Jumat, 17 Oktober 2008

Bahaya Kapitalisme Amerika

Oleh Anwari WMK

Berakar pada sejarah perekonomian dunia pada sekitar 1500 tahun Sebelum Masehi, kapitalisme kemudian berkembang sedemikian rupa menjadi fenomena tunggal. Semula kapitalisme merupakan gejala pluralitas yang muncul secara sporadis di berbagai pusat kegiatan produksi di dunia. Sebuah masyarakat, bangsa dan negara di sebuah sudut Planet Bumi memiliki kapasitas untuk mengembangkan model-model spesifik kapitalisme. Namun pada perkembangan selanjutnya hingga abad XIX, kapitalisme menjadi warna khas dinamika perekonomian Eropa. Khususnya dari kawasan Inggris, kapitalisme ala Eropa menyebar ke berbagai penjuru dunia. Setelah itu, Amerika Serikat mengambil-alih posisi Inggris dalam hal menyebar-luaskan kapitalisme ke berbagai penjuru dunia. Pada kurun waktu abad XX hingga pada permulaan abad XXI, kapitalisme yang berkembang di berbagai pelosok dunia benar-benar berwajah Amerika. “Globalisasi” pun hampir sama maknanya dengan “Amerikanisasi”. Maka, bahaya yang dibawa serta oleh kapitalisme merupakan bahaya yang semula dicetuskan oleh kapitalisme Amerika.

Apa yang penting digarisbawahi dari kapitalisme Amerika adalah keserakahan yang dipercangih oleh praktik perekonomian. Karena itu, muncul dua perspektif dalam memprognosis perkembangan kapitalisme dalam jangka panjang. Pertama, ekonom Amerika kelahiran Austria Joseph A. Schumpeter (1883-1950) dalam bukunya yang terkenal, Capitalism, Socialism and Democracy (1947 [1942]), tampil dengan pandangan skeptis saat menyorot kapitalisme Amerika. Schumpeter tidak percaya bahwa kapitalisme seperti dipertontonkan Amerika bakal bertahan dalam jangka panjang. Sebab pokoknya berhubugan erat dengan institusi-institusi sosial yang berfungsi sebagai pendukung dan sekaligus pengendali sistem kapitalisme. Sukma free market economy, atau free enterprise economy dalam sistem kapitalisme hanya mungkin bisa diejawantahkan ketika institusi-institusi sosial bersih dari feudalisme dan tatkala the mode of production dalam perekonomian tak bertubrukan dengan visi keadilan institusi-institusi sosial. Jika institusi sosial ini rapuh, maka kapitalisme bakal bekerja sebagai mesin yang hanya melahirkan economic failure. Tesis Schumpeter ini mengingatkan kita pada pandangan ekonom dan ahli sejarah sosial Jerman Max Weber (1864-1920) tentang prasyarat etika bagi tegaknya kapitalisme. Weber berbicara tentang etika Protestan sebagai spirit yang mendasari perkembangan kapitalisme.

Hal penting yang diingatkan Schumpeter adalah ini: tak ada kerangka etik dalam perkembangan kapitalisme di Amerika. Di Amerika hampir tidak ada institusi-institusi sosial yang kritis mengawasi sepak terjang kaum kapitalis. Dalam buku terbarunya bertajuk The New Pradigm for Financial Market (2008), George Soros membentangkan serangkaian tindakan kaum kapitalis penentu perjalanan korporasi-korporasi besar dalam bidang finansial di Amerika. Intinya, kaum kapitalis ini terlampau jauh mengusung semangat keserakahan dalam tata kelola korporasi. Selama kurun waktu tahun 2000 hingga medio 2005, nilai pasar perumahan di Amerika Serikat tumbuh lebih dari 50%, sebagai akibat timbulnya spekulasi. Bank memberikan kontribusi yang tak kecil terhadap munculnya pertumbuhan spektakuler itu. Fasilitasi yang disediakan bank merupakan sebab fundamental munculnya pertumbuhan spektakuler bisnis perumahan, namun sesungguhnya semu manakala disimak dari aspek penguatan daya saing perekonomian berlandaskan keunggulan kompetitif.

Dampak tak terperikan dari kenyataan itu terefleksikan pada perkembangan selama 1997 hingga 2006, di mana home equity dalam bentuk cash mencapai sekitar US$ 9 triliun. Masalahnya, 3% dari total home equity itu bias untuk menutupi kebutuhan personal consumption. Dengan mendapatkan dukungan pendanaan dari kalangan perbankan, spekulasi membahayakan tercermin pada kenaikan harga rumah, hingga pada kisaran double digit. Tragisnya, 40% kredit perumahan selama 2005 tidak mengalir ke jurusan yang semestinya, yaitu pemilikan rumah secara permanen, tetapi untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Spekulasi yang menjurus pada penipuan semacam itu kian kentara setelah terjadi keruntuhan terhadap standar kredit, di mana kredit perumahan dengan rating rendah—disebut subprime mortgages—dinyatakan layak oleh kalangan perbankan mendapatkan kucuran pembiayaan. Inilah kredit bank yang kemudian di plesetkan dengan istilah “Alt-A” (liar loans). Dalam perkembangannya yang ekstrem, subprime mortgages malah di tengarai sebagai “ninja loans”, lantaran para pihak penerima kredit tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki aset.

Bank yang sedemikian jauh terbelenggu ke dalam teknikalitas rekayasa finansial, sungguh-sungguh merefleksikan bahaya kapitalisme Amerika. Untuk mengamputasi segala risiko dalam hubungannya dengan mortgages, bank mempaket ulang mortgages menjadi semacam sekuritas obligasi disebut collateralized debt obligations (CDOs). Sebagai layaknya obligasi, CDOs diperjual belikan di kalangan investor. Rekayasa finansial inilah yang membawa bank bergerak menuju pelataran tipu-menipu serta kian menjauhkan bank dari upaya konkret penciptaan daya saing perekonomian dalam maknanya yang utuh. Rekayasa finansial dalam pengertiannya yang buruk ini dicitrakan sedemikian rupa sebagai kecanggihan melalui munculnya identifikasi berdasarkan rating AAA. Sehingga, rating AAA pada akhirnya memiliki dua cakupan pengertian sekaligus, yaitu rating terhadap aset dan rating terhadap liabilitas. Fakta inilah yang kemudian diilustrasikan George Soros ke dalam narasi kalimat: In practice, the bankers and the rating agencies grossly underestimated the risks inherent in absurdities like ninja loans.

Sebagaimana diketahui, sekuritisasi merupakan teknikalitas untuk mengurangi kadar risiko. Sehingga, menjual portofolio kredit ke dalam format obligasi merupakan sesuatu yang lumrah dan wajar. Tetapi masalahnya, terjadi transfer kepemilikan atas mortgages oleh sebuah bank ke pihak lain—baik investor maupun kelembagaan bank yang lain. Sementara, portofolio kredit mortgages yang dialihkan kepemilikannya melalui kemasan obligasi merupakan portofolio kredit yang tergolong buruk. Dengan kata lain, rekayasa finansial sebuah bank melahirkan model kredit berkinerja buruk dan tragisnya kemudian kredit semacam itu disulap menjadi obligasi yang diperjual belikan di pasar uang dan atau di pasar modal. Bank, dengan sendirinya, bergeser untuk hanya memperjual belikan sesuatu yang secara substansial buruk. Bank tidak lagi menjadi sumber lahirnya kebajikan, persis sebagaimana dimaksudkan pada awal mula berdirinya sebagai lembaga intermediasi. Paling tidak sejak 2005, di Amerika Serikat, sekuritisasi semacam ini meledak menyerupai sebuah perilaku maniak yang melibatkan kalangan bankir. Begitulah bahaya kapitalisme ala Amerika.

Kedua, peringatan terhadap bahaya kapitalisme Amerika dikemukakan secara substil oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan pendiri Grameen Bank dari Bangladesh, Muhammad Yunus. Dalam bukunya bertajuk Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism (2007), Yunus berbicara tentang keniscayaan akan munculnya alternatif terhadap sistem kapitalisme Amerika. Ia meyakinkan kita, bahwa kapitalisme masih relevan dijalankan demi terciptanya kemakmuran semesta. Hanya saja, yang dibutuhkan bukanlah kapitalisme ala Amerika. Kapitalisme yang dipertontonkan Amerika kini merupakan kumlinasi dari perkembangan kapitalisme yang serakah selama 300 tahun terakhir. Kapitalisme ini menyulap para aktor ekonomi menjadi mahluk satu dimensi: terobsesi mendapatkan uang dalam jumlah besar rmelalui maksimalisasi profit dan mendapatkan uang menyeruak sebagai satu-satunya sumber timbulnya motivasi, kepuasan dan kebahagiaan. Menghalalkan segala cara lalu mewarnai perburuan untuk mendapatkan uang. Runtuhnya bank investasi Lehman Brothers pada medio September 2008 merupakan akibat logis dari bahasa kapitalisme ala Amerika.

Dengan ini semua sudah saatnya bagi perekonomian dunia untuk bebas dari determinasi kapitalisme Amerika. Kalau tidak, perekonomian dunia bakal terus dilanda demam dan meriang sejalan dengan gonjang-ganjing kapitalisme Amerika.

Tidak ada komentar: