Jumat, 17 Oktober 2008

Liberalisme Politik, Etatisme Ekonomi

Oleh Anwari WMK

Tak cukup hanya menghimbau masyarakat agar tenang, rasional dan tidak panik menghadapi imbas yang ditimbulkan oleh krisis finansial di Amerika Serikat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara dengan nada cukup keras. Ia menyinggung kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berakibat pada penutupan Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelaku pasar saham, kata presiden, jangan mencari keuntungan sendiri di tengah krisis dan lalu menganggu perekonomian nasional. Aksi mencari untung sendiri itu sama saja dengan mengkhianati rakyat banyak (Koran Tempo, 13 Oktober 2008, hlm. A1). Presiden tak menyebut secara spesifik, siapa sesunguhnya spekulan yang ia maksud dan telah sedemikian rupa menggoreng saham dan kemudian mencetuskan gonjang-ganjing di BEI.

Sungguh pun demikian, pernyataan presiden itu dapat dibaca sebagai respons terhadap “Rabu kelabu” (black Wednesday), tatkala pada 8 Oktober 2008 seluruh perdagangan saham di BEI dihentikan pada pukul 11.06 WIB. Ini karena, IHSG anjlok 168 poin (10,3%) ke posisi 1.451,669. Suspensi atau penutupan BEI lalu berlangsung hingga akhir pekan (8-10 Oktober 2008). Tak pelak lagi, ini jelas merupakan tamparan terhadap sang presiden. Terhitung sejak Januari 2008, presiden begitu membanggakan kinerja BEI sebagai salah satu poin keberhasilan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Kejatuhan IHSG seakan mencabik kebanggan sang presiden.

Jika substansi yang dinyatakan presiden itu terbuka untuk ditafsirkan, maka ada beberapa hal mendasar yang penting digarisbawahi. Pertama, SBY mempertontonkan sinyal “negara melawan pasar”. Apa pun gelagat dan teknikalitas yang mendasari timbulnya spekulasi di bursa efek, hal yang sangat jelas adalah fakta bahwa negara kalah melawan pasar. Pernyataan SBY tentang kaum spekulan yang meruntuhkan IHSG sebagai “mengkhianati rakyat banyak” merupakan simbolisme dari negara yang mulai “bangkit” melawan pelaku pasar yang serakah. Apakah perlawanan ini mengejawantah atau memiliki terjemahan secara jelas dan konkret pada bidang hukum dan dalam format regulasi, tentu merupakan persoalan lain. Paling tidak di sini kita menggaris-bawahi, bahwa telah muncul tanda-tanda tentang negara berada dalam sebuah setting melawan pasar.

Kedua, antara sadar dan tidak, pernyataan SBY itu merupakan koreksi terhadap perguliran neo-liberalisme dalam kancah perekonomian nasional Indonesia. Sulit dibantah, SBY “dikepung” penganut paham neo-liberalisme. Dalam KIB, kita mencatat bahwa Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Perdagangan merupakan figur pendukung neo-liberalisme. Metode berpikir dan sikap politik mereka mengusung paham neo-liberalisme. Lapindo Brantas milik Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat terseret ke dalam aksi kejahatan korporasi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Rasionalitas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh Menteri Keuangan bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral secara a priori didasarkan pada struktur harga minyak di pasar dunia. Kenaikan secara liar kebutuhan pokok rakyat bertitik-tolak dari pembiaran yang dilakukan Menteri Perdagangan. Semua itu merupakan resultante dari bekerjanya paham neo-liberalisme.

Ketiga, SBY berada dalam tuntutan besar untuk memancangkan orientasi baru kekuasaan politik. Baik “negara melawan pasar” maupun “koreksi terhadap neo-liberalisme” merupakan titik permulaan untuk menemukan format politik perekonomian yang lebih berpihak kepada masyarakat. Hanya saja, mungkinkah SBY mampu berhadapan dengan dua front sekaligus, yaitu para spekulan yang serakah di bursa saham dan figur-figur menteri dalam KIB yang tak habis-habisnya mengusung paham neo-liberalisme? Sampai di sini, kita disergap oleh sejumlah teka-teki dan keraguan. Sejalan dengan kepemimpinannya yang lembek, kita tak sepenuhnya percaya SBY mampu dan mau mewujudkan orientasi baru kekuasaan politik. Secara kategoris, orientasi baru kekuasaan politik itu diistilahkan sebagai “liberalisme politik, etatisme ekonomi”.

Terhadap SBY, kita memang tak mungkin meminta lebih, karena ia memang tak mungkin memberi lebih. SBY yang oleh Sri Sultan Hamengko Buwono X digambarkan sebagai “manager ketimbang leader”, tak mungkin bisa diharapkan lantaran memang tak bisa memberi harapan. Mungkinkah ia sungguh-sungguh mampu menghajar spekulan dan mempersempit gerak kaum neo-lib, ternyata tak ada simptom yang meyakinkan ke arah itu. Itulah mengapa, “liberalisme politik, etatisme ekonomi” tak mungkin diharapkan berjalan pada era kekuasaan SBY. Dari SBY, prognosa kemunculan “liberalisme politik, etatisme ekonomi” hanya dikaitkan-hubungkan dengan retorika yang ia hembuskan. Tak lebih dan tak kurang. Tetapi dengan demikian pula, kini absah untuk mengandaikan adanya kekuasaan politik pasca-SBY. Untuk keperluan mewujudkan “liberalisme politik, etatisme ekonomi”, semuanya diharapkan terjadi pada kurun waktu setelah lengsernya SBY. Jika pada Pilpres 2009 SBY kembali terpilih, maka setelah tahun 2014 dapat diharapkan tercipta sebuah spektrum waktu yang memungkinkan hadirnya “liberalisme politik, etatisme ekonomi”.

Perekonomian sesungguhnya kembali pada persoalan lama pergeseran pendulum. Dua pendulum perekonomian dunia—yang silih berganti berebut pengaruh—adalah liberal dan konservatif. Pendulum liberal berpijak pada pengagungan secara ekstrem terhadap mekanisme pasar. Dengan asumsi pasar mampu menciptakan keseimbangan-keseimbangan baru secara serta-merta, campur tangan negara dihepotesiakan sebagai sesuatu yang tak relevan. Sebaliknya pendulum konservatif, tak percaya pada kemauan baik pasar dalam hal menciptakan keseimbangan-keseimbangan baru yang adil. Itulah mengapa, regulasi dan campur tangan negara terhadap berkejanya pasar dieksplisitkan sebagai sesuatu yang niscaya. Perekonomian dunia lalu berada pada bolak-balik pergeseran pendulum itu. Dan tragisnya, masing-masing pendulum mencetuskan krisis perekonomian.

Sejak terjadinya Great Depression pada akhir dekade 1920-an dan berlanjut pada permulaan dekade 1930-an, pendulum konservatif menentukan arah perekonomian Amerika dan negara-negara Barat pada umumnya. Ketika pada akhirnya pendulum konservatif itu melahirkan penyalahgunaan uang, maka pada dekade 1970-an pendulum perekonomian ini memasuki fase epilog. Sebagai gantinya, sejak dekade 1970-an, pendulum liberal mendeterminasi arah perkembangan ekonomi. Tonggak penting dari pendulum liberal ini adalah munculnya serangkaian liberalisasi dan debirokratisasi sejak dekade 1980-an yang di Amerika ditengarai sebagai Reaganomic dan di Inggris disebut Thatcherian. Hingga kemudian bergulir krisis sektor finansial di Amerika sejak Juli 2007—yang dipicu oleh keserakahan pelaku pasar—kita sekali lagi menyaksikan tamatnya pendulum liberal.

Krisis benar-benar menjadi antecedent bagi terjadinya pergeseran atau pertukaran pendulum. Dengan demikian, absurd jika perekonomian terus-menerus dilandaskan pada pergeseran pendulum secara permanen antara liberal dan konservatif. Yang justru sangat dibutuhkan sesungguhnya adalah “liberalisme politik, etatisme ekonomi”, bukan sekadar siklus liberal-konservatif yang justru menciptakan jalan buntu. Dengan liberalisme, politik diberi ruang secara sangat luas untuk sepenuhnya dikelola berlandaskan demokrasi substansial. Dengan etatisme, ekonomi digerakkan berladasan kekukuhan regulasi. Dengan cara ini, politik yang demokratis benar-benar berfungsi sebagai watchdog yang mengawasi secara obyektif gerak laju perekonomian ke depan. Bukan saja tawaran ini relevan untuk keperluan mengawal agar perekonomian jangan menjadi gelembung sabun, lebih dari itu tata kelola ekonomi dimintakan pertanggungjawabannya oleh proses-proses politik yang demokratis. Sayangnya, terobosan ini belum mungkin diwujudkan di Indonesia, sampai muncul seorang pemimpinan nasional yang tegas berhadapan dengan pelaku pasar serta steril dari pengaruh neo-liberalisme. Mungkinkah pemimpinan nasional semacam itu kita temukan dalam Pilpres 2009? Atau tak pernah kita temukan?

Tidak ada komentar: