Selasa, 05 Mei 2009

Ketua KPK Pilihan DPR

Oleh ANWARI WMK

Setelah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar resmi ditahan lantaran diduga terlibat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, tanpa bisa dielakkan pertanyaan-pertanyaan bernada kritikal kemudian mencuat ke permukaan. Apakah penahanan ini berarti sinyal yang menandai hadirnya fase epilog terhadap keberadaan KPK sebagai lembaga yang berperan besar menjalankan agenda eradikasi korupsi di Indonesia? Mengapakah sebuah lembaga penting dan sekaligus terhormat semacam KPK pernah dipimpin oleh seorang tokoh yang tindakan personalnya menimbulkan persoalan besar dalam bidang hukum? Apakah para pemangku kepentingan penentu eksistensi KPK gegabah telah memilih seseorang dengan integritas yang rapuh untuk tampil sebagai pengendali puncak terhadap keberadaan KPK?

Kemunculan pertanyaan-pertanyaan ini tak lepas dari kenyataan, bahwa Antasari Azhar diancam dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal berupa hukuman mati. Substansi yang termaktub ke dalam Pasal 340 KUHP itu sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau, selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

Dalam pernyataannya di hadapan pers, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono mengemukan sesuatu yang sangat gamblang. Bahwa setelah memeriksa para pelaku dan saksi, polisi mengantongi bukti kuat bahwa Antasari Azhar diduga terlibat kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen. Modus dalam kasus pembunuhan itu berupa penembakan yang direncanakan, pada 14 Maret 2009, di Taman Modern Land, Cikokol, Tangerang. Seusai bermain golf, pembunuh bayaran menghabisi nyawa Nasrudin Zulkarnaen dengan dua peluru yang dimuntahkan oleh sebuah pistol. Ia ditembak dalam mobil BMW warna silver bernomor polisi B 191 E. Lantaran direncanakan, tak mengherankan jika pembunuhan itu melibatkan sembilan orang. Tak tanggung-tanggung, Antasari Azhar ditengarai sebagai otak dan atau aktor intelektual terjadinya peristiwa sadis itu.

Dari keseluruhan narasi berkenaan dengan cerita kriminal ini, ada dua dimensi yang penting digarisbawahi. Pertama, pembunuhan atas seorang manusia merupakan tindakan yang terkutuk. Sebagai singularitas persoalan, pembunuhan atas seorang manusia merupakan tragedi. Itulah mengapa, hilangnya nyawa seorang manusia dalam sebuah aksi pembunuhan sama saja maknanya dengan terbunuhnya seluruh umat manusia. Bukan saja karena sang pembunuh adalah seorang pejabat tinggi negara setingkat menteri, lebih dari itu karena pembunuhan seorang manusia merupakan sebuah nista terhadap totalitas kemanusiaan. Terlepas dari kedudukan sosial seorang pembunuh, ada universalitas persoalan mengapa pembunuhan merupakan penistaan terhadap kemanusiaan. Maka, pembicaraan tentang pembunuhan seorang manusia dalam konteks ini adalah pembicaraan tentang dimensi yang sangat serius, terlepas dari siapa pembunuh dan korban yang terbunuh.

Kedua, pembunuhan ini merupakan tragedi besar manakala dihubungkan dengan keberadaan KPK yang sepenuhnya berfungsi sebagai lembaga eradikasi korupsi di Indonesia. Nokhtah persoalan yang kemudian mengemuka terkait dengan kegalauan berkenaan dengan masa depan KPK. Jika pada akhirnya proses hukum bermuara pada pembuktian secara sangat kuat bahwa Sang Ketua adalah seorang pembunuh, maka implikasinya sangat serius terhadap KPK sebagai sebuah institusi. Tak terelakkan jika kemudian disimpulkan, bahwa dalam rentang perjalanan historisnya KPK pernah dipimpin oleh seorang pembunuh. Lembaga extra ordinary itu pernah berada di bawah kepemimpinan seorang figur yang telah dengan sengaja menumpahkan darah untuk alasan yang tak dibenarkan oleh kemanusiaan.

Apa yang hendak dikatakan dengan menyebut dua dimensi persoalan ini ialah ujian besar yang kini tengah dihadapi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Untuk mampu bertahan dari hempasan zaman, tak ada pilihan bagi Indonesia selain membersihkan dirinya dari anasir korupsi. Bukankah kemerosotan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat memang bermula dari korupsi yang telah sedemikian rupa menelusup masuk ke dalam tata kelola negara dan masyarakat? Itulah mengapa, penemuan kembali nasionalitas dan kebangsaan Indonesia pada abad XXI kini berjalin kelindan secara sangat kuat dengan eradikasi korupsi hingga ke akar-akarnya. Disitulah kemudian kelembagaan KPK dipandang urgen untuk didirikan. Tapi celakanya, KPK yang superlatif dalam konteks eradikasi korupsi itu terperosok ke dalam sebuah musibah: pernah dipimpin oleh seorang pembunuh. Bagaimana mungkin KPK lantas memiliki tekstur pemberantasan korupsi yang otentik jika pimpinan puncaknya figur yang bermasalah dengan hukum?

Manakala problem yang membelit Antasari Azhar semata disimak secara linear, maka tampak jelas tak adanya hubungan langsung antara heboh kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen dengan KPK sebagai sebuah institusi. Prinsip kolegialitas dalam pelaksanaan fungsi kepemimpinan justru memungkinkan KPK untuk tak bergantung harap secara berlebihan pada sang pemimpin puncak. Sungguh pun demikian, KPK bukanlah semata unikum teknis-organisasional pemberantasan korupsi. KPK memiliki kemungkinan untuk hadir ke tengah kancah kebangsaan Indonesia di masa kini, justru karena di dalamnya terdapat roh kepemimpinan yang sepenuhnya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan demikian berarti, KPK tak pernah bisa menegasikan roh kepemimpinan yang inherent ke dalam dirinya. Sementara, tragisnya, banditisme dan keberandalan pernah mewarnai roh kepemimpinan dalam tubuh KPK. Historisitas KPK, dengan sendirinya, diwarnai oleh noda hitam kepemimpinan.

Hikmah paling esensial dari tragedi ini terkait erat dengan sosok kepemimpinan di KPK. Kita tahu, proses yang niscaya dilalui untuk membentuk jajaran pimpinan di KPK melibatkan panitia seleksi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Out put panitia seleksi adalah nama-nama calon pimpinan KPK yang kemudian diusung untuk memasuki proses fit and proper test di DPR. Dengan proses seleksi yang sedemikian rupa, sudah selayaknya jika formasi kepemimpinan di KPK diisi oleh figur-figur dengan integritas yang tak disanksikan. Tapi mengapa kepemimpinan KPK pada masa tugasnya sekarang kecolongan oleh masuknya figur yang dipertanyakan integritasnya? Apa yang salah dengan proses seleksi pimpinan KPK?

Pada sekitar penghujung 2007, muncul berbagai pandangan kristis yang meragukan hasil akhir proses seleksi pimpinan KPK. Hal pokok yang termaktub ke dalam pandangan kritis itu ialah proses seleksi yang takkan mampu menjaring figur-figur mumpuni dari segi integritas untuk kemudian menduduki posisi pimpinan di KPK. Keraguan banyak pihak terhadap integritas Antasari Azhar merebak ke ruang publik dan secara repetitif lalu mewarnai pemberitaan media massa. Namun demikian, DPR jalan terus dengan agendanya untuk melakukan fit and proper test. Sekali pun muncul desas-desus terjadinya suap dalam proses fit and proper test, DPR toh tetap memuluskan jalan bagi Antasari Azhar untuk terpilih menjadi Ketua KPK. Mau tak mau, publik lalu diperhadapkan dengan problem semiotik atas keterpilihan Antasari Azhar sebagai Ketua KPK. Pertanyaan kritikalnya waktu itu, mengapa Antasari Azhar yang terpilih menduduki posisi Ketua KPK?

Sekarang kita menuai badai. Status hukum Ketua KPK menyemburatkan tanda-tanda, bahwa eradikasi korupsi memasuki fase epilog. Sungguh, ini kenyataan yang menyedihkan.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 125, 2009.

Tidak ada komentar: