Jumat, 17 Oktober 2008

Merawat Kreativitas Rakyat

Oleh Anwari WMK

Negara merupakan satu hal dan kreativitas rakyat merupakan hal lain. Itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga seberapa pun canggihnya kreativitas rakyat, negara tetap abai. Laku dan tindakan para pihak pengelola negara malah tak peduli terhadap kreativitas rakyat. Generasi demi generasi memang datang secara silih berganti untuk melakukan pengelolaan terhadap negara. Tetapi sejauh itu pula, para pengelola negara dari generasi mana pun tak memiliki ketegasan (clarity) moralitas untuk mengawal dan merawat kreativitas rakyat. Jangan heran jika kekayaan intelektual dan kekayaan kultural rakyat Indonesia dibajak dan dicaplok oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Negara, sekali lagi, tak merasa bersalah dengan munculnya kenyataan itu. Bahkan, secara tak langsung, para pengelola negara merayakan pembajakan dan pencaplokan kekayaan intelektual dan kekayaan kultural rakyat Indonesia oleh orang-orang asing.

Di kawasan Bali saja sekarang ini, ketidakpedulian negara terhadap kreativitas rakyat amat sangat menonjol. Tak kurang dari 1.800 motif perhiasan perak hasil olah kreativitas rakyat Bali justru hak ciptanya dimiliki—lebih tepat disebut dicuri—warga asing. Baik warga asing yang tinggal di mancanegara maupun warga asing yang tinggal di Indonesia, telah sedemikian rupa bekerja sebagai kekuatan maha dahsyat yang mencaplok hasil olah kreativitas rakyat Bali. Dalam kerangka legal formal perundang-undangan, hasil olah kreativitas rakyat Bali itu kemudian dikangkangi oleh orang-orang asing.

Tanpa bisa dielakkan ironi lalu mewarnai usaha kerajinan perak rakyat di Bali. Pada satu pihak, kerajinan perak itu telah berkembang menjadi semacam the mode of production sejak dekade 1970-an. Sehingga dengan demikian, kerajinan perak yang berkembang di Bali merupakan fakta konkret dari adanya industri kreatif dalam maknanya yang genuine. Kerajinan perak ini pun memiliki kejelasan tradisi dan filosofi. Namun pada lain pihak, rakyat Bali kini kesulitan mengekspor kerajinan perak mereka. Negara tujuan ekspor menolak menerima produk kerajinan perak Bali berdasarkan alasan “melanggar hak cipta”. Tak mengherankan jika ekspor kerajinan perak Bali hanya mencapai Rp 60 miliar pada periode Januari-Juli 2008. Padahal, pada periode yang sama tahun 2007, outstanding ekspor itu mencapai Rp 1,4 triliun.

Tragisnya lagi, motif tradisional kerajinan perak yang sudah sejak lama menjadi bagian dari perjalanan budaya rakyat Bali, hak patennya justru didaftarkan oleh pihak asing. Motif tradisional dimaksud mencakup Batun Timun, Batun Poh, Kuping Guling, Parta Ulanda dan Jawan. Maka, dalam konteks pengrajin perak Bali, dewasa ini sesungguhnya muncul akumulasi kekecewaan rakyat terhadap negara. Ini karena, pemerintah gagal melakukan upaya-upaya proaktif demi melindungi rakyat dari gilasan kaum kapitalis global yang mengusung spirit free rider.

Berbagai pemberitaan di media massa pada akhirnya menunjukkan, bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Bali mulai tergerak untuk melakukan tindakan yang dianggap relevan melindungi kerajinan rakyat. Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengakui, pemerintah belum memberi perhatian cukup terkait hak kekayaan intelektual para perajin perak Bali. Dua pejabat penting Bali ini berjanji akan membentuk tim khusus guna menginventarisasi seluruh motif kerajinan perak Bali (Kompas, 21 September 2008, hlm. 3). Tapi seberapa efektif semua itu dilakukan untuk melindungi pengrajin perak Bali, ternyata menyisakan pertanyaan kritis.

Nestapa pengrajin perak di Bali itu tak perlu ada jika saja negara sepenuhnya berpijak pada upaya serius merawat kreativitas rakyat. Negara, sayangnya, mengingkari eksistensi dirinya sendiri. Padahal, keniscayaan negara merawat kreativitas rakyat bukan semata susbtansi yang termaktub ke dalam teori-teori politik. Lebih dari itu, kreativitas rakyat merupakan pilar untuk memperkuat dan memperkukuh posisi negara dalam penghadapannya dengan negara lain di tengah kancah perpacuan kompetisi industri global. Tanpa kreativitas rakyat, maka negara kehilangan imajinasi bagaimana memenangkan pertarungan ekonomi pada aras global.

Persis seperti dikatakan filsuf Italia, Benedetto Croce (1866-1952), kreativitas manusia bercorak multidimensional. Kreativitas manusia muncul sebagai unifikasi terhadap etika, logika, estetika dan penghayatan terhadap sejarah. Karena unifikasi itu, kreativitas manusia merupakan kekuatan yang tiada taranya bagi lahir dan tegaknya peradaban. Hasil olah kreativitas merupakan format konkret dari kemampuan untuk mengkomunikasikan suara batin dan kesadaran para pihak yang terlibat dalam proses lahirnya kreativitas itu. Jika sebuah negara disesaki oleh manusia yang gandrung akan kreativitas, maka dengan sendirinya negara tersebut telah memiliki landasan pijak untuk maju dan berkembang sebagai bangsa yang mandiri dalam bidang ekonomi dan industri. Sebagai konsekuensinya, niscaya bagi negara untuk terus-menerus piawai merawat kreativitas rakyat.

Di Indonesia, kesulitan negara merawat kreativitas rakyat berpulang pada negara itu sendiri. Kelemahan negara dalam konteks ini, terkait erat dengan empat hal. Pertama, orientasi proyek tak habis-habisnya mewarnai struktur kesadaran pengurus negara justru saat mereka diharapkan mampu menjalankan agenda pemberdayaan (empowering) rakyat dalam bidang sosial dan ekonomi. Karena kenyataan ini, para pengurus negara kesulitan bersikap obyektif saat harus menelisik hakikat kreativitas yang tumbuh berkembang dalam realitas kehidupan rakyat. Tak mengherankan pula jika para pengurus negara memiliki kemampuan yang amat sangat terbatas dalam memaknai arti penting transformasi budaya dan strategi kebudayaan yang melibatkan unsur dan anasir kreativitas dalam kehidupan rakyat.

Kedua, hubungan rakyat dan negara tak habis-habisnya diwarnai oleh perburuan rente (rent-seeking) para pihak pengendali jalannya birokrasi pemerintahan. Jalan yang ditempuh adalah pungli dan korupsi. Pamrih kalangan birokrat saat memberikan pelayanan kepada masyarakat, pada giliran selanjutnya tak memandang strategis kreativitas rakyat. Bahkan, elemen-elemen kreatif dalam kehidupan rakyat tak luput dari jangkauan perburuan rente. Kenyataan ini mengkristal sedemikian rupa sebagai kultur kekuasaan yang abai terhadap arti penting kreativitas rakyat. Sekali pun kreativitas rakyat itu merupakan landasan pijak bagi Indonesia menjangkau pelataran masa depan dengan kemajuan, semuanya dinegasikan oleh kuatnya tendensi pengurus negara untuk melakukan perburuan rente.

Ketiga, ada semacam kompetisi diam-diam antara pengurus negara dan elemen-elemen masyarakat yang berdiri di garda depan lahirnya kreativitas baru. Bagaimana pun ketika hasil sebuah olah kreativitas—dengan rakyat sebagai aktornya—muncul ke permukaan, maka dengan sendirinya, para pengurus negara berada dalam posisi “tersudutkan”. Rakyat yang masuk ke dalam cakupan “kaum kreatif” mendadak sontak lalu didedahkan sebagai musuh pengurus negara. Terlebih lagi ketika kreativitas rakyat melahirkan inspirasi-inspirasi mengangumkan tentang bagaimana sejatinya Indonesia dikelola secara bermartabat, semaunya tak serta-merta diterima secara lapang dada oleh para pengurus negara. Realisme inilah yang dapat menjelaskan, mengapa hingga detik ini hampir tak ada obsesi di kalangan pengurus negara untuk dengan sungguh-sungguh mempublikasikan buku berisikan aneka paten, sebagai wujud nyata pencapaian anak-anak bangsa.

Analisis di atas bermuara pada kesimpulan, bahwa tidaklah mudah bagi setiap pengurus negara merawat kreativitas rakyat. Kehendak jajaran pemerintahan Bali untuk membentuk tim khusus guna menginventarisasi seluruh motif kerajinan perak rakyat Bali memang patut diapresiasi. Tetapi upaya itu jelas tak cukup. Upaya ini necessary but not sufficient. Hal mendasar yang dibutuhkan adalah reorientasi pengelolaan negara. Para pengurus negara harus mulai belajar mengabdi kepada rakyat dalam pengertiannya yang utuh. Tanpa pengabdian terhadap rakyat, mustahil pengurus negara mampu merawat kreativitas rakyat. Mustahil dan mustahil.

Tidak ada komentar: