Rabu, 06 Mei 2009

Administrasi Pemberantasan Korupsi

Oleh ANWARI WMK

Pada akhirnya kita memasuki fase time of no return dalam totalitas pemberantasan korupsi. Seakan blessing in disguise, ada keniscayaan untuk merancang cetak-biru apa yang disebut “administrasi pemberantasan korupsi”. Kita tahu, eradikasi korupsi di Indonesia bukan saja berkaitan erat dengan niat dan agenda pencerabutan patologi kebangsaan hingga ke akar-akarnya—sebuah patologi yang dengan telak merangsak masuk ke dalam sistem tata kelola negara. Tak kalah pentingnya dari itu, eradikasi korupsi merupakan praksis yang mempersyaratkan adanya kewibawaan organisasi penindakan dan pencegahan korupsi. Terutama melalui pelaksanaan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kita melihat secara saksama pada akhirnya betapa memang ada kebutuhan yang besar agar pemberantasan korupsi memiliki kejelasan skema administrasi. Terlebih lagi, korupsi yang harus dibasmi itu telah sedemikian rupa menelusup masuk serta memporak-porandakan segenap lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kasus hukum yang tengah membelit Ketua KPK Antasari Azhar telah mencetuskan problema yang begitu dilematis, dan sekaligus dramatis. Pada satu sisi, Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka atas kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen. Dengan sendirinya, Antasari Azhar terbelit masalah besar dalam bidang kriminal. Pada lain sisi, masalah pribadi Antasari Azhar memercikkan nuansa persoalan terhadap keberadaan KPK. Sungguh pun terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen tak ada hubungan organik dengan keberadaan KPK sebagai sebuah institusi, posisi Antasari Azhar sebagai Ketua KPK justru mendorong timbulnya pertanyaan-pertanyaan bernada kritikal. Seberapa signifikan pengaruh persoalan pribadi Sang Ketua KPK itu terhadap citra KPK, merupakan pertanyaan yang tak terelakkan kemunculannya. Dalam benak dan kesadaran publik lalu bergelayut sejuta teka-teki, bagaimana mungkin KPK yang extra ordinary atau pilih tanding itu ternyata dipimpin oleh seorang pembunuh?

Bertitik tolak dari kenyataan ini, kebutuhan akan administrasi pemberantasan korupsi menjadi begitu mendesak. Dengan administrasi pemberantasan korupsi berarti, terdapat garis demarkasi yang sangat tegas dalam pelaksanaan fungsi KPK. Problem yang masuk ke dalam cakupan personal pimpinannya diupayakan sedemikian rupa untuk tak memporak-porandakan KPK sebagai sebuah institusi. Atas dasar ini, sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa editorial Republika edisi 5 Mei 2009 mengusung sebuah narasi kalimat seperti ini: “Pengusutan dan penyidikan yang dilakukan jangan sampai merusak kredibilitas KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.” Editorial Republika juga menulis seperti ini: “Perlu dibedakan antara individu dengan keberadaan lembaga yang dipimpinnya.”

Sesungguhnya, diskursus tentang administrasi pemberantasan korupsi mengambil titik tolak dari kesadaran umum tentang KPK yang kini tengah menghadapi ujian berat akibat dipenjarakannya Antasari Azhar. Ujian berat itu berada dalam spektrum obyektivikasi proses pemberantasan korupsi. KPK tak cukup hanya ditahbiskan sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Justru, bagaimana kasus Antasari Azhar ini benar-benar dijadikan momentum yang mampu menghantarkan KPK untuk sampai pada suatu model tata kelola organisasi yang sepenuhnya canggih dalam hal mendiferensiasi mana wilayah personal dan mana wilayah institusional (lihat editorial “Perang Korupsi Jangan Berhenti”, Koran Tempo, 5 Mei 2009).

Cara pandang terhadap administrasi pemberantasan korupsi yang sedemikian rupa itu tak lepas dari perkembangan KPK sendiri, jauh sebelum Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus pembunuhan. Sulit ditepiskan fakta, betapa sesungguhnya publik kecewa terhadap kinerja KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Beberapa kasus korupsi yang begitu terang benderang aktor dan atau pelakunya—antara lain seperti dilaporkan mantan anggota DPR Agus Condro—ternyata tetap tak ada kelanjutan pengusutannya. Dengan berbagai macam aksentuasi, hal yang kemudian mengkristal dalam opini publik ialah menurunnya kinerja KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Dibandingkan dengan generasi pertama kepemimpinan KPK, termaktub kesan dalam opini publik betapa di bawah kepemimpinan Antasari Azhar KPK justru pandang bulu dalam hal pemberantasan korupsi.

Manakala kita percaya bahwa terdapat hikmah pada setiap rangkaian peristiwa dalam kehidupan umat manusia, maka apa yang kini menerpa Ketua KPK mutlak dimengerti sebagai sebuah mementum baru pemberantasan korupsi. Obyektivikasi yang menjadi kata kunci dalam proses pemberantasan korupsi harus diberikan makna secara lebih sublimatif sebagai sterilisasi KPK dari figur-figur yang terbelit persoalan kriminal. Memang tepat dan patut diapresiasi tatkala jajaran pimpinan KPK dengan sigap dan dalam waktu singkat menonaktifkan Antasari Azhar. Sungguh pun demikian, jauh lebih baik bilamana formasi jajaran pimpinan KPK memang tak pernah diisi oleh figur-figur korup dan kriminal.

Dengan demikian, administrasi pemberantasan korupsi bukanlah aspek yang semata teknikalitas sifatnya. Administrasi pemberantasan korupsi berada dalam spektrum luas pembentukan eksistensi KPK demi menyelamatkan Indonesia dari malapetaka kehancuran sebagai sebuah bangsa. Pertama, peran fundamental KPK dalam hal eradikasi korupsi di Indonesia mengambil titik pijak dari lumpuhnya lembaga dan aparat hukum dalam hal membebaskan negeri ini dari korupsi. Apalagi, lembaga dan aparat hukum sudah sejak era Orde Baru menjadi bagian tak terpisahkan dari kecamuk korupsi itu sendiri. Administrasi pemberantasan korupsi berarti menegaskan positioning KPK sebagai garda depan pensucian Indonesia dari najis dan kotor korupsi. Idealitas ke-Indonesia-an, dengan sendirinya, menemukan representasinya dari keberadaan KPK itu.

Kedua, format administrasi pemberantasan korupsi merupakan pengejawantahan terhadap keberadaan institusi KPK yang memang memiliki landasan moral dan konstitusional. Dalam konteks ini, KPK tak boleh berhenti sekadar sebagai simbol dan ikon pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, di dalam kelembagaan KPK terbentuk sebuah sistem nilai yang mendasari segenap tindakan dan negasi terhadap korupsi. Semua ini membutuhkan administrasi pemberantasan korupsi. Inilah rasionalitas yang memberikan penegasan betapa kehadiran sebuah lembaga setingkat KPK relevan agar hasil pembangunan bisa dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata, tidak oleh kelompok tertentu atau para koruptor dan kelompoknya (lihat editorial “Memberantas Korupsi Itu Tugas Mendasar”, Sinar Harapan, 5 Mei 2009).

Ketiga, makna penting administrasi pemberantasan korupsi tercermin secara sangat kuat pada proses rekrutmen pimpinan KPK. Bukan saja harus dilakukan secara sangat ketat, proses rekrutmen pimpinan KPK tak boleh dideterminasi oleh ambisi dan kepentingan sempit para pengelola partai politik. Rekrutmen pimpinan KPK juga tidak boleh berada dalam pusaran keterpengaruhan dari kelompok-kelompok borjuasi dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam korporasi bisnis yang secara telak terancam eksistensinya oleh pembersihan Indonesia secara besar-besaran dari kecamuk korupsi. Dengan imperatif ini berarti, harus ada keterbukaan untuk menelisik rekam jejak seorang tokoh yang hendak tampil memenuhi formasi pimpinan KPK.

Keempat, administrasi pemberantasan korupsi merupakan aspek yang sangat penting justru demi merawat jatidiri KPK agar jangan sampai limbung dihantam aneka distorsi. Persis sebagaimana tertera sebagai narasi dalam editorial Kompas (6 Mei 2009), “Suka atau tidak, KPK sebagai institusi dan instrumen sangatlah penting untuk melawan praktik korupsi yang merebak secara kultural maupun struktural di Indonesia.”

Jika KPK kosong dari administrasi pemberantasan korupsi sebagaimana dibentangkan di atas, maka jangan heran jika ke depan KPK masih akan diwarnai oleh kehadiran repeat of offender, oleh kehadiran bandit atau bromocorah.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 126, 2009.

Tidak ada komentar: