Selasa, 06 Januari 2009

Tauhid dan Kemajuan Sains

Oleh Anwari WMK

Dalam disiplin keilmuan tradisional Islam, tauhid berada dalam posisi sejajar dengan fikih, tasawuf dan falsafah (Madjid, 1995: 177-285). Tauhid bersama fikih, tasawuf dan falsafah berkembang menjadi empat pilar keilmuan yang diakui sebagai aspek tak terpisahkan dari keberadaan Islam sebabagi sistem ajaran. Kehadiran secara bersama empat pilar keilmuan tersebut memungkingkan terbentuknya tatanan kehidupan yang menjujung tinggi etika. Jika ahlaq al-karimah merupakan “mahkota” dalam humanisme Islam (Syari’ati, 1992: 37-54), maka tauhid, fikih, tasawuf dan falsafah merupakan pilar penyanggah terwujudkan ahlaq al-karimah. Namun telaah secara saksama membawa kita pada kesimpulan, bahwa tauhid justru yang berperan besar sebagai landasan pijak perkembangan berbagai disiplin keilmuan tradisional Islam. Bahkan, tauhid merupakan faktor penentu perkembangan sains di dunia Islam selama sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13.

Dalam pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan. Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna dengan monoteisme (Rahman, 1999: 83). Maka, sesuatu yang benar-benar doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam kategori oneness, uniqueness dan transcendence. Secara demikian, Tuhan merupakan eksistensi yang berbeda dengan segala bentuk eksistensi yang dapat dikenal atau dapat diimajinasikan manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar), misalnya, merupakan konsepsi tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak terbatas kebesarannya serta tak dapat ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi atau wujud apa pun dalam realitas hidup manusia. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Begitu artikulatifnya monoteisme dalam ajaran Islam, sampai-sampai muncul konstatasi dalam Al Qur’an, bahwa sesungguhnya “manusia menurut fitrahnya beragama tauhid” (Q.S. [Ar-Rum] 30:30).

Sains dan Islam

Hal fundamental yang kemudian menarik ditelaah sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains, sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan berpijak pada perspektif tauhid, dinamika perkembangan Islam selama kurun waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh besarnya perhatian terhadap sains. Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan yang niscaya dengan perkembangan dan kamajuan sains, semuanya kembali pada hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan tauhid, terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang singkat, namun maknanya mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat dinamis dan progresif (Siroj, 2006: 59). Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis kekuasaan apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi (Siroj, 2006: 59-60).

Dari sini, alam semesta lalu dimengerti berdasarkan perspektif metafisika yang begitu spesifik, yaitu sebagai realitas yang relatif, dan karena itu dapat diberlakukan sebagai bentangan ontologis untuk melakukan observasi, eksperimentasi, penelitian dan bahkan menjadi basis untuk membangun serangkaian hipotesis. Mengingat alam semesta bukan sesuatu yang suci—dibandingkan kesucian Tuhan sebagaimana ditekankan dalam ajaran tauhid—maka alam semesta dengan mudahnya “diotak-atik” sebagai dasar untuk membangun dan atau menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan tauhid, tak ada kendala teologis untuk menyingkapkan hakikat alam semesta.

Selama abad ke-7 hingga abad ke-13, sains Islam merupakan pelanjut dari tradisi ilmiah Yunani kuno. Brush (2006) menjelaskan kenyataan tersebut dengan narasi kalimat: “Most of the important Greek scientific texts were preserved in Arabic translations. Although the Muslims did not alter the foundations of Greek science, they made several important contributions within its general framework. When interest in Greek learning revived in western Europe during the 12th and 13th centuries, scholars turned to Islāmic Spain for the scientific texts. A spate of translations resulted in the revival of Greek science in the West and coincided with the rise of the universities. Working within a predominantly Greek framework, scientists of the late Middle Ages reached high levels of sophistication and prepared the ground for the scientific revolution of the 16th and 17th centuries.”

Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak geneologinya pada terbentuknya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif Ilahi (Bakar, 1991: 74). Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual (Bakar, 1991: 74). Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan: (i) Menyatakan ketertundukan pada tauhid, dan (ii) elaborasi pemahaman secara saitifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al Qur’an kemudian berperan sebagai sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam (Baiquni, 1995: 9-62). Al Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual (Purwanto, 2008: 188-194). Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan (Bakar, 1991: 74).

Sains dalam formulasi tauhid, termaktub ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui. Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi” (Bakar, 1991: 74). Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu hal, bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua itu sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu menguasai semua itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam wilayah Ketuhanan. Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh, mengetuk serta masuk ke dalam wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat khazanah ilmu yang tak terbatas (Q.S. [Thaahaa] 20: 114).

Berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang berada di wilayah Ketuhanan, Nasr (1997) menggunakan istilah yang tepat: scientia sacra. Istilah ini digunakan untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian jauh menghantam dan memporak-porandakan ilmu pengetahuan. Desakralisasi dapat disimak ke dalam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, yaitu sejak sekitar permulaan abad ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap bersemayam di dalam wilayah Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub ke dalam ajaran tauhid, hanya Tuhan yang merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Siapa pun manusia, memang memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apa pun serta mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tak mendaptkan restu dari Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains bakal melalui jalan berliku yang rumit. Upaya saksama memelihara tauhid, dengan sendirinya merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu pengetahuan.

Apa yang lalu bisa dikatakan adalah ini. Desakralisasi ilmu pengetahuan merupakan gejala ketika sains ditahbiskan tidak lagi berasal dari Tuhan. Sains lalu dimengerti sebagai resultante dari setiap upaya partikular manusia yang tak ada hubungannya dengan Tuhan. Maka, hanyalah persoalan waktu jika kemudian sains berubah fungsi untuk sekadar menjadi instrumen perluasan antropologisme manusia. Ketika dengan ilmu pengetahuan manusia kehilangan dimensi Ketuhanan, maka dengan sendirinya sangatlah mudah bagi manusia untuk menjadikan sains sebagai alat pemukul demi mengalahkan orang lain dalam pergumulan memperebutkan materi dan kekuasaan politik. Sains lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari teknikalitas manusia untuk menipu manusia lain. Tentang hal tersebut Nasr menulis: “Kini manusia modern telah kehilangan sense of wonder, yang mengingatkan lenyapnya pengertian tentang kesucian pada suatu tingkat di mana manusia mendasarkan eksistensinya pada ilmu pengetahuan (Nasr, 1997: 2). Manusia lupa terhadap misteri yang ia dapat kembali “ke dalam” (inward) dunia yang tak terbatas (Nasr, 1997: 2).

Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri. Jalan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan bahwa niscaya bagi manusia untuk mengakui adanya yang absolut (Nasr, 1997: 3). Scientia sacra membawa manusia pada kebebasan dari semua kunkungan (Nasr, 1997: 357). Sebab, Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran (Nasr, 1997: 357).

Islam kini memasuki masa suram dalam pengembangan sains. Itulah mengapa, umat Islam dewasa ini hanya besar secara statistik demografis, namun lemah saat diharapkan mampu berada di garda depan mengembangkan sains. Umat Islam kini seakan menegasikan tingkat pencapaian yang gemilang di masa lampau dalam bidang pengembangan sains. Umat Islam dewasa ini tak memperlihatkan adanya kegairahan yang luar biasa dalam hal pengembangan sains, seperti terjadi di masa lampau. Umat Islam memang besar secara kuantitas, tetapi tidak secara kualitas. Apakah ini merupakan fakta konkret dari apa yang pernah dinyatakan dalam Hadist Nabi Muhammad saw, bahwa pada suatu massa umat Islam tak lebih hanyalah buih di lautan? Besar memang, tapi buih itu hanya dihempaskan ombak ke bibir-bibir pantai. Tak lebih dan tak kurang.

Kenyataan ini lantas memunculkan pertanyaan bernuansa hipotetik. Apa yang salah dengan Tauhid kaum Muslim dewasa ini? Mengapa ajaran tauhid gagal dicerap sebagai fundamen terbentuknya ilmu pengetahuan? Pijakan baru apa yang niscaya ada agar tauhid kembali menjadi sumber inspirasi lahirnya sains Islam yang pernah gemilang pada zamannya?

Konservatisme dan Penangkalnya

Sulit dipungkiri fakta dan kenyataan, kaum Muslim dewasa ini terbelenggu ke dalam gejala konservatisme. Berbagai pembicaraan tentang tauhid tidak secara nuchter ditujukan untuk melakukan upaya-upaya saksama pengembangan sains, seperti di masa lampau. Pembicaraan tentang tauhid berada dalam suatu tendensi untuk memperkuat politik identitas demi memenangkan pertarungan memperebutkan kuasa politik dan atau kuasa ekonomi. Ketika tauhid menjadi dasar terbentuknya bangunan sains, maka Islam sebagai ajaran mengedepan sebagai inspirasi. Tetapi ketika Islam berhenti sekadar sebagai politik identitas, maka Islam mengedepan sebagai aspirasi (Siroj, 2006). Itulah mengapa pembicaraan tentang tauhid pada akhirnya melulu dihubungkan dengan “kebenaran” Islam sebagai agama yang diperbandingkan dengan “kebenaran” agama-agama lain. Pada derajat tertentu, ekspresi pembicaraan tentang tauhid lalu bernuansa konfliktual dalam pertautan hubungan antara umat Islam dan umat beragama lain.

Sebuah telaah kritis yang tertuang ke dalam karya Harris (2004) memperlihatkan menguatnya gejala konservatisme. Sebagai konsekuensinya, tauhid cenderung untuk hanya dikait-hubungkan dengan gerakan-gerakan teror, yakni sebuah gerakan yang mengambil jalan kekerasan untuk mengubah atau memprotes situasi ketidakadilan dengan menggunakan label-label Islam. Karya Harris ini memperlihatkan satu hal secara sangat jelas, bahwa apa yang disebut the problem with Islam (Harris, 2004: 108-152) ialah berakhirnya tauhid sebagai dasar pengembangan sains. Ajaran Islam yang bersukmakan tauhid itu lalu tampak ke permukaan sebagai realitas anti-rasio atau mengingkari makna penting rasio—sebagai instrumen pengembangan sains. Ajaran-ajaran Islam yang berkembang pada hari ini lalu mengamputasi rasio dalam struktur kesadaran beragama umat. Ketika sudah tak lagi menjadi landasan pijak pengembangan sains, tauhid malah menjadi dasar munculnya radikalisme yang mengatas-namakan Islam.

Tak dapat dinafikan, para ilmuwan Muslim di masa lampau telah menemukan aljabar, menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles serta memberikan sumbangan terhadap perkembangan sains di Eropa, justru tatkala Kristenitas sendiri masih abai terhadap arti penting sains (Harris, 2004: 108). Juga melalui kekuasaan Islam di Spanyol (719-1036), teks-teks klasik Yunani diperkenalkan ke Eropa, dan dari teks klasik Yunani itulah Eropa memasuki era Renaissance (Harris, 2004: 108). Masalahnya, Islam dewasa ini terdiferensiasi ke dalam kelompok moderat dan fundamentalis. Melalui upaya yang begitu asertif, kelompok-kelompok fundamentalis mengedepankan pentingnya mempertegas timbulnya friksi dan pertarungan antara House of Islam atau Dar al-Islam dan House of War atau Dar al-Harb, sehingga Islam berkedudukan versus non-Islam (Harris, 2004: 110; Huntington, 1996: 32). Apa yang penting digarisbawahi di sini, ialah energi besar umat yang menjadikan tauhid sebagai titik tolak untuk hanya meletupkan radikalisme. Tragisnya lagi, elemen-elemen moderat pada masyarakat Islam kontemporer tak cukup memiliki kapasitas untuk menjadikan tauhid sebagai dasar pengembangan sains.

Sampai kapan konservatisme ini bakal bergemuruh? Mungkinkah ditemukan sebuah jalan keluar dari konservatisme semacam ini?

Pelan tapi pasti, di kalangan ilmuwan Muslim Indonesia muncul serangkaian otokritik terhadap runtuhnya kemampuan umat untuk menjadikan tauhid sebagai dasar mengukuhkan bangunan sains, yaitu sains Islam atau sains yang mengambil titik pijak dari scientia sacra Islam. Dua ilmuwan Muslim Indonesia kontemporer yang akan disinggung pemikirannya dalam konteks ini ialah Kuntowijoyo (1991) dan Armahedi Mahzar Mahzar (2004). Dalam pengertiannya yang luas, apa yang ditulis oleh dua ilmuwan tersebut, melalui buku-buku mereka, sesungguhnya dilandasi semangat untuk menjadikan tauhid sebagai fundamen terbentuknya bangunan sains. Jika tauhid dan kemajuan sains dalam tilikan Kuntowijoyo bermuara pada transformasi masyarakat, dalam karya Armahedi Mahzar berarti terciptanya sains berdasarkan apa yang ia sebut “Integralisme Islam”.

Transformasi Masyarakat

Dalam aksentuasi Kuntowijoyo (1991: 228-229), tauhid merupakan suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan. Sistem nilai tauhid mendasarkan diri pada pandangan semacam ini (Kuntowijoyo, 1991: 229). Tuntutan agar umat Islam mengembangkan sains untuk memajukan kehidupan, berimplikasi pada munculnya humanisme-teosentris. Transformasi masyarakat dalam perspektif Islam pun memiliki tujuan yang pasti, yaitu terbentuknya humanisme-teosentris (Kuntowijoyo, 1991: 229).

Agaknya, bagi Kuntowijoyo, upaya untuk melakukan penilikan terhadap tauhid sebagai basis tegaknya sains memang terkait dengan kata kunci humanisme-teosentris. Kuntowijoyo (1991: 167) lalu menulis seperti ini: “… iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil al-‘alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.” Apa yang menarik dari Kuntowijoyo ialah tawaran ke arah terciptanya ilmu sosial profetik (Kuntowijoyo, 1991: 286) yang sepenuhnya mengambil titik tolak dari ajaran tauhid untuk membentuk sebuah paradigma transformasi masyarakat. Namun pertanyaan krusialnya, apakah teologi Islam memang memungkinkan memenuhi cita-cita transformatif Kuntowijoyo?

Demi menjawab pertanyaan tersebut, Kontowijoyo (1991: 167) menulis seperti ini: ”Berbeda dengan pengertian agama sebagaimana dipahami oleh Barat, Islam bukanlah sebuah sistem teokrasi, yaitu sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta; bukan pula ia merupakan sebuah cara berpikir yang didikte oleh teologi. Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain dunia dan domain agama. Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga serba-pemikiran-teologi bukanlah karakter Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya.”

Dalam tulisannya, Kuntowijoyo berbicara tentang suatu model transformasi agar tauhid kembali menjadi landasan pijak mengembangan sains, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. Kontowijoyo (1991: 287) lalu menyinggung “pembaruan teologi” dalam tiga pengertian. Pertama, melakukan tafsir baru terhadap Islam dalam rangka memahami realitas yang begitu rumit dan kompleks. Kedua, metode yang diberlakukan untuk melakukan tafsir baru merupakan hasil elaborasi ajaran-ajaran Islam ke dalam suatu bentuk teori sosial. Ketiga, semua itu dilakukan sebagai rekayasa untuk transformasi masyarakat. Dengan demikian, lingkup persoalan tak hanya bersangkut paut dengan aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi juga bersinggungan dengan aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Boleh dikata, ini merupakan upaya menemukan sains Islam khas Indonesia yang mengambil titik tolak dari terjadinya transformasi ajaran-ajaran Islam menjadi teori-teori sosial. Sebagaimana dilakukan hingga akhir hayatnya, sejarahwan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dengan caranya sendiri telah melakukan upaya transformasi, yang oleh M. Dawam Rahardjo kemudian ditengarai sebagai keberhasilan Kuntowijoyo mengembangkan ilmu sejarah profetik untuk tujuan besar analisis transformasi masyarakat (Rahardjo, 1991: 11-19).

Integralisme Islam

Melalui upaya penilikan terhadap perkembangan sains dan teknologi yang bergulir sejak abad ke-17, Armahedi Mahzar (2004) sampai pada kesimpulan bahwa sains Barat bercorak reduksionistis, atomistik dan parsialis dalam memandang kenyataan. Barat terbukti gagal memahami dan mengendalikan implikasi dari perkembangan sains dan teknologi yang lahir dari sains Barat. Sebagai respons atas kenyataan tersebut, posmodernisme tampil ke depan dengan menawarkan pandangan alternatif, yaitu postrukturalisme dan holisme. Tapi, tragisnya, posmodernisme tak bisa mengelak sepenuhnya dari watak paradigma modern yang cenderung atomistis dan parsialis. Atas dasar ini, Armahedi Mahzar lalu mengajukan sebuah paradigma yang ia sebut sebagai “Integralisme Islam”. Dalam maknanya yang simplistis, Integralisme merupakan suatu wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu—sains, teknologi, seni, budaya dan agama.

Secara psikologis, Integralisme merupakan sejenis sintesis antara behaviorisme John B. Watson yang materialistik, psikoanalisis Sigmund Freud yang energetik, kognitivisme Jean Pieget yang informatik, psikologi humanistik Abraham Maslow yang valuasional, dan psikologi mistik tradisional yang transpersonal. Secara sosiologis, Integralisme merupakan sistesis dari metarialisme Karl Marx dan idealisme G.W.F. Hegel. Secara biologis, Integralisme merupakan sintesis dari neodarwinisme yang informatik dan filsafat vitalisme Henry Bergson yang energetik. Secara kosmologis, Integralisme merupakan suatu sintesis antara monisme Baruch Spinoza dan pluralisme G.W. Leibniz, dengan memasukkan alam akhirat ke dalam skema kosmologis yang utuh dan terpadu. Secara ontologis, Integralisme merupakan suatu sintesis filsafat Barat modern yang mengingkari transendensi dan filsafat Timur tradisional yang mendalami imanensi dalam suatu kesatuan logis, dan bukan sebuah sinkretisme asosiatif, yang mengembalikan transendensi teologis ke dalam filsafat Barat modern. Pendek kata, Integralisme menyatukan aspek-aspek psikologis, sosiologis, biologis, kosmologis, dan ontologis dengan cara membentuk sebuah kesatuan dengan dua hierarki—horizontal dan vertikal—yang dapat disebut sebagai realitas integral.

Hal fundamental yang menarik digarisbawahi dari Armahedi Mahzar adalah dialog sains dan agama (Mahzar, 2004: 210-220). Bahwa secara intrinsik, tak ada pertentangan antara sains dan Islam. Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsafat Yunani terlalu deduktif, yang lebih berdasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi oleh pengamatan empiris sebagaimana yang diperintahkan dalam Al Qur’an. “Itulah sebabnya,” tulis Armahedi Mahzar, “di tangan ilmuwan Muslim, sains berkembang dengan pesat. Pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuwan Muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun, rasionalitas sains tak dapat dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral” (Mahzar, 2004: 210-211).

Namun ke depan, pengembangan sains Islam bakal terbentuk persoalan besar. Armahedi Mahzar menegaskan, bahwa ilmu mengenai benda-benda yang disebut sebagai sains tak dapat dipisahkan dari ilmu mengenai cara yang disebut teknologi. Teknologi sebagai penerapan sains juga terdiri dari empat komponen atau strata eksistensial yang berkaitan dengan materi, energi, informasi, dan nilai” (Mahzar, 2004: 224). Dalam konteks ini, peranan tauhid sebagai sentralitas keyakinan Muslim perlu diperteguh dengan memperkukuhnya menjadi suatu pandangan dunia transformatif dalam rangka menangkal deislamisasi global (Mahzar, 2004: 262). Sementara, deislamisasi global terpampang ke dalam beberapa fakta berikut (Mahzar, 2004: 261-262):

Pertama, dominasi teknologi cetak memungkinkan terbentuknya revolusi ilmiah yang diikuti oleh revolusi industri. Revolusi industri yang berkaitan dengan pandangan dunia saintifik dan ideologis mendasari masyarakat kapitalis industrial dengan orientasi rasional. Revolusi komunikasi radio memungkinkan dominannya pandangan dunia ideologis dengan sistem kapitalisme imperilais transnasional. Kedua, revolusi komunikasi televisi mendorong pandangan dunia yang bersifat imagologis dalam suatu masyarakat dunia yang didominasi kapitalisme korporasi multinasional. Dengan revolusi komunikasi dan informasi digital dan internet, maka semua bentuk pandangan dunia terpadu dalam skala global.

Armahedi Mahzar lalu menulis seperti ini: “Dalam era teknologi informasi digital global ini, sistem kapitalisme global merangsang gaya hidup konsumtif materialistis melalui imagologi hiper-realitas. Imagologi hiper-realitas yang membungkus ideologi materialistis, filsafat humanistis, teologi ateis, dan mitologi sekularistik yang tersembunyi. Pendeknya, dunia budaya postmodern yang pluralistis ditampilkan untuk kolonisasi mental melalui virus-virus virtual seraya menyembunyikan hegemonisme monopolistik kapitalisme global.” Di sini Armahedi Mahzar berbicara tentang agama baru yang sekuler dan profan dengan ilah baru berupa materialisme teknologis ilmiah lengkap dengan ritual budaya ekonomi konsumeristik: budaya yang gemerlap duniawi dan badani melalui citraan-citraan dan disinformasi sistematik telemedia global. Maka, diperlukan sebuah ideologi rasional komprehensif untuk menyiasati gelombang serbuan budaya deislamisasi. Lebih lanjut, Armahedi Mahzar menulis: “Serbuan deislamisasi itu sejatinya adalah fenomena permukaan dari proses pengisapan kekayaan material negeri-negeri Muslim. Proses pengisapan yang direkayasa melalui sistem pasar bebas global kapitalistik yang pada hakikatnya timpang” (Mahzar, 2004: 262).

Catatan Penutup

Tauhid sebagai landasan pijak untuk memajukan sains masih mungkin dilakukan umat Islam kini dan di masa depan. Namun demikian, dibutuhkan upaya saksama memperbaiki keadaan. Pemaparan tentang pandangan Kuntowijoyo berkenaan dengan transformasi masyarakat mengilustrasikan adanya kendala internal umat Islam untuk memajukan sains. Sementara titik tekan dari apa yang dipaparkan Armahedi Mazhar terkait dengan tantangan yang bersifat eksternal. Maka, upaya memajukan sains Islam berlandaskan tauhid harus mempertimbangkan tantangan internal dan eksternal tersebut.


Bibliografi

Baiquni, Achmad. (1995). Al Qu’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Bakar, Osman. (1991). Tauhid dan Sains: Esensi-esensi tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Yuliani Liputo dari judul asli Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamiv Science.

Brush, Stephen G. (2006). “Physical Science”, dalam Encyclopædia Britannica dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD .

Harris, Sam. (2004). The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. London: Simon & Schuster.

Huntington, Samuel P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. (1995). Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Cetakan ke-3.

Mahzar, Armahedi. (2004). Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Mizan.

Nasr, Seyyed Hossein. (1997). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjamahan Suharsono et.al. dari judul asli Knowledge and the Cecred.

Purwanto, Agus. (2008). Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al Qur’an yang Terlupakan. Bandung: Mizan.

Rahardjo, M. Dawam. (1991). “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, pengantar pada Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Rahman, Fazlur. (1999). Major Themes of the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Siroj, Said Aqil. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan.

Syari’ati, ‘Ali. (1992). Humanisme: Antara Islam dan Mahzab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb.

2 komentar:

Lutfialchemie mengatakan...

tulisan ini sangat bagus dan perlu intelektuaitas yang tinggi. sehingga saya harus membaca lebih dari 1 kali untuk dapat mengangkat intisari dari tulisa. Satu hal yang penting untuk digaris bawah kaitan tauhid dengan sains memiliki keeratan yang tidak dapat dipisahkan.Sehingga untuk mencapai tauhid yang sejati perlu intelektualitas yang memadai. Tanpa itu seorang insan tidak akan mencapai derajat Tauhid yang hakiki

(Lutfialchemie )

wag mengatakan...

Ini kajian yang di depan mata namun berat menyajikannya.Kenyataan kebenaran ttg integralisme tauhid memang perlu eksplorasi lebih lanjut bagi pemikir yang 'guided' sedangkan jawaban atas hal itu kan memang 'given' bagi yang beriman, jadi pinjam analogi antara sobluk dan tutupnya, mana tauhid dan mana sains ?