Jumat, 17 Oktober 2008

Rakyat Tanpa Rumah

Oleh Anwari WMK

Rumah untuk rakyat merupakan agenda yang telah bergulir sejak dekade 1970-an. Tapi, tragisnya, agenda ini tak pernah beranjak ke permukaan sebagai isu ekonomi-politik yang seksi. Rumah untuk rakyat dibicarakan oleh kalangan pemerintah tak lebih sebagai dentuman retorika. Hingga abad XXI kini, tak ada sesuatu yang sungguh-sungguh substantif dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengejewantahkan “rumah untuk rakyat” agar menjadi kenyataan. Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa di Indonesia tak pernah sungguh-sungguh ada sebuah sistem hukum yang sepenuhnya mendukung keberadaan mortgage, persis seperti terjadi di negara-negara Anglo-Saxon. Padahal, dengan mortgage itu berarti tersedia instrumen kepemilikan rumah yang sepenuhnya disokong kredit perbankan. Di negara-negara Anglo-Saxon, mortgage benar-benar mendapatkan keabsahan dari sistem hukum.

Di Indonesia, banyak faktor dan sebab yang mendorong rakyat untuk dengan serta-merta tak memiliki rumah. Bahkan, rakyat yang semula memiliki rumah, tiba-tiba kehilangan rumah. Homeless atau tuna-graha dalam realitas Indonesia merupakan fenomena yang bergerak di atas permukaan, namun di bawahnya terbentang berbagai latar belakang persoalan pelik. Karena itu, kini ada keniscayaan agar masalah rakyat tanpa rumah disorot secara tajam justru demi mengakhiri kecenderungan yang selalu memosisikan “rumah untuk rakyat” sekadar sebagai retorika. Sudah saatnya kini rumah untuk rakyat betul-betul diintegrasikan ke dalam upaya pemaknaan secara baru akan kedaulatan rakyat. Sejauh pemerintah gagal memberi jaminan terhadap rakyat agar memiliki rumah, maka sejauh itu pula sesungguhnya terjadi penggerusan terhadap kedaulatan rakyat.

Aspek pertama penyebab tak adanya kemampuan rakyat untuk memiliki rumah terkait erat dengan kegagalan pemerintah melaksanakan proyek perumahan rakyat. Sebagaimana diketahui, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu termaktub mata anggaran proyek perumahan rakyat. Pada era Orde Baru, arti penting mata anggaran proyek pembangunan perumahan rakyat tercermin pada upaya pencapaian untuk, misalnya, membangun sejuta unit perumahan rakyat. Tak mengherankan jika melalui kepeloporan pemerintah maka pada zaman Orde Baru muncul berbagai tipologi perumahan rakyat, dari sejak munculnya apa yang disebut Tipe 54, Tipe 45, Tipe 36, Tipe 21, Rumah Sederhana (RS), hingga munculnya Rumah Sangat Sederhana (RSS). Sungguh pun demikian, Orde Baru tak pernah sepi dari kritik. Ini karena, tak sedikit dari mereka yang mendapatkan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) telah memiliki rumah. Pemerintah Orde Baru tak sungguh-sungguh mampu membuka akses secara sangat lebar kepada masyarakat menengah bawah untuk memiliki rumah.

Sejak era pasca-Orde Baru, muncul tren peningkatan dalam hal penyerapan rumah bersubsidi—dalam kategori rumah sederhana sehat (RSH). Inilah rumah yang pembangunannya mendapatkan subsidi dari APBN dan yang secara khusus dibangun demi memenuhi kebutuhan masyarakat lapis bawah berpenghasilkan rendah akan perumahan. Jika pada 2005 tingkat penyerapan RSH mencapai 60.000 unit, pada 2006 meningkat menjadi 75.000 unit dan meningkat lagi menjadi 100.000 unit pada 2007. Khusus untuk 2008, pemerintah menargetkan pembangunan RSH sebanyak 249.000 unit. Hingga September 2008, nilai subsidi RSH mencapai sekitar Rp 729 miliar (Seputar Indonesia, 9 Oktober 2008, hlm. 15). Persoalannya kemudian terkait dengan proyeksi, bahwa target 2008 sulit dicapai.

Memang, kondisi umum pembangunan sektor properti memperlihatkan terjadinya pertumbuhan secara signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan sektor properti berada pada kisaran 20% hingga 30%. Terutama pembangunan properti dalam cakupan perumahan untuk kelas menengah atas, apartemen dan pembangunan properti untuk kawasan-kawasan bisnis diproyeksikan takkan mengalami peluruhan sekali pun perekonomian nasional Indonesia terimbas krisis moneter Amerika. Tetapi pembangunan perumahan untuk masyarakat menengah bawah, seperti RSH, terancam babak belur oleh imbas krisis moneter Amerika. Di antara berbagai macam kategori properti, RSH bukanlah sesuatu yang superlatif. Ini sejalan dengan fakta, bahwa pasar properti untuk skala menengah bawah sangat rentan dihantam fluktuasi suku bunga kredit. BI Rate yang mengalami kenaikan hingga mencapai 9,50% sejak 7 Oktober 2008 secara otomatis menghambat likuiditas pengembang yang fokus pada pembangunan RSH. Kenaikaan SBI itu berimplikasi langsung pada meningkatan suku bunga kredit perbankan. Pada giliran selanjutnya, pengembang RSH yang sebagian terbesarnya bersandar pada pinjaman bank bakal mengurangi suplai RSH. Demi menjaga likuiditas, pengembang RSH cenderung menunda investasi baru (Kompas, 9 Oktober 2008, hlm. 20).

Aspek kedua penyebab timbulnya persoalan “rakyat tanpa rumah” berhubungan erat dengan kontrak sosial yang semu antara negara dan masyarakat. Sebagai negeri yang sering dilanda bencana alam, rakyat berada dalam ancaman laten kehilangan rumah. Puting beliung yang datang dan pergi kapan saja di berbagai pelosok Nusantara, misalnya, dengan begitu mudahnya merusak secara massal rumah warga. Bukan cerita baru jika setelah puting beliung berlalu, penduduk benar-benar kehilangan rumah. Sayangnya, pemerintah belum melihat persoalan ini sebagai pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Karena itu, tak ada jaring pengaman yang mengharuskan pemerintah untuk sepenuhnya memberikan bantuan rehabilitasi terhadap rumah-rumah penduduk yang luluh lantak dihantam bencana alam. Hal mendasar apa yang dapat kita simak dari kenyataan ini? Pemerintah melakukan pembiaran terhadap timbulnya persoalan rakyat tanpa rumah. Pemerintah kosong dari sensibilitas terhadap nestapa rakyat yang kehilangan rumah oleh kecamuk bencana alam.

Aspek ketiga penyebab timbulnya persoalan tuna-graha berjalin kelindan dengan serangkaian penggusuran perkampungan-perkampungan kumuh di wilayah-wilayah urban. Kita tahu, urbanisasi memiliki hukum besinya sendiri. Semakin tinggi intensitas dan akselerasi urbanisasi, maka kian besar pula kebutuhan akan perumahan. Apa yang diidentifikasi sebagai “kota berwajah desa” sepenuhnya bertitik-tolak dari kian tingginya intensitas dan akselerasi urbanisasi. Dari sini kemudian terbentuk perkauman masyarakat bawah yang dalam ilmu-ilmu sosial diidentifikasi sebagai “proletar”, “periferal” dan “marjinal”. Sang proletar kota dengan begitu mudahnya kemudian terdorong untuk melakukan penyerobotan tanah-tanah kosong. Dari sini kemudian berdiri rumah-rumah gubuk dan atau bangunan semi permanen yang sepenuhnya difungsikan sebagai tempat berteduh (shelter). Aparat pemerintah lokal melihat masalah ini dari sudut pandang hitam-putih, antara benar dan salah menurut kerangka legal formal. Penggusuran lalu dianggap absah dilaksanakan. Celakanya, elemen pemerintahan yang terlibat penggusuran tak mampu: (1) memberikan tawaran relokasi, (2) gagal mengaitkan penyerobotan tanah di wilayah urban dengan problem disparitas desa-kota . Rakyat yang tergusur itu lalu benar-benar kehilangan rumah dalam maknanyan sebagai sebuah shelter.

Apa yang dapat dikatakan lebih lanjut dengan demikian ialah kompleksnya latar belakang pencetus timbulnya masalah “rakyat tanpa rumah”. Sementara, sampai kapan pun, pemerintah memiliki kewajiban moral untuk memberikan garansi agar setiap warga negara memiliki rumah layak huni. Ini berarti, pemerintah harus berpijak pada orientasi baru dalam konteks penuntasan masalah rakyat tanpa rumah. Implementasi regulasi perumahan rakyat harus paralel dengan adanya sistem penjaminan pemerintah untuk memberikan bantuan pada kaum tuna-graha karena berbagai sebab. Di wilayah-wilayah urban, misalnya, pemerintah harus mampu melakukan pengaturan terhadap permukiman yang telah lama terbentuk dan mengarahkan terbentuknya permukiman bagi warga yang baru hadir di perkotaan. Hanya saja, untuk mampu melaksanakan semua ini dengan baik dibutuhkan prasyarat. Aparat pemerintah terlebih dahulu harus sembuh dari patologi perburuan rente. Mungkinkah?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kami disetujui pemerintah dan pemberi pinjaman kredit bersertifikat Perusahaan kami tidak menawarkan pinjaman mulai dari pribadi untuk pinjaman industri untuk orang yang tertarik atau perusahaan yang mencari bantuan keuangan pada tingkat bunga dinegosiasikan 2% kesempatan untuk membersihkan dept Anda., Mulai atau meningkatkan bisnis Anda dengan pinjaman dari pinjaman perusahaan kami diberikan di Pounds (£), dollar ($) dan Euro. Jadi mengajukan pinjaman sekarang orang yang tertarik harus menghubungi kami untuk informasi lebih lanjut. Mengisi informasi data peminjam. Hubungi kami sekarang melalui: jenniferdawsonloanfirm20@gmail.com
(2) Negara:
(3) Alamat:
(4) Kota:
(5) Sex:
(6) Status Pernikahan:
(7) Bekerja:
(8) Nomor Ponsel:
(9) Penghasilan Bulanan:
(10) Jumlah Pinjaman Dibutuhkan:
(11) Jangka waktu pinjaman:
(12) Tujuan Pinjaman:

Terima kasih atas pengertian Anda karena kami berharap untuk mendengar dari Anda segera.

E-Mail: jenniferdawsonloanfirm20@gmail.com