapa orang-orang Indonesia di Malaysia tak habis dirundung malang. Publik dibikin geram oleh cerita tentang Manohara yang teraniaya. Jika Manohara yang berlatar belakang kelas menengah saja diperlakukan tak manusiawi, bagaimana pula dengan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Malaysia yang mengadu nasib sebagai jongos?

Tetapi pada segmen kedua cerita Manohara, publik dibenturkan dengan sejumlah pertanyaan. Secara kasat mata, Manohara dan Daisy lebih sibuk mengurusi wawancara di sejumlah televisi. Semestinya, mereka memasuki fase tindakan yang lebih fundamental. Seperti kata O.C. Kaligis, Manohara tak mementingkan sesuatu yang penting: meminta visum dokter demi mendapatkan bukti empirik tindak kekerasan. Sebab, hanya visum yang dapat membuktikan kebenaran, jika Manohara memang disilet dan disetrika oleh suaminya. Kuat kesan, prosedur ini diabaikan. Itulah mengapa, O.C. Kaligis lebih memilih mundur sebagai pengacara Manohara.

Disimak berdasarkan teropong semiotik, tampak terang benderang betapa Manohara dan Daisy sangat menikmati diwawancarai sejumlah televisi. Di layar televisi, ibu dan anak ini tampak sumringah. KDRT yang mereka bicarakan merosot sekadar sebagai ilusi. Datang melapor ke polisi tak dipandang urgen dibandingkan dengan melayani permintaan wawancara televisi. Kenyataan ini lalu terkonfirmasikan ketika Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Sulistiyo Ishak menyebutkan, hingga 6 Juni 2009 polisi belum menerima laporan resmi kasus kekerasan terhadap Manohara. Antiklimaks benar-benar mencuat ke permukaan tatkala pada Minggu pagi, 7 Juni 2009, dialog di tvOne memperlihatkan tendensi untuk tak mempercayai cerita Manohara dan Daisy.

Apa yang kemudian bisa kita catat dari semua ini? Pertama, media massa terlanjur percaya terhadap ucapan Daisy dan kemudian juga terhadap apa yang dikemukakan Manohara. Nalini Muhdi, psikiater dan konsultan Women's Mental Health yang bekerja di RSU Dr. Sutomo dan FK Unair, Surabaya, sampai merasa perlu membuat analisis di harian Jawa Pos (30 April 2009). Dengan tulisan opini bertajuk “Kasus Manohara, Saatnya SBY Balas Budi”, Nalini Muhdi menulis: “Manohara Odelia Pinot. Bagaikan dongeng putri Cinderella dinikahi sang pangeran, dan selanjutnya... happily ever after. Tapi, ini bukan dongeng. Inilah kenyataan hidup. Alih-alih kebahagiaan dan kasih sayang yang didapat, tapi konon malah makian, deraan fisik sampai sayatan silet. Sang Bunda pun meronta meratapi nasib putrinya. Meskipun kebenarannya masih butuh pembuktian, sebaiknya jangan mengabaikan intuisi seorang ibu.”

Secara substansial, analisis ini memperkuat arti penting cerita pilu Manohara yang mengharu-biru pemberitaan media massa. Pada bagian lain, analisis Nalini Muhdi memuat narasi kalimat: “Presiden kita, Pak SBY, konon kemenangannya dulu banyak mendulang suara ibu-ibu dan perempuan. Inilah saatnya presiden lewat pembantu-pembantunya menunjukkan 'balas budi' bagi perempuan. Bukan sekadar disuguhi 'hiburan' peringatan Hari Kartini atau Hari Ibu.” Apa yang bisa dikatakan dengan narasi kalimat ini? Tak pelak lagi, inilah analisis yang tak menyinggung pencitraan (image building) yang dikonstruksi Daisy dengan memanfatkan cerita nestapa Manohara. Analisis ini juga abai terhadap kemungkinan masuknya anasir narsisme dalam pembeberan cerita KDRT Manohara.

Kedua, timbulnya keraguan terhadap kebenaran cerita KDRT yang menimpa Manohara bukan dimaksudkan sebagai upaya pelecehan terhadapan hakikat keadilan berdimensi gender. Justru sebaliknya, cerita KDRT versi Manohara ini mendesak dikritisi untuk keperluan penyelesaian masalah KDRT itu sendiri secara fundamental dalam jangka panjang. Kita tahu, muncul begitu banyak kasus KDRT di Indonesia. Tetapi, tak ada satu pun kasus KDRT yang mendapatkan liputan luas media masa semelodramatis kasus Manohara. Asertifnya media massa meliput KDRT dengan Manohara sebagai tokoh protagonisnya mencetuskan ketidakadilan bagi perempuan lain dalam posisinya sebagai korban KDRT. Diskursus tentang KDRT di ruang publik ternyata hanya dihegemoni oleh kasus Manohara. Pemberitaan media massa dalam konteks ini benar-benar mengabaikan kasus-kasus KDRT lain yang jauh lebih tragis dan lebih menusuk nurani kemanusiaan.

Moral tulisan ini adalah peringatan agar media massa adil saat memberitakan dan menganalisis problema KDRT di Indonesia. Marilah kita melihat KDRT dari spektrum universal penistaan kaum perempuan. Kalau format pemberitaan dan analisis media massa terhadap Manohara dianggap tepat dan relevan, maka sudah saatnya jika semua perempuan korban KDRT di berbagai penjuru Nusantara mendapatkan porsi pemberitaan yang ekuivalen dengan Manohara. Jangan karena berlatar belakang kelas menengah kasus KDRT Manohara dipandang lebih superlatif dibandingkan KDRT yang menimpa perempuan strata bawah. Jangan sampai perempuan-perempuan lain korban KDRT kian tersayat-sayat nuraninya justru karena tak mendapatkan porsi pemberitaan seluas Manohara.

Penampilan Manohara yang sedemikian rupa di ruang publik sungguh-sungguh merupakan contoh kongkret, betapa buruknya prestasi media massa kita saat harus membentangkan persoalan-persoalan KDRT secara adil.[]

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 131, 2009.

Tidak ada komentar: