Jumat, 17 Oktober 2008

Ujian Demokrasi Lokal

Oleh Anwari WMK

Tatkala sejak 2005 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung bergulir di berbagai pelosok Nusantara, maka tiba-tiba muncul aksioma baru dalam rekrutmen kepemimpinan politik di Indonesia untuk tujuan pengelolaan pemerintahan di daerah. Baik gubernur, bupati maupun walikota; sejak saat itu pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme Pilkada langsung. Hampir tak ada hal yang sungguh-sungguh mendasar dalam praktik demokrasi liberal di Tanah Air, selain Pilkada langsung itu. Proklamtor Kemerdekaan RI Bung Hatta, misalnya, hanya mengkonseptualisasi Pilkada langsung pada level gubernur, tidak mencakup pengangkatan bupati dan walikota. Maka, dengan sendirinya, Pilkada langsung yang bergulir kini merupakan tonggak keberhasilan transisi demokrasi di Indonesia pada dekade pertama abad XXI, yaitu beyond konsepsi Bung Hatta.

Sungguh pun demikian, dalam implementasinya ada catatan buram berkenaan dengan Pilkada langsung. Dari sejak politik uang (money politics), rendahnya partisipasi politik dan tingginya Golput, hingga munculnya konflik horizontal penuh warna kekerasan—karena ketidakpuasan akan kekalahan—merupakan realitas yang mengiringi pelaksanaan Pilkada langsung di berbagai penjuru Nusantara. Pada titik inilah tak ada pengakuan yang sepenuhnya memosisikan Pilkada langsung sebagai pilar tegaknya peradaban demokrasi di Indonesia. Pelan tapi pasti, muncul penilaian bahwa belum saatnya bagi bangsa Indonesia melaksanakan Pilkada langsung. Opsi politik dalam Pilkada yang dimengerti sebagai pilihan hidup-mati, justru menutup kemungkinan bagi lahirnya rasionalitas politik. Pilkada masuk ke dalam wilayah emosi dan tersingkirkan dari ranah rasio.

Pelan tapi pasti, muncul aura penolakan terhadap Pilkada. Sebagian orang mempertimbangkan kembali konsepsi Bung Hatta tentang demokrasi lokal yang hanya mencakup Pilkada langsung pada level provinsi. Terlebih lagi ketika bupati dan walikota yang tepilih dalam Pilkada langsung merasa absah untuk memberlakukan kebijakan yang bertolak belakang dengan kebijakan gubernur, output Pilkada langsung lalu dipertanyakan manfaatnya. Pada Januari 2008, misalnya, Ketua PBNU Hasyim Muzadi berbicara tentang Pilkada langsung yang menimbulkan polarisasi di masyarakat, sumber konflik horizontal dan membuang-buang uang. Atas dasar ini NU menyarankan agar Pilkada dihapuskan. Tak bisa tidak, itulah ujian demokrasi lokal berdasarkan kerangka kompetisi politik Pilkada.

Dan tak cukup hanya itu, ujian demokrasi lokal Pilkada kini bersangkut paut dengan masa depan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana diketahui, Piagam Kedudukan Yogyakarta 19 Agustus 1945 dan Amanat 5 September 1945 menyebutkan, bahwa kedudukan gubernur dan wakil gubernur sudah melekat pada Sultan Hamengku Bowono dan Paku Alam (Kompas, 21 September 2008, hlm. 2). Sehingga, siapa pun yang menjadi Sultan dan Paku Alam, maka jabatan itu harus melekat pada gubernur dan wakil gubernur. Hakikat keistimewaan Yogyakarta, antara lain, terkait erat dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur itu. Berdasarkan kedudukan yang bersifat historis itu, maka dengan sendirinya rekrutmen kepemimpiunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tak mempersyaratkan adanya penyelenggaraan Pilkada langsung pada tingkat provinsi. Dengan kata lain, Pilkada langsung tak relevan bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masalahnya, dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, pemerintah pusat (baca: Departemen Dalam Negeri) memasukkan klausul Pilkada secara langsung. Pada satu sisi, klausul ini bertentangan dengan penetapan yang bersifat historis eksistensi Yogyakarta. Klausul ini menafikan aspek sejarah, budaya dan aspek sosial politik Yogyakarta. Pada lain sisi, klausul ini bertubrukan dengan aspirasi rakyat Yogyakarta yang mengemuka sekarang ini. Pada pokoknya, aspirasi rakyat Yogyakarta itu sama dan sebangun dengan ketetapan historis Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Munculnya Gerakan Kawula Mataram (GKM) tak lepas dari menguatnya aspirasi rakyat Yogyakarta untuk tak memberlakukan Pilkada langsung untuk memilihi gubernur dan wakil gubernur.

Pada 9 Oktober 2008 jabatan Gubernur Sultan Hamengku Bowono X berakhir. Perjalanan menuju kurun waktu tersebut sejak pertengahan September 2008 merupakan kurun waktu yang kritikal bagi rakyat Yogyakarta. Pesan paling penting dari keberadaan GKM adalah ini: “Sultan dan Paku Alam adalah dwitunggal dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Rakyat menolak pemilihan kepala daerah dan berjehendak menetapkan Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur”. Apa yang dapat dimengerti dari realitas politik semacam ini?

Sekali lagi, pilkada langsung menghadapi ujian besar yang sesungguhnya tak sederhana. Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, penolakan terhadap Pilkada langsung berada dalam dua tataran sekaligus. Bukan saja ketetapan historis tak memungkinkan Pilkada langsung diselenggarakan, tetapi ekspresi demokratis rakyat pada kurun kontemporer juga menegasikan pelaksanaan Pilkada itu. Di sini sesungguhnya kita berhadapan dengan problem universalitas dan partikularitas dalam implementasi sistem demokrasi. Masuknya klausul Pilkada langsung dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta sejalan dengan asas universalitas itu. Tetapi penolakan terhadap pelaksanaan Pilkada langsung merupakan aspek partikularitas dalam proses demokrasi.

Bagi penganut paham ultra-liberal, cara berpikir rakyat Yogyakarta itu aneh bin ajaib. Sebab, tak ada perkeculian yang bersifat spasial kedaerahan bagi terlaksananya sebuah sistem politik yang berdimensi nasional. Bagaimana pun, Pilkada langsung kini masuk ke dalam cakupan sistem politik berdimensi nasional, dan lantaran itu ia berlaku pada level pemerintahan daerah mana pun. Tetapi mereka yang berpihak pada dimensi kultural memandang wajar pilihan-pilihan rakyat Yogyakarta. Terutama, karena tingginya kepercayaan (trust) rakyat terhadap Sultan Hamengku Buwono X.

Bagi rakyat Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X bukan sekadar pemimpin politik dan pemerintahan. Di atas segalanya, Sultan Hamengku Buwono X tokoh moral dan pemimpin budaya. Kontinuitas kewibawaan Yogyakarta dalam jangka panjang sejak 250 tahun lalu hingga kini, sesungguhnya inherent dengan ketokohan Sultan Hamengku Buwono X. Maka, sang gubernur juga tokoh panutan. Jika kemudian dilakukan pemilihan gubernur secara langsung di mana Sultan Hamengku Buwono X tidak mencalonkan diri karena berbagai alasan, hal krusial yang bakal timbul ke permukaan adalah ketidakpastian, apakah Yogyakarta masih mampu mendudukkan seseorang sebagai gubernur dengan mendapatkan trust yang sangat besar dari rakyat.

Logika rakyat Yogyakarta yang juga harus dimengerti terkait dengan apa yang disebut the proper role of the state. Dengan dukungan tradisi dan khazanah kultural yang telah mencapai 250 tahun, Yogyakarta sebenarnya tak pernah memasuki fase titik jedah sebagai sebuah state. Yogyakarta yang bertakzim pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan—tak serta merta meluruhkan tradisi melayani rakyat Kesultanan Yogyakarta. “Tahta untuk rakyat” yang menjadi kredo kekuasaan Sultan Hamengku Buwono IX, misalnya, memiliki dimensi politik kesejahteraan rakyat. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi, para Sultan yang berkuasa di Yogyakarta tak bisa lari dari keniscayaan untuk melayani rakyat. Itulah mengapa, state dalam konteks Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono tidak berada dalam posisi kontras yang berlarut-larut dengan masyarakat. Dorongan agar Sultan Hamengku Buwono IX maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009 tak bisa dilepaskan dari hadirnya the proper role of the state di Yogyakarta.

Sungguh di sini kita melihat, praktik demokrasi lokal dalam kerangka Pilkada langsung benar-benar menghadapi ujian besar. Apalagi Pilkada langsung tak sepenuhnya mampu melahirkan output berupa the proper role of the state.

Tidak ada komentar: