Jumat, 23 Januari 2009

Korupsi dan Purifikasi Pemerintahan

Oleh Anwari WMK

Tatkala sejak 2004 menjadi orang nomor satu di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani izin pemeriksaan terhadap 127 pejabat daerah dalam kaitannya dengan peradilan korupsi. Secara kuantitatif, fakta ini tampak sebagai sesuatu yang spektakuler di atas permukaan, dan bahkan diilustrasikan sebagai realisme yang belum pernah ada presedennya. Pesan penting dari fakta ini—yang dikemukakan ke hadapan publik—ialah tak adanya imunitas atau kekebalan dari rezim politik yang tengah berkuasa di Jakarta terhadap siapa pun pejabat daerah yang terbukti korup. Setelah tampak jelas melakukan tindak korupsi, sang pejabat daerah dikondisikan untuk dengan segera diseret ke dalam proses peradilan.

Hanya saja, setelah tersingkapkan ke tengah kancah pemberitaan media massa, fakta ini lantas mencetuskan berbagai macam “elaborasi penjelasan” dari kalangan dekat presiden sendiri. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla memberikan penjelasan, bahwa jumlah pejabat daerah yang sedemikian banyak diperiksa dalam peradilan korupsi ternyata hanyalah 3% dari total jumlah pejabat daerah secara nasional. Pemeriksanaan itu pun, menurut Jusuf Kalla, sebagian hanyalah memosisikan pejabat-pejabat daerah sebagai saksi, bukan tersangka. Staf Khusus Presiden dalam Bidang Hukum Denny Indrayana juga mengemukakan penjelasan, bahwa izin pemeriksaan yang ditandatangani presiden itu merupakan hal yang tak terpisahkan dari amanat UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Sehingga dengan demikian, menurut Denny Indrayana, tidak ada niat pemberian izin itu untuk kepentingan pencitraan agar SBY terpilih kembali sebagai presiden.

Pembacaan secara saksama terhadap lontaran kata-kata Jusuf Kalla membawa kita pada kesimpulan, bahwa penandatanganan izin pemeriksaan terhadap sekian banyak pejabat daerah merupakan sesuatu yang normatif saja sifatnya. Jusuf Kalla seakan hendak menegaskan satu hal, pemeriksaan itu tak mungkin dimengerti secara serta-merta sebagai sesuatu yang strategis. Dengan menandatangani izin sebanyak itu bukan berarti presiden telah mengambil upaya-upaya progresif ke arah eradikasi atau pemberantasan korupsi di Tanah Air. Terlontarnya kalimat “hanyalah 3% dari total jumlah pejabat daerah secara nasional” merupakan cara Jusuf Kalla menegasikan pandangan dan opini tentang eradikasi korupsi yang terlanjur ditengarai berjalan baik hanya karena telah hadir institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan pernyataannya itu Jusuf Kalla sesungguhnya tidak memandang tepat pola dan model pemberantasan korupsi yang tengah berjalan di Indonesia. Lontaran kata-kata pengusaha Bugis ini seakan merupakan kelanjutan dari pernyataan sebelumnya, bahwa mereka yang biasa memberikan infak dan sadakah dijerat pasal-pasal korupsi. Sementara, mereka yang menelan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam jumlah besar tak pernah tersentuh peradilan korupsi.

Dikaitkan dengan negasi secara subtil ala Jusuf Kalla, pernyataan Denny Indrayana justru memperlihatkan hal sebaliknya. Tatkala ia berucap “tak ada niat pemberian izin itu untuk kepentingan pencitraan”, sesuatu yang hakiki adalah pencitraan itu sendiri. Kita tahu, Presiden SBY merupakan tokoh politik yang begitu piawai melakukan image building demi menjaga popularitas dirinya. Telaah secara semiotik bahkan membawa kita pada kesimpulan: hingga kini tak ada satu pun elite politik nasional yang begitu piawai melakukan upaya-upaya pencitraan, selain SBY. Ingat, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan secara berkala sejak 2005, maka yang mengumumkan jajaran menteri. Tetapi, ketika pemerintah menurunkan harga BBM pada akhir 2008 dan pada awal 2009, Presiden SBY sendiri yang mengumunkan penurunan harga BBM tersebut. Semua ini sulit untuk tak disebut sebagai bagian dari pencitraan. Sebab, manakala konsisten berpijak pada manajemen komunikasi berkenaan dengan suatu komoditas strategis, maka secara pofesional, jajaran menteri yang layak dan patut mengumumkan kenaikan dan penurunan harga BBM. Atau, jika presiden hendak mengumunkan sendiri, maka tak boleh memisahkan substansi kenaikan dan penurunan harga BBM. Jika dipisah, di mana lalu makna strategis BBM.

Apa yang penting digarisbawahi dari cerita ini adalah absurditas eradikasi korupsi lantaran hanya terpilin sebatas teknis peradilan. Lebih absurd lagi jika ternyata eradikasi korupsi hanyalah bagian tak terpisahkan dari strategi pencitraan politik. Itulah mengapa, hingga kini belum ada road map pemberantasan korupsi di Indonesia. Coba perhatikan contoh ini. Prof. Rokhmin Dahuri yang dijatuhi hukuman dengan sangkaan korupsi selama menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, ternyata menjalankan peran sosial yang normal sebagai guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Sang guru besar tetap mengajar serta memberikan bimbingan penulisan tesis dan disertasi mahasiswa, di penjara. Seakan, pelaksanaan peran sosial sebagai guru besar tak tereduksi hanya karena dipenjara. Bagaimana memahami kenyataan ini?

Mungkin saja, Rokhmin Dahuri memang korup. Tetapi, tingkat korupsinya tak sedramatis korupsi BLBI. Di tengah kecamuk korupsi yang begitu patologis pada bangsa ini, bisa jadi taraf korupsi Rokhmin Dahuri tidaklah signifikan. Kemungkinan lain, Rokhmin Dahuri orang yang tak tepat disangkakan korupsi, namun kemudian dijebloskan ke penjara oleh adanya kebutuhan yang besar untuk mengidentifikasi adanya sosok koruptor di negeri ini. Argumentasi yuridis lalu tak bisa menutupi tendensi pencitraan politik dalam gegap gempita pemberantasan korupsi.

Contoh lain adalah sangkaan korupsi terhadap Burhanuddin Abddullah selama menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia (BI). Kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 demi memuluskan pembahasan rancangan undang-undang Bank Sentral membuat Burhanuddin Abddullah dijebloskan ke penjara. Ia disangka terlibat tindak korupsi, sekali pun tak mendapatkan sepeser pun uang dari terjadinya aliran dana BI ke DPR. Tak terelakkan jika kemudian sejumlah opini yang muncul di tengah kancah publik memosisikan sosok Burhanuddin Abddullah sebagai tumbal pengorbanan eradikasi korupsi yang begitu obsesif, namun tanpa kejelasan road map. Sekali pun tak memperkaya dirinya sendiri, Burhanuddin Abddullah tetap dijatuhi putusan sebagai koruptor.

Tanpa mengurangi rasa hormat, harus dikatakan bahwa eradikasi tak memberi jaminan bagi negeri ini untuk sepenuhnya bebas dari belenggu korupsi. Ini karena, eradikasi korupsi tak pernah steril dari ambisi untuk melakukan pencitraan. Eradikasi korupsi gegap gempita mewarnai media massa, tetapi tak pernah beranjak menjadi terapi kebangsaan. Bukan saja pencegahan korupsi tak cukup bergaung dibandingkan penindakan korupsi, bangsa ini mengalami kekosongan dalam hal purifikasi atau pemurnian pemerintahan. Padahal, tanpa purifikasi pemerintahan, sulit menyebut langkah pemberantasan korupsi steril dari pencitraan politik.

Tak bisa dielakkan, eradisi korupsi seharusnya berfungsi sebagai pintu masuk purifikasi pemerintahan. Dengan purifikasi berarti, pemerintahan dikendalikan oleh pejabat bersukmakan negarawan, lebih besarnya pelayanan ketimbang regulasi, terjadi penguatan institutional respons menghadapi masalah-masalah lokal dan temporer. Purifikasi juga berarti, aktivitas seseorang di pemerintahan bukan sebagai pekerjaan, tetapi sebagai panggilan dan pengabdian. Sejauh gagal mendorong terjadinya purifikasi pemerintahan, maka sejauh itu pula eradikasi korupsi hanyalah pencitraan. Salah sasaran membidik seseorang sebagai koruptor lalu hanya menghasilkan hingar bingar pemberitaan media. Dan Indonesia tetap abadi sebagai negeri bagi kaum koruptor yang sungguh-sungguh koruptor.

Tidak ada komentar: