Jumat, 08 Mei 2009

Pejabat Publik Berkarakter Negarawan

Oleh Anwari WMK

Bangsa yang kering korontang dari gagasan-gagasan filosofis sesungguhnya adalah bangsa yang tengah berhitung mundur untuk terbentur masalah besar. Tumpulnya pemikiran saat harus memahami aspek-aspek fundamental kehidupan kolektif merupakan akibat logis dari minimnya gagasan-gagasan filosofis. Tanpa terlebih dahulu terbentuk tradisi “berfilsafat”, sebuah bangsa dengan mudahnya terbelenggu ke dalam karut-marut pragmatisme. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa ideolog Iran modern, Ali Syariati, pernah berbicara tentang kebangkitan bangsa-bangsa Dunia Ketiga yang dipicu oleh filsafat. Tanpa terlebih dahulu memiliki basis pemikiran filosofis, kata Ali Syariati dalam berbagai tulisannya, maka keterbelakangan akan terus mendera keberadaan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga.

Indonesia sebagai bangsa, acapkali tersentak oleh ketidakmampuan menyentuh hal-hal besar dan mendasar. Tanpa bisa dielakkan, ini merupakan akibat logis dari rendahnya kemampuan berpikir filosofis. Selama kurang lebih satu dasawarsa pelaksanaan demokrasi pada era pasca-Orde Baru, misalnya, Indonesia gagal menciptakan suatu model rekrutmen pejabat publik yang sepenuhnya mampu tampil ke depan sebagai negarawan. Baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tak steril dari hadirnya sosok pejabat publik yang terbelit masalah hukum.

Maka, kita lantas menyaksikan panorama kebangsaan yang menyedihkan seperti ini: (i) Pada kelembagaan KPU, Nazaruddin Sjamsuddin [Ketua KPU periode 2001-2005] terbelit kasus korupsi dana rekanan dan asuransi serta kemudian dijatuhi vonis hukuman penjara enam tahun. Mulyana W. Kusumah [anggota KPU periode 2001-2005] divonis dua tahun tujuh bulan penjara atas kasus suap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta divonis 15 bulan penjara karena korupsi kotak suara pemilu. Rusadi Kantaprawira [anggota KPU periode 2001-2005] divonis empat tahun penjara atas dugaan kasus korupsi pengadaan tinta pemilu. (ii) Pada kelembagaan KY, Irawady Joenoes [anggota KY periode 2005-2010] divonis delapan tahun penjara karena kasus penerimaan uang Rp 600 juta dan US$ 30.000 dari Freddy Santoso terkait proyek pengadaan tanah untuk gedung KY. (iii) Pada kelembagaan KKPU, Mohammad Iqbal [anggota KPPU periode 2006-2011], hingga tulisan ini disusun, tengah diadili dalam kaitannya dengan kasus penerimaan suap sebesar Rp 500 juta dari Presiden Direktur PT First Media, Billy Sindoro. (iv) Pada kelembagaan KPK, Antasari Azhar [Ketua KPK periode 2007-2011], diduga terlibat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasruddin Zulkarnaen, yang tewas ditembak pada 14 Maret 2009, di Tangerang, Banten.

Apa yang bisa disimpulkan dari semua fakta yang dibentangkan di atas ialah kegagalan rekrutmen pejabat publik. Kompleksnya mekanisme seleksi dalam proses rekrutmen, ternyata bukanlah garansi untuk mendapatkan pejabat publik berkarakter negarawan. Sekadar gambaran berkenaan dengan mekanisme seleksi, proses rekrutmen penjabat publik didahului oleh pembentukan panitia tim seleksi. Out put dari panitia tim seleksi ini kemudian disampaikan ke presiden dan oleh presiden kemudian diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Melalui institusi DPR, kandidat pejabat publik memasuki proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). DPR lalu memilih para pejabat publik melalui mekanisme voting. Kandidat yang terpilih melalui voting itulah yang kemudian dilantik dan diangkat presiden sebagai pejabat publik serta berfungsi efektif melayani bangsa ini.

Seharusnya, dengan mekanisme seleksi yang sedemikian rupa itu, Indonesia memiliki ruang untuk mencetak pejabat publik berkarakter negarawan. Celakanya, mengapa imperatif ini tak mengejawantah menjadi kenyataan? Mengapa di antara lebih dari 200 juta penduduk, bangsa ini seakan tersuruk ke dalam kesulitan maha besar demi menemukan negarawan? Apa yang salah dengan bangsa ini?

Pokok soal yang tengah kita hadapi sesungguhnya terkait erat dengan dua hal. Pertama, individu calon pejabat publik bukanlah the good sons and daughters of the land. Sehingga karena itu, kita tak sedang berhadapan dengan figur-figur yang tengah mempersiapkan diri memenuhi panggilan kebangsaan. Bagi individu semacam ini tak relevan pameo kebangsaan yang berbunyi “jangan pernah bertanya apa yang negara berikan padamu, tapi bertanyalah apa yang bisa kamu berikan kepada negaramu”. Bukan saja dipandang tak relevan, pameo semacam ini malah ditengarai sebagai absurditas di tengah sangat kuatnya tarikan untuk melakukan penghambaan terhadap basis material. Maka tak berlebihan jika dikatakan, tak ada sumber mata air kecemerlangan yang mendahului proses rekrutmen pejabat publik. Para kandidat pejabat publik, tak lebih hanyalah para figur yang tengah berburu mata pencaharian. Tak lebih dan tak kurang.

Disimak berdasarkan perspektif filosofis, persoalan ini merupakan akibat logis dari compang-campingnya pandangan dunia (Weltanschauung) manusia Indonesia saat harus memahami hakikat dan logika tata kelola negara. Boleh jadi, Indonesia sebagai sebuah bangsa kini tengah disesaki oleh generasi sontoloyo. Bukan saja karena generasi ini tak memberikan penghormatan terhadap hakikat pengorbanan agung (over-sacrifice) para pendiri bangsa, lebih dari itu posisi pejabat publik kini semata dimengerti sebagai basis material. Pelaksanaan tugas sebagai pejabat publik lalu bergeser menjadi pesta pora untuk sepenuhnya mengambil dari negara. Para pejabat publik itu tidak berada di tengah “tarian” untuk sepenuhnya memberi pada negara. Itulah mengapa, sosok mereka di ruang publik merupakan kembaran dari saudagar yang tak habis-habisnya berburu keuntungan.

Kedua, ada persoalan metodologis dalam kaitannya dengan proses seleksi pejabat publik. Baik pada tataran panitia seleksi maupun pada level DPR, proses seleksi bercorak positivistik. Kandidat pejabat publik hanya ditelisik pada sisi luarnya, seperti kemampuan akademis dan kelihaian berargumentasi. Panitia seleksi dan DPR tak mampu menyingkap Weltanschauung yang benar-benar inherent ke dalam eksistensi personal para figur yang tengah berada dalam sorotan proses seleksi pejabat publik. Pada titik ini, kita sesungguhnya menyaksikan timbulnya masalah besar di seputar kebuntuan metodologis. Semiotika dan hermeneutika dalam ranah filsafat yang sedemikian jauh telah berkembang menjadi epistemologi dalam penyingkapan hakikat di balik hakikat, tak pernah dimanfaatkan oleh panitia seleksi dan DPR.

Kita kini tak mungkin lagi meremehkan epistemologi post-positivistik dalam proses rekrutmen pejabat publik. Upaya saksama menghadirkan pejabat publik berwatak negarawan tak mungkin lagi dimengerti secara sempit sebagai sesuatu yang instrumental semata sifatnya. Alangkah baiknya jika dengan takzim bangsa ini belajar membangun pemikiran-pemikiran filsafat seperti pernah dipesankan Ali Syariati. Paling tidak, marilah dari sekarang belajar berseru: selamat datang filsafat!

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 127, 2009.

Tidak ada komentar: