Minggu, 26 April 2009

Soliditas Kebijakan Ekonomi

Oleh ANWARI WMK

Tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla masing-masing dikukuhkan sebagai kandidat presiden dalam pilpres pada Juli 2009, maka tak terelakkan munculnya rivalitas politik pada pucuk pimpinan di jagat pemerintahan Indonesia. Jika Susilo Bambang Yudhoyono bakal tampil sebagai kandidat presiden Partai Demokrat yang didukung penuh oleh barisan koalisinya, maka M. Jufuf Kalla merupakan calon presiden yang diusung Partai Golkar. Padahal, dua tokoh tersebut masih harus menjalankan amanat pemerintahan hingga Oktober 2009. Dengan demikian berarti, enam bulan ke depan sejak April 2009 pimpinan puncak pada kancah pemerintahan dikendalikan oleh dua tokoh yang secara politis terseret ke dalam rivalitas. Pertanyaan kritikalnya, apakah realisme ini logis dan patut diterima akal sehat?

Memang, dalam rapat kabinet terbatas pada 24 April 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melontarkan pernyataan yang sepintas lalu berisikan garansi bahwa pemerintahan tetap akan berjalan normal hingga Oktober 2009. Itu karena, presiden dan wakil presiden sepakat membangun apa yang disebut ‘kultur politik baru’. Itulah kultur politik yang dibahasakan Yudhoyono dengan narasi kalimat: “Tidak harus sebuah kompetisi itu berakhir dengan jarak, apalagi permusuhan yang tidak berkesudahan”. Konsekuensinya, kedua tokoh bekerja sama sebagai presiden dan wakil presiden hingga akhir masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu. Sungguh pun demikian tetap tak ada jaminan, bahwa perjalanan waktu menuju Oktober 2009 benar-benar steril dari didistorsi konflik kepentingan antar-dua tokoh tersebut. Dengan demikian berarti, soliditas kebijakan ekonomi berada dalam satu titik pertaruhan. Disadari atau tidak, dualisme kepemimpinan mewarnai level tertinggi pemerintahan.

Apa yang kemudian patut kita catat adalah ini. Perkembangan politik sejak paruh kedua April 2009 telah sedemikian rupa mencetuskan sinyal bakal mencuatnya dualisme kepemimpinan pada pucuk pemerintahan. Kenyataan ini merupakan antitesis dari apa yang terjadi sejak Oktober 2004. Sebagaimana diketahui, sejak Oktober 2004 terbentuk formasi Kabinet Indonesia Bersatu dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai tokoh sentralnya. Itulah mengapa, “duet SBY-JK” mencuat sebagai leksikon dalam analisis dan prakis politik di Indonesia. Bahkan, “duet SBY-JK” pernah ditengarai sebagai preseden positif dari perkembangan demokrasi di Tanah Air, yaitu seiring dengan munculnya mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Apa boleh buat, duet itu kini terancam mengalami peluruhan, bahkan terancam mengalami kehancuran secara total sebelum tuntasnya masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu.

Tak dapat dipungkiri, pertarungan politik dalam konteks Pilpres 2009 mengondisikan dua tokoh itu terbentur persoalan split personality. Sesuai dengan janji dan sumpah yang diucapkan sebagai pemimpin nasional pada Oktober 2004, dua tokoh tersebut harus seiring sejalan menuntaskan agenda-agenda pemerintahan. Namun demikian, tuntutan pragmatis kampanye untuk memenangkan pilpres 2009 menggiring kedua tokoh itu untuk lebih mengedepankan kepentingan personal. Tugas-tugas sebagai presiden dan wakil presiden lalu diperhadapkan dengan opsi-opsi politik untuk mengedepankan kepentingan personal.

Dualisme kepemimpinan lantas berada dalam dua spektrum persoalan. Pertama, antara Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla memang sudah tidak lagi berada dalam satu biduk politik demi memenangkan pertarungan pilpres 2009. Otomatis, sang presiden dan sang wakil presiden menjadi kompetitor yang berdiri secara vis-à-vis satu sama lain. Kedua, dualisme kepemimpinan terkait erat dengan kesetiaan yang ambivalen terhadap dua institusi. Pada satu sisi, dua tokoh ini harus memperlihatkan kesetiannya pada institusi pemerintahan yang mereka pimpin. Pada lain sisi, dua tokoh ini dituntut setia terhadap institusi partai mereka demi menggapai pemenangan pilpres 2009.

Dualisme kepemimpinan dengan ramifikasi persoalan yang sedemikian rupa itu bisa berarti berkah bagi bangsa ini, tapi bisa juga berarti laknat. Berkah, jika kedua tokoh mampu membedakan secara nuchter mana urusan pemerintahan dan mana pula urusan personal. Sangat elegan jika urusan pemerintahan lebih mengedepan dibandingkan urusan personal. Laknat, jika ternyata urusan pemerintahan bercampur aduk dengan kepentingan pribadi. Maka, kepiawaian membedakan hal-hal yang kontras merupakan ujian, apakah dua tokoh nasional ini memang pantas disebut negarawan. Jika dua tokoh ini ternyata lancung ke ujian, hal yang dengan serta-merta dirasakan bangsa ini adalah karut-marutnya pemerintahan pada level puncak kepemimpinan.

Terlebih lagi tatkala birokrasi pemerintahan hingga kini terdistorsi oleh orientasi tata kelola yang patrimonialistik, maka karut-marutnya pemerintahan mendapatkan konfirmasinya secara sangat gamblang dari dualisme kepemimpinan itu. Generasi masa depan lalu mencatat hal tersebut sebagai kenyataan buruk dalam sejarah perjalanan demokrasi bangsa Indonesia.

Tanpa adanya dualisme kepemimpinan pada puncak pemerintahan, tantangan-tantangan besar telah sedemikian jauh menghantam kebijakan ekonomi Indonesia. Terutama setelah krisis perekonomian global bergulir dan ikut menghantam perekonomian nasional, maka tak terelakkan jika kebijakan ekonomi diperhadapkan pada tangangan besar. Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berlangsung secara repetitif, misalnya, sudah terjadi sebelum munculnya krisis perekonomian global [yang episentrumnya terjadi di Amerika Serikat]. Ketika kemudian krisis perekonomian global memasuki fase outbreak sejak medio September 2008, revisi APBN malah menjadi begitu mengkhawatirkan.

Ketika situasi sebelum dan sesudah pilpres 2009 masih sangat kental diwarnai oleh krisis perekonomian global, tak terbantahkan jika kemudian muncul kekhawatiran bahwa soliditas kebijakan ekonomi terancam porak-poranda oleh gelombang pertarungan politik. Apalagi, pertarungan politik melibatkan dua tokoh incumbent pada level presiden dan wakil presiden. Pada derajat tertentu, sangat terbuka jika pertarungan politik dua figur incumbent itu merembeskan pengaruhnya pada proses-proses politik di parlemen. Program legislasi yang penting artinya bagi perekonomian nasional bisa dengan serta-menrta abortif di tengah jalan.

Sekadar catatan, agenda legislasi yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut di DPR mencakup Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Agenda legislasi yang lain adalah melanjutkan pembahasan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Sementara, pembahasan APBN Perubahan 2009 diskenariokan berlangsung mulai Juli 2009. Bagaimana jika pertarungan politik pada level pilpres kemudian menyulut timbulnya pertarungan politik di DPR, apa yang akan terjadi? Katakanlah jika rivalitas antara Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla pada kancah pilpres menstimuli anggota DPR dari Partai Demokrat dan Partai Golkar untuk mencari-cari celah bertarung di parlemen, apa yang akan terjadi?

Bukan saja kemudian secara karikatural timbul tarik-menarik yang rumit dalam proses legislasi DPR terkait kebijakan ekonomi, soliditas kebijakan ekonomi terporak-porandakan. Kekhawatiran akan munculnya kenyataan buruk ini tidaklah berlebihan sehubungan dengan lemahnya para aktor pengelola negara membentuk kesadaran kolektif. Sungguh pun Indonesia telah berubah menjadi negara demokratis sejak 1998, aktor pengelola negara hingga kini mengidap sindroma egoisme dan narsisme personal. Mereka terus-menerus berada dalam kecenderungan besar untuk semata mengedepankan kepentingan subyektif. Maka, qou vadis soliditas kebijakan ekonomi. Qou vadis!


Tulisan ini pernah dimuat di kabarbisnis.com, 25 April 2009.

Tidak ada komentar: