Kamis, 12 Maret 2009

Transmisi BI Rate

Oleh Anwari WMK

Pada 4 Maret 2009, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 50 basis poin. Jika sebelumnya BI Rate berada pada kisaran 8,25%, pada akhirnya menjadi 7,75%. BI Rate dengan besaran mutakhir ini merupakan level paling rendah sejak munculnya konsepsi suku bunga acuan dalam sistem keuangan Indonesia, yaitu terhitung sejak Juli 2005. Latar belakang paling penting dari penurunan BI Rate per 4 Maret 2009 adalah: (i) perkembangan ekonomi global yang memperlihatkan perlambatan secara lebih buruk, (ii) penurunan kinerja ekspor Indonesia yang secara telak mempengaruhi perekonomian nasional secara keseluruhan. Penurunan BI Rate lalu diasumsikan mampu mendorong perbankan nasional menyalurkan kreditnya ke sektor riil.

Dalam situasi krisis sebagaimana terjadi kini, perbankan sesungguhnya diperhadapkan dengan masalah krusial peningkatan biaya dan kemerosotan nilai aset, lantaran harus menanggung dana pencadangan provisi. Dalam situasi krisis, perbankan juga diperhadapkan pada masalah kemacetan pasar uang antar-bank. Dengan penurunan BI Rate, Bank Sentral memperlihatkan adanya sebuah perspektif tertentu dalam menyimak hakikat risiko kredit. Di tengah kondisi perekonomian yang tak menentu, upaya menekan risiko kredit diberlakukan sebagai aspek dan dimensi yang signifikan.

Boleh dikata, BI Rate analog dengan Libor (London Inter-Bank Offered Rate) dan atau Sibor (Singapore Inter-Bank Offered Rate). Naik turunya BI Rate memiliki resonansi secara sangat kuat dengan naik turunya suku bunga komersial perbankan. Dengan demikian, ada semacam transmisi dari BI Rate ke suku bunga komersial di perbankan. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa Bank Sentral kemudian tampil ke depan dengan pengandaian: tingkat bunga yang cenderung menurun membuat risiko kredit perbankan kian menurun. Itulah mengapa penurunan BI Rate diskenariokan sedemikian rupa berfungsi sebagai kelonggaran yang bisa dimanfaatkan oleh kalangan perbankan nasional meningkatkan pertumbuhan kredit. Penurunan BI Rate, dengan demikian, merupakan kekuatan maha dahsyat yang mampu menstimuli penurunan suku bunga kredit perbankan. Kebutuhan dunia usaha akan modal kerja, investasi baru maupun kredit konsumsi, dapat dengan segera dipenuhi oleh kelembagaan bank.

Ternyata, muncul tanda-tanda bahwa transmisi BI Rate takkan berjalan linear, sebagaimana diskenariokan di atas kertas. Setelah BI Rate turun sebesar 50 basis poin, tetap belum ada tanda-tanda perbankan bakal menurunkan suku bunga komersial. Fakta dan kenyataan yang kemudian mencuat ke permukaan justru mendedahkan kesimpulan, bahwa penurunan BI Rate tak serta-merta berakibat langsung pada penurunan suku bunga komersial perbankan. Dengan demikian berarti, ada semacam distransmisi dari penurunan BI Rate menuju penurunan bunga komersial perbankan nasional. Tragisnya lagi, tidak berjalannya transmisi ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, terkait dengan persoalan jedah waktu (time lag) antara penurunan BI Rate pada satu pihak dan penurunan suku bunga komersial perbankan pada lain pihak. Ketika perekonomian tak diharu-biru oleh berbagai persoalan dalam hubungannya dengan krisis, maka time lag transmisi membutuhkan waktu dua bulan hingga tiga bulan. Namun ketika perekonomian berada dalam pusaran krisis, transmisi tersebut membutuhkan waktu bisa sekitar lima hingga enam bulan. Maka, tak berlebihan jika kemudian dikatakan, penurunan BI Rate per 4 Maret 2009 bukanlah panasea yang mampu menormalkan penyaluran kredit bank ke setor riil.

Kedua, tersendatnya transmisi penurunan suku bunga dari BI Rate menuju bunga komersaial perbankan berjalin kelindan dengan politik perekonomian. Baik regulasi, konsensus politik maupun kebijakan ekonomi, tidak adaptif terhadap perubahan dan perkembangan baru. Sebagaimana dapat disimak pada Kredit Usaha Rakyat (KUR), pemberlakuan suku bunga maksimal sebesar 16% ditetapkan jauh sebelum 4 Maret 2009. Ketika kemudian pada 4 Maret 2009 BI Rate berubah dari 8,25% menjadi 7,75%, maka sejatinya suku bunga maksimal KUR diturunkan untuk berada pada kisaran 12% hingga 14%. Sejatinya, begitu BI Rate mengalami penurunan maka pemerintah, bank BUMN dan lembaga penjamin kredit dengan segera melakukan pertemuan untuk tujuan menurunkan suku bunga maksimal KUR. Sayangnya, imperatif inilah yang tak terjadi. Suku bunga maksimal KUR tetap berada pada kisaran 16%.

Ketiga, perbankan nasional membangun perspektif subyektif dalam memahami hakikat dan logika krisis finansial global. Bukan sekadar sensitif, bankir di jajaran perbankan nasional cenderung menjadi paranoid setelah menyimak secara terang benderang rontoknya bank-bank investasi di Amerika Serikat sejak medio September 2008. Ditambah lagi dengan belum pulihnya trauma terhadap krisis moneter 1997-1998 yang merontokkan sendi-sendi perbankan nasional, perbankan di Indonesia kini cenderung memaknai krisis perekonomian global—yang episentrumnya di Amerika—sebagai destroyer yang menyudutkan perbankan nasional ke dalam peningkatan premi risiko bunga. Pada titik ini, mustahil perbankan nasional memberlakukan kebijakan bunga rendah.

Keempat, spektrum perbankan nasional diwarnai oleh timbulnya kepincangan dalam hal likuiditas. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perbankan skala besar memiliki likuiditas dalam jumlah besar. Sebaliknya, perbankan skala menengah dan kecil memiliki likuiditas yang rendah. Kepincangan inilah yang memicu perang suku bunga simpanan demi merebut dana deposan yang untuk saat ini kurang lebih berada pada outstanding Rp 1.800 triliun. Tak terelakkan jika kemudian bunga deposito ada yang dipatok hingga 14%.

Kelima, pengeringan (crunch) likuiditas perbankan ikut pula ditentukan oleh komposisi nasabah pemilik rekening. Sekitar 60% nasabah masing-masing memiliki rekening di bawah Rp 2 miliar, sedangkan sekitar 40% nasabah masing-masing memiliki rekening di atas Rp 2 miliar. Nasabah dalam kategori terakhir ini memiliki posisi tawar yang cukup kuat, sehingga mampu mendesak kelembagaan bank untuk memberlakukan bunga deposito di atas 14% dan perbankan diharuskan memberikan jaminan melampaui ketentuan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Langsung maupun tak langsung, kenyataan ini menjadi salah satu sebab terjadinya peningkatan cost of fund.

Keenam, obligasi global yang diterbitkan pemerintah RI dan sepenuhnya mendapatkan jaminan dari pemerintah, menetapkan yield antara 10,5% hingga 12%. Tanpa bisa dielakkan, obligasi pemerintah semacam ini berkembang menjadi instrumen investasi yang menarik. Pada giliran selanjutnya, kaum the have lebih memilih menginvestasikan dananya dengan membeli obligasi global pemerintah RI, ketimbang menyimpannya dalam bentuk deposito di perbankan. Apa yang kita saksikan dalam konteks ini sesungguhnya decoupling antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Pada satu sisi, melalui penurunan BI Rate sebesar 50 basis poin, Bank Indonesia mengondisikan perbankan nasional untuk mengucurkan kredit ke sektor riil. Pada lain sisi, pilihan Departemen Keuangan pada obligasi ketimbang utang luar negeri demi menutup defisit anggaran, mencetuskan efek yang tak sederhana: larinya dana nasabah bank untuk kemudian diinvestasikan pada pembelian obligasi. Bank lalu diperhadapkan dengan crunch likuiditas.

Hal lain yang tak memungkinkan terjadinya transmisi penurunan BI Rate menuju penurunan bunga komersial perbankan adalah sesuatu yang bersifat intangible. Kita tahu, bankir di Indonesia bukanlah agen pembangunan dalam maknanya yang par excellence. Orientasi pada kejayaan pribadi, tak memungkinkan lahirnya bankir di Indonesia sekaliber Muhammad Yunus di Bangladesh—melalui Grameen Bank. Bankir di Indonesia hampir sama maknanya dengan rentenir. Diperhadapkan dengan enam tantangan yang dikemukakan di atas, bankir di Indonesia lebih memilih menyelamatkan dirinya dengan tetap mematok bunga kredit yang tinggi. Maka, absurd berharap bakal adanya transmisi BI Rate melalui prakarsa-prakarsa genuine bankir-bankir Indonesia. Absurd, dan sungguh absurd.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di kabarbisnis.com, 9 Maret 2009.

Tidak ada komentar: