Minggu, 24 Mei 2009

Disintegrasi Partai Politik

Oleh Anwari WMK

Baik Ali Mochtar Ngabalin dari Partai Bulan Bintang (PBB) maupun Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional (PAN) sama-sama menyatakan dukungannya pada pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) M. Jusuf Kalla-Wiranto. Inilah pasangan capres-cawapres yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Padahal, PBB maupun PAN secara formal telah memberikan dukungan pada pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Seharusnya, Ali Mochtar Ngabalin dan Alvin Lie mendukung pasangan SBY-Boediono—jago yang dielus oleh koalisi besar pimpinan Partai Demokrat yang mencakup pula di dalamnya PBB dan PAN. Tetapi nyatanya, fakta berbicara lain. Opsi politik Ali Mochtar Ngabalin dan Alvin Lie benar-benar bersimpang jalan dengan pilihan resmi partai mereka.

Tentu, penyebutan nama Ali Mochtar Ngabalin dan Alvin Lie di sini hanyalah sekadar ilustrasi. Masih banyak kader partai yang memilih berbeda haluan dengan sikap resmi partai mereka. Ketika berlangsung deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, 24 Mei 2009, MetroTV justru melaporkan secara live hadirnya kader-kader PAN dari Banten dan juga hadirnya kader-kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung, mereka mengklaim sebagai pendukung Mega-Pro. Dengan demikian berarti, menjelang pemilu presiden 2009, soliditas partai politik benar-benar berada dalam satu titik pertaruhan.

Apa yang bisa kita simpulkan dari kontradiksi antara partai dan kader partai semacam itu adalah disintegrasi partai politik. Demi menghadapi pemilu presiden pada 2009, kader-kader utama partai politik begitu mudahnya menegasikan kebijakan resmi partai politik mereka. Diakui atau tidak, inilah fakta yang mempertontonkan timbulnya kontestasi kepentingan dalam tubuh partai politik. Antara sesama pimpinan partai, antara pimpinan dan kader partai atau antara sesama kader partai; terbuka ruang untuk meniadakan aspirasi kolektif demi menghadapi pemilu presiden 2009. Sangat bisa dimengerti jika pada akhirnya muncul pernyataan dari seorang tokoh politik nasional, bahwa partainya secara resmi memang mendukung pasangan capres-cawapres tertentu. Namun, kader-kader partai di berbagai penjuru Nusantara dipersilahkan menentukan sendiri capres-cawapres yang dipandang layak untuk didukung.

Pertanyaan hipotetiknya kemudian, mengapa disintegrasi partai politik semacam ini terjadi dan lalu mencuat ke permukaan? Apa yang mutlak digarisbawahi dari timbulnya disintegrasi partai politik yang pada akhirnya mencetuskan keprihatinan? Sejauhmana pragmatisme dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis sedemikian rupa melatarbelakangi timbulnya disintegrasi dalam tubuh partai politik? Pertanyaan-pertanyaan ini memiliki sejumlah jawaban.

Pertama, kian pentingnya kekuasaan eksekutif sebagai akibat dari evolusi sistem presidensial di Indonesia. Pada satu sisi, pembentukan formasi kekuasaan politik semakin tak bisa mengelak dari sistem dan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pada lain sisi, pemilu presiden sebagai pertaruhan meraih kekuasaan eksekutif menyemburatkan peluang dan sekaligus tantangan. Sejalan dengan rekayasa koalisi, kader-kader dari partai politik mana pun merasa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan berbagai ekspektasi demi mendapatkan kursi kekuasaan dalam kabinet baru pasca-pemilu presiden. Pilihan seorang elite politik yang bersimpang jalan dengan sikap resmi partai mereka tak sepenuhnya dapat dipisahkan dari peluang meraih kekuasaan eksekutif. Kader-kader partai politik yang gagal meraih kekuasaan legislatif lalu begitu mudahnya membelokkan obsesi dengan berburu kekuasaan eksekutif melalui formula dukung-mendukung dalam pilpres. Jangan heran jika disintegrasi mewarnai keberadaan partai politik yang memancang koalisi dengan partai pendukung capres-cawapres.

Kedua, ancangan koalisi politik merupakan salah kaprah yang sengaja dikonstruksi sebagai realitas. Beda dibandingkan dengan sistem parlementer, sistem presidensial sesungguhnya tak meniscayakan adanya koalisi politik. Lantaran dipilih langsung oleh rakyat, kekuasaan presiden dan wakil presiden steril dari mosi tidak percaya kalangan parlemen. Penentangan parlemen terhadap kebijakan presiden tak harus direspons melalui pembentukan koalisi politik. Hal yang justru relevan dilakukan adalah menciptakan komunikasi dan edukasi politik. Seorang presiden berpijak pada kepercayaan diri untuk menyampaikan kepada publik jika kebijakan-kebijakan yang digulirkan demi mewujudkan kemakmuran rakyat diporak-poranda kalangan parlemen. Sayangnya, di Indonesia, salah kaprah koalisi tak dapat dihentikan. Bahkan, analisis tentang peta koalisi diperkuat aksentuasinya oleh kalangan pengamat politik. Seakan menegasikan aksioma tak adanya koalisi dalam sistem presidensial, para pengamat politik justru tampil sebagai cheer leader yang mendorong para aktor politik nasional membangun koalisi politik. Tak aneh jika koalisi merupakan kelanjutan logis dari pragmatisme dalam perburuan kekuasaan. Koalisi yang dirancang-bangun elite-elite partai tak memiliki kejelasan resonansi dengan konstituen pendukung partai politik. Otak-atik koalisi pun menjadi mesiu yang mempertegas timbulnya disintegrasi dalam tubuh partai politik.

Ketiga, dalam tubuh partai politik memang terdapat jalinan relasional bercorak konfliktual. Hubungan-hubungan konfliktual dalam kelembagaan partai politik justru bersifat laten. Hanya dengan trigger kecil, relasi yang bercorak konfliktual itu dengan begitu mudahnya menyeruak ke permukaan dan lantas mewarnai perspektif publik tentang partai politik. Di samping rapuh dalam hal ideologi, partai-partai politik di Indonesia terlanjur berkembang menjadi agensi untuk meloloskan ambisi para politikus demi menjadikan jabatan-jabatan politik sebagai mata pencaharian. Dengan sendirinya, partai politik lalu bermetamorfosis menjadi panggung terjadinya perebutan sumber-sumber daya (baca: kekuasaan politik). Kehadiran para aktor dalam gerak dinamik partai politik tak memiliki kejelasan resonansi dengan pembangunan sistem politik. Itulah mengapa, aktor politik bisa dengan mudah membentuk partai politik baru jika partai politik lama yang dijadikan sandaran dirasakan tak mampu lagi berfungsi sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. Disintegrasi yang bersifat laten ini pada akhirnya berubah menjadi sesuatu yang manifest tatkala muncul kompetisi politik skala besar seperti pemilu presiden dan wakil presiden.

Mengacu pada tiga pokok persoalan itu, disintegrasi partai politik merupakan realitas yang tak terelakkan. Bukan saja eksponen dewan pimpinan pusat partai bisa saling bersilang arah satu sama lain, dukungan terhadap pasangan capres-cawapres malah mencetuskan perbedaan sikap antara kader partai di tingkat pusat dan kader partai di daerah. Terutama bagi partai yang tak mengusung kadernya sendiri sebagai capres atau cawapres, disintegrasi semacam ini menjadi sangat kentara. Dengan tiga pasang kandidat yang tersedia—JK-Wiranto, SBY-Boediono, dan Mega-Prabowo—maka proses memasuki arena pertarungan pilpres 2009 disertai oleh munculnya persoalan serius pada partai-partai yang tak mengusung kadernya sendiri sebagai capres dan atau cawapres. Terutama ketika tim sukses tiga pasangan capres-cawapres dibentuk, kita menyaksikan ketercerai beraian dukungan kader PBB, PAN, dan PPP. Bagi partai-partai ini, tidak mencalonkan kadernya sendiri merupakan “kutukan”.

Kita khawatir manakala kenyataan buruk ini menjadi pola yang berulang hingga ke masa depan. Apa gunanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung jika ternyata menuntut tumbal pengorbanan berupa disintegrasi partai politik?

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 129, 2009.

Tidak ada komentar: