Rabu, 18 Maret 2009

Mantra Modernisasi Asia

Oleh Anwari WMK

Dalam The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to The East (PublicAffairs, New York, 2008), Kishore Mahbubani berbicara tentang modernisasi Asia pada abad XXI yang ditentukan oleh tujuh hal. Untuk lebih mudahnya, kita sebut saja tujuh hal itu sebagai “tujuh mantra modernisasi Asia”. Dengan tujuh hal itu, Kishore Mahbubani lalu memancangkan sebuah prognosa masa depan yang menarik. Bukan saja abad XXI ia kumandangkan sebagai abad Asia, lebih dari itu Asia ia nubuahkan bakal tampil ke depan dengan sejumlah kemajuan dalam bidang sosial dan ekonomi, melampaui kemajuan Barat pada abad XXI. Kishore Mahbubani mendedahkan sebab-sebab fundamental mengapa Asia kemudian mengalami lompatan kemajuan, yang bakal menggungguli Barat pada abad XXI.

Pertama, implementasi kerangka kerja perekonomian pasar bebas di Asia tak pernah bisa dilepaskan dari watak manusia Asia itu sendiri. Dalam ruang-waktu khas Asia, lahir berbagai dimensi kultural yang, langsung maupun tak langsung, mempengaruhi terbentuknya pola-pola perekonomian. Sisi antropologis masyarakat China, misalnya, mendasari terbentuknya pola perekonomian pasar bebas. Dalam perspektif kultural, masyarakat China merupakan the most industrious people in the world. Sebagai konsekuensinya, perekonomian China tak mungkin bertakzim pada sistem the mode of production Marxist-Leninist. The mode of production Marxist-Leninist justru mengingkari watak manusia China sebagai the most industrious people in the world. Implementasi sistem perekonomian pasar bebas di China juga bukan terutama didorong oleh penerapan gagasan Bapak Kapitalisme Adam Smith (1723-1790), tetapi lebih karena kultur perekonomian masyarakat pada level lokal dalam kategori the most industrious people.

Kedua, Asia berada dalam satu titik pergumulan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Muncul kesadaran umum di Asia, bahwa upaya-upaya saksama menempatkan Asia di garda depan kemajuan sosial dan ekonomi ditentukan oleh kapasitas menguasai serta mengembangkan Iptek. Sesuatu yang menarik adalah pergumulan jangka panjang Asia alam hal memperkembangkan Iptek. Kontribusi Asia sama besarnya dengan kawasan-kawasan lain ke arah pengembangan Iptek. Bahkan, proyeksi Richard Smalley, pemenang Hadiah Nobel Kimia tahun 1996, menegaskan bahwa sejak 2010 sekitar 90% sarjana pemegang gelar doktor dalam bidang sains dan perekayasaan di seluruh dunia akan tinggal di Asia. Dengan sendirinya, Asia menjadi representasi dari terjadinya pergeseran besar keahliah pada tingkat global dalam bidang sains dan teknologi.

Ketiga, Asia tengah bergerak ke depan dengan memberikan tempat secara memadai terhadap arti penting meritokrasi. Dalam maknanya yang sederhana, “meritokrasi” berarti memberikan penghargaan secara terhormat terhadap setiap potensi individu untuk dapat diaktualisasikan menjadi kenyataan. Dengan segenap potensinya itu, setiap individu berada dalam kesetaraan untuk memberikan kontribusi kepada kehidupan masyarakat. Kebermaknaan hidup dalam masyarakat lalu terkait erat dengan adanya kesetaraan kesempatan bagi setiap individu untuk memperkembangkan potensi dirinya yang terpendam. Meritokrasi berarti memberi tempat secara terhormat bagi mereka yang terbaik dan terunggul untuk tampil maksimal melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Maka, tanpa bisa dielakkan, meritokrasi merupakan kekuatan “pemaksa” yang menggusur dimensi-dimensi primordial yang ditransaksikan dalam realitas hidup kolektif. Pelan tapi pasti, feodalisme di Asia mengalami keterkikisan, sehingga memungkinkan tumbuh dan berkembangnya meritokrasi.

Keempat, lompatan kemajuan Asia tak mungkin sama sekali bersifat ahistoris, atau menafikan dimensi-dimensi historis. Pengalaman kawasan-kawasan lain di masa lampau untuk melakukan lompatan besar ke depan (great leap forward) demi mencapai kemajuan dipertimbangkan sebagai acuan. Jepang sejak era Meiji pada abad XIX, misalnya, telah menyimak secara jeli hakikat keunggulan Barat sehingga mampu menjajah Timur. Jepang lalu sampai pada kesimpulan adanya apa yang disebut Western best practice yang sesungguhnya mutlak untuk diadopsi demi meraih tujuan-tujuan fundamental modernisasi. Kemunculan Jepang sebagai superpower dunia dari Asia sejak permulaan abad XX sesungguhnya tak dapat dilepaskan dari kemampuan menerapkan Western best practice. Bahkan, Jepang kemudian memenangkan perang melawan Rusia pada 1905. Inilah sebuah resultante, bahwa dengan mengadopsi Western best practice Jepang mampu mengalahkan Barat (baca: Rusia) itu sendiri. Kemampuan mengimplementasikan Western best practice itulah yang ditengarahi sebagai pragmatisme Asia.

Kelima, selama dua dekade terakhir, dinamika Asia ditandai oleh terciptanya berbagai kemajuan dalam bidang sosial dan ekonomi. Asia, selama dua dekade itu, relatif sepi dari perang dan konflik bersenjata. Kenyataan ini merupakan indikasi, betapa kemajuan sosial dan ekonomi di Asia disertai oleh munculnya budaya damai, terutama dalam rentang hubungan antar-negara. Kemajuan sosial dan ekonomi, dengan demikian, dibarengi oleh kuatnya optimisme akan hadirnya koeksistensi secara damai. Realitas yang terbentang selama dua dekade itu penting untuk dicatat sebagai keberhasilan Asia menemukan jalinan antara dinamika ekonomi di satu sisi dan terwujudnya perdamaian kawasan di lain sisi.

Keenam, Asia memasuki proses penegakan hukum. Tatanan lama kekuasaan politik di Asia menempatkan kelas penguasa untuk selalu berada di atas hukum. Itulah mengapa, tatanan lama kekuasaan politik di Asia tak mengenal kesederajatan dalam bidang hukum untuk semua orang dalam kedudukannya sebagai warga negara berdaulat. Inilah kesadaran purba tentang makna hukum, yakni hukum yang tak mungkin mampu melahirkan keadilan. Kini, semuanya harus berubah. Sejauh Asia menghendaki kemajuan lebih lanjut perekonomian, sejauh itu pula harus ada keadilan hukum. Jika tidak, dinamika perekonomian takkan berhasil mengatualisasikan talenta-talenta terbaik untuk mencapai keunggulan kompetitif. Dan memang, negara-negara seperti China dan Indonesia dewasa ini gencar melakukan penegakan hukum melalui pemberantasan korupsi. Berbagai kekurangan yang inherent dalam penegakan hukum itu harus disimak ke dalam konteks upaya super-kompleks mencerabut kesadaran purba yang menempatkan the ruling class berdiri di atas hukum. Kini, “penegakan hukum” merupakan kata kunci bagi kemajuan Asia.

Ketujuh, Asia kini merupakan kawasan yang ditandai oleh besarnya populasi yang mendapatkan akses mengenyam pendidikan modern. Jika pendidikan di Barat sejauh ini dihipotesiskan sebagai model terbaik memajukan dan mencerdaskan manusia, maka model tersebut kini tengah diimplementasikan secara sangat luas di Asia. Begitu asertifnya perkembangan pendidikan di Asia, sampai pada suatu titik di mana pendidikan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi pada kisaran 0,75% hingga 2%. Artinya, magnitude pertumbuhan ekonomi sebesar itu merupakan kontribusi yang tak dapat dilepaskan dari sektor pendidikan.

Boleh dikata, berbagai sorotan ekonomi politik yang dilakukan Kishore Mahbubani dalam The New Asian Hemisphere itu merupakan penegasan terhadap sesuatu yang tak terelakkan: masa senja peradaban Barat. Namun tilikan lebih jauh terhadap tujuh mantra modernisasi Asia itu membawa kita pada pertanyaan, apakah Indonesia mampu memosisikan dirinya secara tepat—dan sekaligus terhormat—ke dalam pusaran abad Asia? Mungkinkah Indonesia tidak hanya mampu tampil sebagai penonton terhadap timbulnya lompatan kemajuan Asia pada beberapa dekade mendatang?


Tidak ada komentar: