Jumat, 23 Januari 2009

Demokrasi dan Derajat Pemerintahan

Oleh Anwari WMK

Dalam majalah The Economist (edisi 3 January 2009, hlm. 29), pembeberan tentang warisan intelektual Samuel P. Huntington (1927-2008) diperkuat oleh munculnya karikatur tentang sebuah pena ukuran super-besar yang tengah perang tanding melawan begitu banyak pedang dari aneka jenis. Tak jelas benar dalam karikatur itu, siapa sesungguhnya sosok-sosok misterius yang tengah menggengam dan sekaligus menggerakkan pedang ke arah Huntington. Tetapi pena dengan ukuran abnormal sebesar pedang jelas-jelas berada di tangan kanan Huntington. Sementara, di tangan kiri Huntington tergenggam buku—juga dalam ukuran besar dengan warna dasar merah bertinta putih—berjudul Clash of Civilizations. Huntington yang wafat bertepatan dengan Hari Natal 2008 benar-benar menstimuli mingguan terkemuka The Economist untuk berbicara tentang sosok public intelectual terkemuka Amerika pada kurun kontemporer.

Penilikan secara saksama menunjukkan, karikatur ini membawa pesan penting berkenaan dengan paradoks kebudayaan Amerika, persis sebagaimana dilihat Huntington. Pada satu sisi, kebudayaan Amerika berkembang sedemikian rupa menjadi kebudayaan universal. Dalam tata kelola pemerintahan pada berbagai negara di dunia, tiba-tiba lalu muncul gejala Amerikanisasi. Jangan heran jika begitu banyak pemimpin politik dan pemimpin ekonomi di berbagai negara berpikir ala Amerika dan mengandaikan negara mereka dikelola seperti halnya Amerika Serikat. Terlebih lagi ketika para pemimpin politik dan ekonomi dari banyak negara pernah dicuci otak (brainwash) melalui proses pendidikan tinggi di Amerika, maka semakin sempurna upaya duplikasi American dream pada banyak negara di dunia. Atas dasar ini, pluralisme tak hanya diasumsikan paralel dengan demokrasi, tetapi juga diaksiomakan berjalan seiring dengan American way.

Pada lain sisi, ada penerimaan di Amerika dan di luar Amerika terhadap visi intelektual Huntington. Bahwa, manusia dalam cakupan masyarakat dan negara mana pun mutlak untuk dilihat sebagai produk kebudayaan. Manusia tak mungkin diteropong sebagai mesin hitung yang cuma paham hakikat universal untung rugi. Sebagai konsekuensinya, mustahil perekonomian negara per negara di Planet Bumi ini direduksi untuk hanya berfungsi sebagai kepanjangan tangan Washington consensus, yaitu ajang implementasi neoliberalisme, privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan. Dengan bertakzim pada pemikiran Huntington, majalah The Economist lalu menggambarkan paradoks Amerika dengan narasi kalimat: “America’s culture turned it into universal civilization but those values were in fact rooted in an unique sets of circumtances”.

Dengan penjelasan itu, bagaimana lalu memahami totalitas gagasan dan pemikiran politik Huntington? Bagi kita di Indonesia, hal mendasar apa yang relevan dipelajari dari ilmuwan yang telah menulis 17 buku itu?

Dengan menelaah benang merah pemikiran Huntington terutama sebagaimana tertuang ke dalam karya-karya Huntinton The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Millitary Relations (1957), Political Order in Changing Society (1968), dan The Class of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), maka ditemukan jawaban mendasar terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tiga karya Huntington ini merupakan totalitas pembicaraan tentang “bentuk pemerintahan” yang tidak terlampau penting dibandingkan dengan “derajat pemerintahan”. Dalam pengertiannya yang sederhana, “bentuk pemerintahan” adalah klaim-klaim rezim kekuasaan tentang pemerintahan yang mereka kendalikan sebagai pemerintahan demokratis. Dalam ruang waktu kapan pun, klaim-klaim semacam ini muncul ke permukaan sebagai upaya sengaja agar tak berlangsung proses delegitimasi terhadap kekuasaan yang tengah berjalan. Rezim-rezim otoriter pun lantas menyebut diri mereka sebagai pengawal demokrasi. Pada pelataran lain, “derajat pemerintahan” merupakan tahap dan perkembangan suatu negara untuk sepenuhnya menjadi negara demokratis. Pembicaraan tentang “derajat pemerintahan”, dengan sendirinya, fokus pada evolusi pemerintahan sejalan dengan perguliran konsolidasi demokrasi dan transformasi menuju demokrasi.

Sampai kapan pun, pemerintahan merupakan sumber kebaikan dan sumber keburukan. Dengan demikian berarti, “derajat pemerintahan” merupakan situasi real time berkenaan dengan letak dan posisi pemerintahan, apakah baik bagi masyarakat atau malah buruk bagi masyarakat. Kita tahu, eksistensi sebuah negara ditentukan oleh tiga syarat: wilayah, rakyat dan pemerintahan. Distorsi makna negara mencuat ke permukaan, manakala pemerintahan hanya memandang penting wilayah, tetapi memandang remeh rakyat. Pada titik ini, negara mengalami peluruhan makna. Pemerintahan pada suatu negara hanya memandang penting letak atau posisi geografis dengan berbagai macam kekayaan alam yang inherent di dalamnya, tetapi dalam waktu bersamaan tak memandang penting masyarakat atau penduduk. Pemerintahan lalu berada dalam suatu tendensi untuk ditangani berdasarkan psiko-politik otoritarianistik.

Kecuali hanya mempertahankan kekuasaan dalam jangka panjang, rezim pengendali pemerintahan lalu abai akan makna geopolitik dan geostrategis. Padahal dengan menyadari arti penting geopolitik dan geostrategis, pemerintahan terkondisikan melakukan dua hal mendasar. Pertama, pemerintah terus-menerus berupaya menemukan saling hubungan yang harmoni antara faktor politik, geografi dan distribusi penduduk. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah benar-benar dilandaskan pada upaya kombinasi antara dimensi geografis dan faktor politik. Dalam konstelasi ini, absurd jika memerintah hanya memandang penting wilayah, namun tak memandang penting rakyat. Absurditas inilah yang oleh Huntington dicoba-gambarkan sebagai “derajat pemerintahan”. Semakin absurd pemerintahan, kian rendah “derajat pemerintahan”.

Buku bertajuk The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Millitary Relations fokus pada penyelesaian masalah di seputar relasi sipil-militer. Buku ini menyinggung sisi gelap hegemoni politik praetorian yang semula dihentakkan oleh terjadinya supremasi militer atas sipil. Dengan menggunakan nomenklatur “dwi-fungsi tentara”, supremasi militer atas sipil dalam ranah kuasa politik hanya menyudutkan sebuah negara untuk tersuruk ke dalam rendahnya “derajat pemerintahan”. Pada pelataran ini, pemerintah dalam suatu negara hanya memandang penting wilayah, tetapi sepenuhnya menihilkan rakyat. Rezim kekuasaan hanya meletupkan klaim, tatkala menyebut dirinya demokratis. Solusi atas masalah ini terkait dengan pelaksanaan sistem pemerintahan demokratis yang, menurut Huntington, tak menolak keniscayaan modernisasi.

Dalam Political Order in Changing Society, Huntington sesungguhnya berbicara tentang politik yang harus paralel dengan ekonomi. Perkembangan cepat perekonomian diakomodasi oleh perluasan partisipasi rakyat dalam bidang politik. Itulah mengapa, sekali pun demokrasi merupakan “sistem terbaik di antara yang buruk”—memijam istilah ilmuwan politik Robert Dahl—pemerintahan di suatu negara harus benar-benar demokratis. Tercakup pula ke dalamnya adalah partai politik yang tak oligarkis, organisasi kemasyarakatan yang egaliter dan lembaga peradilan yang kredibel. Hanya dengan memenuhi imperatif demokratis, pemerintahan di suatu negara mampu menangkap tuntutan rakyat yang kian beragam dan sekaligus akumulatif. Orde politik demokratis semacam ini merupakan solusi lebih lanjut setelah berlalunya masa gelap hegemoni politik praetorian.

Jika solusi berdasarkan kerangka orde politik semacam itu gagal diimplementasikan, maka yang terjadi kemudian kristalisasi dan atau pengerasan watak reaksioner rakyat terhadap pemerintah di suatu negara. Muara dari persoalan ini adalah ideologisasi kehendak dan aspirasi rakyat. Dan ketika mahzab pemikiran sekuler gagal menjawab tuntutan ideologisasi, agama kemudian tampil ke depan sebagai sumber ideologisasi. Persoalan super-kompleks yang bermula dari masalah “derajat pemerintahan” ini lantas dielaborasi secara panjang lebar oleh Huntington dalam The Class of Civilizations and the Remaking of World Order. Begitulah demokrasi dan derajat pemerintahan. Tanpa sungguh-sungguh berubah menjadi demokratis, pemerintahan hanyalah sumber dari segala masalah.

Tidak ada komentar: